
17 Februari 2025
Oleh: Eric Dajoh
Penulis adalah Seniman di Tanah Minahasa
RABU, 12 Februari lalu, saya menonton lakon ‘Gubernur Santa’ karya sutradara Achi Breyvi Talanggai, yang dipentaskan oleh Kelompok Seni Pelajar ‘Tyche’ SMA Negeri 1 Manado, di Aula Dinas Kebudayaan Daerah Prov. Sulawesi Utara, Jalan W.R. Supratman, Lawangirung, Manado — dahulu dikenal sebagai Gedung Pertunjukan Taman Budaya Manado, era 1980-an.
Pertunjukan itu sendiri, berlangsung baik. Sekitar seratus lebih penonton hadir. Namun yang memrihatinkan saya, penerangan gedung, mulai dari teras depan gedung, pintu masuk, hingga ke dalam gedung, sangat minim, bahkan tak ada. Petugas tiket bekerja dalam suasana temaram. Begitu juga, di dalam ruang pertunjukan, tak ada pasokan cahaya auditorium yang memadai. Suasana remang-remang bak rumah hiburan malam di kawasan kumuh.
Ouw, hampir 50 tahun saya berkesenian, berhadapan dengan kondisi demikian, hati saya miris, “Hm, nasib kesenian di daerah ini selalu berbentur dengan panggung palsu.”
Saya hadir bersama seniman meneer Ivan R B Kaunang, Rikson Karundeng, Riccy N F Rorong, Marcelino R Silouw, Steven Epen Tuwo, Randy Beersh, Marvild Gracio Tahar, dan sejumlah seniman muda lainnya.
Sejumlah ibu-bapak yang hendak menonton pertunjukan anaknya, tampak tertatih-tatih menaiki tangga menuju ruang pertunjukan sambil bafeto. “So bagini noh, tuh pemerintah dah perlakukan kesenian (baca: kebudayaan) di daerah ini,” ujar teman seniman yang juga pengajar di sebuah SMK di Manado.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan Daerah Provinsi Sulawesi Utara, Jani Lukas, yang saya hubungi melalui telepon malam itu, ketika ia hadir menonton di malam pertama, 11 Februari, “Semuanya aman-aman saja, Bung. Hehehe. Tapi baiklah, besok saya ganti lampunya.”
Namun menurut petugas tiket, sejak mereka tiba di gedung ini, teras atas dan bawah, gelap, tak ada lampu. Begitu juga dalam ruangan pertunjukan, hanya beberapa lampu saja yang menyala.
Sementara Kepala Bidang Kesenian, Patricia Dewi L Mawitjere, yang juga dihubungi malam itu, berujar, “Memang sejak dulu gelap. Lampu yang putus tak pernah diganti.” Mungkinkah ini penghematan, seperti yang dianjurkan Presiden Prabowo?.
Sahabat Alfred Pontolondo, kini menjabat Plh. Kepala Seksi Museum Negeri Sulawesi Utara — letak museum berdampingan dengan gedung pertunjukan ini, mengungkap, bahwa kondisi gedung pertunjukan yang minim cahaya itu, juga terjadi di Museum Negeri Sulawesi Utara. “Bahkan museum lebih parah!” Suntikan anggaran DAK non fisik dari Direktorat Museum dan Cagar Budaya Kemendikbudristek selama 2021, 2022 dan 2023, sebesar Rp. 4,6 miliar, tak merubah wajah museum menjadi lebih baik, karena tak jelas peruntukannya. Akibatnya, DAK 2024, dihentikan, setelah sidak dari direktorat menemukan adanya pelanggaran hukum dalam pengelolaan dana tersebut.
Di tengah ketiadaan gedung kesenian, sejak Gedung Kesenian Pingkan Matindas Manado rusak akibat banjir 2014, dan Taman Budaya Sulut ditutup di masa pemerintahan Olly Dondokambey, tanpa diupayakan solusi yang memadai bagi pengembangan kesenian di daerah ini, pertunjukan kesenian pun kehilangan panggung untuk berkarya. Beberapa seniman lalu memanfaatkan panggung-panggung café atau rumah kopi yang tidak memadai untuk menyalurkan karyanya. Saya mendirikan panggung WaleTeater di Pakowa yang sangat sederhana dan apa adanya, sementara lainnya ‘mati suri’ dan menunggu godot. Syukurlah, ada PSR dan FSPG yang digelar saban tahun oleh GMIM, bisa menjadi medium yang berarti bagi sejumlah seniman muda.
Baru di akhir masa jabatan Olly Dondokambey, terbit kesungguhan mengadakan Perda Kebudayaan yang di antaranya, mengurus hal-hal tersebut di atas. Sayangnya hingga jelang pergantian kepala daerah, saya dengar perda tersebut belum ditandatangani.
Saya berharap, di era pemerintahan gubernur yang baru, hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan kebudayaan daerah, seyogianya diurus dan dikelola dengan baik. Pembangunan kebudayaan adalah upaya peradaban untuk hidup yang lebih bermartabat. Keberhasilan di bidang politik dan ekonomi, tidak akan paripurna bila kebudayaan diabaikan. Jalan yang bagus, dengan mal yang megah, hanya melahirkan tubuh gempal dengan akal bulus, karena ketiadaan museum yang baik, gedung kesenian yang memadai, perpustakaan yang lengkap, dan galeri, tempat di mana akal dan nurani diasah, tumbuh bertawakal dan berbudi.
Itulah peradaban. (*)