08 Januari 2024
Bacirita — dialek Malayu Manado yang bermakna bertemu dan berceerita, berdiskusi – boleh diseling berbagai sajian penganan dan minuman: kesempatan ini boleh bicara tentang sumberdaya, yaitu tou atau manusia dan tana’ sebagai tempat hidup dan melangsungkan proses menjadi ‘pelaku’ berbagai kebaikan di bumi, Minahasa. Sepakat, jaga dan rawat identitas pemberian sang maha itu…
Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado
BACIRITA AWAL Taong ‘Reklaim Identitas Tou dan Tana’ Minahasa’, Sabtu, 06 Januari 2024 di kantor (Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur) PUKKAT, menegaskan kembali semangat keminahasaan di era kontemporer. Membaca Minahasa, baik di awal tahun 2000-an ketika Mawale Movement mulai mewujud sebagai gerakan kebudayaan, dan di tahun 2024 ini ketika semakin tampak jelas semacam adanya kebangkitan budaya Minahasa dengan beragam cara dan metode, tidak boleh tidak – mesti menganalisanya dengan pendekatan geopolitik global dan nasional.
Sejumlah fenomena yang terjadi tahun 2023 dan tahun-tahun sebelumnya yang berkaitan dengan keminahasaan, membutuhkan suatu pendalaman yang mesti kolaboratif, yaitu melibatkan banyak perspektif, pengalaman dan metode. Pemaparan bung Veldy Reynold Umbas, bung Audy Wuisang mengenai situasi terkini ekonomi negara, dan bersamaan dengan itu tentu adalah politik, lalu penjelasan Fredy Wowor tentang geopolitik Minahasa abad Lima Belas dan abad Enam Belas ketika bangsa-bangsa Eropa mulai merapat ke wilayah ini menegaskan hal yang penting, bahwa Minahasa dan keminahasaan bukanlah sesuatu yang terisolir dari pergerakan global dan nasional.
Maka dengan itu, peristiwa atau situasi yang terjadi di tana’ Minahasa yang memicu pertanyaan-pertanyaan kritis dan reflektif tentang identitas tou dan tana’ mesti disikapi dengan pembacaan yang komprehensif. Diskusi kali ini sepakat untuk kembali merevitalisasi arti dan makna ‘tana’, sebagai ruang dan tempat pijakan dalam berbagai dimensinya. Tana’ sebagai tempat adalah teritori, sebagai ruang ia mesti dipahami sebagai aktualisasi ide, gagasan, dan praktik politik dan ekonomi. Keduanya penting bagi interpretasi dan rekonstruksi identitas ‘tou’ Minahasa di era disrupsi ini.
Diskusi yang berlangsung kurang lebih dua jam ini, pada akhirnya menegaskan lagi panggilan untuk menjaga dan merawat tana’ Minahasa ini dari upaya-upaya desktruksi oleh kuasa-kuasa tertentu.
Spirit keminahasan adalah nilai yang mesti direkonstruksi menjadi praksis kebudayaan, yaitu sosio-kultural, politik dan juga ekonomi. Nilai-nilai falsafah Minahasa mesti terus digali dan direkonstruksi untuk menjadi fondasi dalam upaya merumuskan strategi kebudayaan yang makin progresif.
Selain menghasilkan sejumlah pemikiran yang konstruktif, diskusi yang fasilitasi oleh Mawale Movement dan Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur – Pukkat ini juga semacam forum ‘bakudapa lintas generasi’. Generasi Minahasa yang memikirkan dan melakukan kerja-kerja kebudayaan untuk tou dan tana’ ini ternyata terus berlanjut, paling tidak jika dihitung sejak kemunculan Mawale Movement dua dekade lalu. (*)