21 April 2024
Marianne Katoppo, teolog feminis dan sastrawan mengkritik penokohan terhadap Kartini, seorang perempuan yang disebut pelopor emansipasi perempuan Indonesia tapi tak mampu melawan feodalisme kebangsawanan Jawa…
Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado
Editor: Daniel Kaligis
Dikutip dari Kelung, 21 April 2019
MARIANNE KATOPPO, seorang perempuan, sastrawan cum teolog feminis asal Minahasa punya pandangan kritis terhadap Radeng Ajeng Kartini, perempuan Jawa yang diberi gelar sebagai pelopor emansipasi perempuan Indonesia.
“Setiap tanggal 21 April para gadis harus mengenakan pakaian daerah tradisional guna merayakan hari kelahiran Kartini. Bagaimanapun juga, semua orang tahu bahwa putri Jawa itu telah terbukti berbakti untuk membawa ‘terang pendidikan’ kepada saudara-saudara perempuannya di Indonesia,” tulis Marianne dalam bukunya Compassionate and Free, pertama kali terbit tahun 1979 oleh World Council of Churches (WCC) di Geneva.
Sesuatu yang mengherankan dengan buku yang sangat bagus ini. Di luar negeri, tidak lama setelah terbit, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Jerman, Swedia dan Tagalog untuk jadi buku teks kajian perempuan dari sudut pandang teologi. Namun justru ia nanti diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan untuk pembaca di sini pada tahun 2007.
Di buku inilah Marianne menyampaikan semacam kritiknya mengenai pemosisian Kartini sebagai tokoh emansipasi itu. Kritiknya itu tidak lepas dari latar belakang kebudayaan Minahasa yang melekat padanya, dan juga intelektualitas yang bertumbuh dari keluarga.
“Ayah saya, kalau ia melihat saya memakai sarung untuk pergi sekolah, suka berkata sambil berdengus bahwa pertama-tama pakaian asli orang Minahasa dibuat dari kulit pohon; kedua sekolah pertama untuk perempuan didirikan di Minahasa pada tahun 1881 – ketika Kartini baru berumur dua tahun, jauh di Jawa – jadi tidaklah tepat dikatakan bahwa Terang Pendidikan datang berkat jasanya!” Demikian Marianne mulai menyoal apa yang sudah tertanam rapi di kepala banyak orang Indonesia tentang sejarah Kartini.
Bagi Marianne, Kartini sebagai pelopor emansipasi dan pendidikan bagi perempuan adalah sebuah dongeng. Namun, ketika masih usia muda, ia belum merasa siap membuka dongeng itu.
“Pada waktu itu saya belum siap menelanjangi dongeng itu,” kata Marianne.
Kartini atau juga disebut Raden Adjeng Kartini, juga Raden Ayu Kartini lahir di Jepara pada21 April 1879. Ia meninggal di Rembang pada 17 September 1904 di usia 25 tahun. Kartini berasal dari kalangan priyayi Jawa. Dia adalah putri dari Raden Mas Adipati, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Ibu Kartini adalah M.A. Ngasirah, istri pertama Adipati, tapi tampaknya bukan yang utama.
Kartini adalah anak kelima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europese Lagere School (ELS). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena telah dipingit. Pada usia yang masih sangat muda, 16 tahun Kartini menikah.
Kartini dalam sejarah Indonesia terkenal dengan korespondensinya dengan kolega-koleganya yang berasal dari Belanda, salah satunya Rosa Abendanon.
Menurut Marianne, Belanda-lah yang telah membuat Kartini menjadi seperti apa yang kemudian disebut sebagai pelopor pendidikan perempuan Indonesia.
“Pihak Belanda menghabiskan banyak usaha agar Kartini (1879-1904) diakui sebagai Sang Pelopor Pendidikan Perempuan,” kata Marianne.
Sekira 7 tahun dari kematinnya, terbit sebuah buku karangan Conrad Theodore van Deventer, ahli hukum dan tokoh politik etis dari Belanda. Buku itu berjudul Kartini.
Van Deventer dalam bukunya itu menulis tentang biografi Kartini, tentang keluarganya dan tentang kehidupan Kartini sebagai seorang perempuan. Namun terutama van Deventer agaknya lebih bermaksud menulis tentang peran Belanda, melalui tokoh-tokoh tertentu yang berjumpa dengan Kartini atau keluarganya. Peran dalam memperkenalkan emansipasi.
“Kartini dan saudara-saudaranya menghabiskan waktu dengan keluarga Abendanon dan bertemu dengan orang Belanda lainnya yang berpikiran maju dan terbuka,” tulis va Deventer.
Di tahun yang sama (tahun 1911) terbit pula buku kumpulan surat korespondensinya berjudul Door Duisternis Tot Licht, Gedachten over en voor het Javaansche Volk, dengan editor Jacques Henrij Abendanon. Pada tahun 1905, Abendanon pensiun dari dinas sipil Belanda, ia lalu kembali ke Belanda. Di Belanda ia menjadi penasihat bagi perubahan dalam kebijakan kolonial. Abendanon adalah juga tokoh pendukung politik etis.
Abendanon mengumpulkan sebanyak 106 surat Kartini kepada istrinya dan beberapa surat lainnya kepada orang lain. Ia lalu meringkas dan mengedit naskah-naskah itu dan menerbitkannya pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis Tot Licht. Buku ini sangat populer. Terjemahan ke dalam bahasa Inggris berisi 78 surat di antaranya terbit tahun 1920 dengan judul Letters of a Javanese Princess. Buku ini bahkan diterbitkan lagi tahun 1964 dengan kata pengantar yang baru. Terjemahan dari bahasa Belanda asli ke bahasa Jawa, Sunda, dan Melayu terbit pada tahun 1920-an.
Mungkin karena itu sehingga bagi Marianne, Kartini yang disebut-sebut sebagai pelopor pendidikan bagi emansipasi perempuan di Hindia Belanda, kemudian Indonesia, adalah bagian dari upaya Belanda.
“Orang Belanda pasti sangat senang mendengarnya meminta berulang kali, ‘Berilah pendidikan kepada orang-orang Jawa…Biarlah kami menjadi seperti kalian’,” tulis Marianne.
Masa Kartini lahir, tumbuh dewasa dan berkorepondesi adalah masa pemberlakuan politik etis di Hindia Belanda. Sebagai seorang tokoh politik etis, va Deventer tentu sangat bersemangat menulis dan menerbitkan sejarah hidup Kartini untuk dibaca, baik oleh orang-orang Belanda di Hindia Belanda maupun di negeri Belanda, dan juga oleh para bangsawan atau kaum terpelajar di Indonesia pada umumnya.
“Hal itu sangat cocok dengan ‘etische politiek’ mereka waktu itu, bahwa eksploitasi kaum ‘pribumi’ dapat dilengkapi dengan sedikit pendidikan juga,” ungkap Marianne.
Marianne juga mengkritik historiografi atau penulisan sejarah hidup Kartini yang banyak menghilangkan sisi-sisi kontras dalam hidupnya yang kelak oleh pemerintah Indonesia melanjutkan apa yang menjadi upaya pemerintah Belanda dengan mengangkat Kartini sebagai ‘pelopor pendidikan bagi perempuan pribumi”. Misalnya dia menunjuk pada keluarga Kartini, seorang ayah dengan beberapa istri. Lalu, tentang Kartini yang akhirnya harus tunduk pada tradisi poligami.
Dengan demikian, bagi Marianne, tokoh Kartini yang kelak hari kelahirannya pada 21 April oleh Soekarno ditetapkan sebagai hari nasional, tidak lepas ideal orang-orang Belanda tentang seorang manusia. Penetapan Hari Kartini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. Keputusan Presiden tersebut menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, dan sekaligus menetapkan harinya sebagai hari nasional untuk diperingati setiap tahun.
“Untuk Kartini, gambaran ideal seorang manusia yang sepenuhnya bebas rupanya dipersonifikasi dalam lelaki atau perempuan Belanda, suatu kesalahan yang dilakukan banyak bangsa tertindas kalau memandang penindasnya,” tulis Marianne.
Lalu Marianne menyebut sejumlah nama tokoh perempuan lainnya. Misalnya dia menyebut nama Dewi Sartika dan Rahma el-Yunisia dari Padang Panjang, Sumatera Barat. Bagi Marianne, Rahma misalnya telah memilih jalan berbeda dengan Kartini dalam berhadapan dengan pemerintah Belanda. Rahma, menurut Marianne telah menolak subsidi pemerintah bagi sekolah-sekolah agamanya untuk perempuan sebab ia tidak mau ada pengaruh pemerintah atas kurikulum.
“Menarik bahwa kontribusi-konstribusi besar perempuan ini di dalam membawa ‘terang pendidikan’ kepada saudara-saudara perempuannya tidak pernah mendapat perhatian dan publisitas yang sama seperti yang diberikan kepada Kartini,” jelas Marianne.
Kartini benar-benar telah digambarkan sebagai perempuan ideal Indonesia melalui publisitas yang luar biasa tidak beberapa lama setelah kematiannya. Ia juga diangkat menjadi pahlawan nasional dan bahkan tanggal lahirnya ditetapkan sebagai hari nasional. Penokohan Kartini seperti ini seolah-olah mengabaikan perempuan Jawa yang bukan dari keluarga bangsawan tapi sebenarnya telah berusaha hidup bebas.
“Kita harus dapat memisahkan situasi di mana seorang perempuan dari golongan atas seperti Kartini hidup dengan kenyataan hidup sehari-hari dari seorang perempuan Jawa yang rata-rata pada zamannya. Perempuan seperti itu tidak akan mempunyai waktu untuk bersekolah, untuk menjadi tidak puas dengan gaya hidupnya. Ia terlalu sibuk untuk hal-hal itu. Ia memiliki kebebasan bergerak yang besar dan ia cukup independen,” ungkap Marianne.
Marianne lalu mengutip catatan seorang misionaris Belanda bernama Poesen yang pada tahun 1887 (ketika Kartini masih berusia delapan tahun) menulis demikian, “Adalah perempuan (Jawa) yang mengurus padi, yang telah ditanamnya, dituainya, dikumpulkannya. Ia memasak nasi dan sayur…ia membeli perabot rumah tangga…ia menjual hasil tanaman yang telah ditanamnya….ia mewarnai kain yang telah ditenunnya, dan ia menjualnya.”
Jadi, sebelum Kartini diangkat sebagai pelopor emansipasi perempuan oleh Belanda, di Jawa perempuan-perempuan petani yang bukan dari kelas atas telah memiliki kebebasan, kepeloporan dan daya juang hidup yang tinggi. Demikian juga Kruiyt, juga seorang misionaris Belanda yang terkesan dengan kehadiran perempuan Jawa dalam berbagai bidang kehidupan yang berbeda-beda. Perempuan Jawa memainkan perannya di pasar, di warung, menumbuk padi di desa, membuat batik, meracik obat dari rempah-rempah, dlsb.
“Di lain pihak, seorang perempuan bangsawan Jawa tidak perlu menyumbangkan sesuatu apapun terhadap kehidupan perekonomian komunitas,” kata Marianne.
Kritik Marianne sebenarnya bukan pada Kartini pribadi, melainkan pada tata sosial-politik feodalistik sistem kebangsawanan Jawa yang telah ikut melandasi pengkonstruksian ideal perempuan Indonesia.
“Mungkin seorang perempuan seperti Kartini tertindas, namun ia sendiri juga seorang penindas, suatu kenyataan yang tidak dicatat oleh para penulis biografinya yang merasa kasihan bagi putri Jawa yang malang itu….Jadi pembebasan perempuan di Asia jelas jangan mengikuti model Kartini,” tandas Marianne.
Ini kritik tajam Marianne, seorang perempuan Minahasa yang berbudaya egaliter, teolog dan sastrawan terhadap wacana emansipasi perempuan dalam ideologi feodalisme. Sebuah kritik yang tentu dapat membuat marah pemerintah Orde Baru yang sungguh menganggungkan Kartini. Bisa jadi, itu adalah salah satu sebab sehingga bukunya Compassionate and Free, yang di luar negeri sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, sementara untuk bahasa Indonesia nanti dapat terbit 28 tahun kemudian (tahun 2007) sejak ia diterbitkan pertama kali. (*)