Sunday, November 24

Calo Sertifikat di Lanrisang


29 Juli 2022


Genderang perang ‘berantas mafia tanah’ sudah dikumandangkan. Ternyata, masih ada oknum pejabat bermain-main, jadi calo sertifikat. Interupsi ini mewakili suara mereka yang jadi ‘obyek hukum’ para mafia. Selasatu yang disorot di sini adalah tentang hak-hak yang seyogyanya diakomodir negara, dalam hal ini difasilitasi pemangku kebijakan di semua wilayah Indonesia untuk menempatkan hak-hak kepemilikan itu berdasarkan fakta-fakta sesungguhnya. Bahwa, keadilan bukan semata-mata tentang kalah-menang suatu perkara.


Oleh: Lunandar, SH
Penulis adalah praktisi hukum
Tinggal di Makassar


Editor: Daniel Kaligis


AMASSANGENG tahun 1980: Kampung itu berjarak sekitar seratus delapan puluh kilometer dari ibu kota Sulawesi Selatan. Desa Amassangeng bertetangga, Lanrisang, Samaulue, Mallongi-longi, Barang Palie, Waetuoe, Lerang. Ketika itu, desa-desa tersebut berada dalam wilayah kecamatan Mattiro Sompe, sebelum berganti nama jadi Lanrisang.

Tersebutlah Sanabe, pemilik tanah girik seluas seribu empat ratus meter bujursangkar. Tanah girik dimaksud berada di Amassangeng, Mattiro Sompe, di Pinrang, Sulawesi Selatan. Sanabe, kemudian menjual tanah girik tersebut kepada La Pattah, warga yang tinggal di Labakkang RT 003/001 –Amassangeng, Mattiro Sompe. Medio, 08 Agustus 1980, tanah girik itu dibayar La Pattah senilai tiga puluh ribu rupiah pada Sanabe. Transaksi itu dituangkan dalam surat bermeterai ‘Pernyataan Jual Beli Tanah Kebun’, tertanggal, 08 Agustus 1980. Hak atas tanah berpindah pada La Pattah. Dia bermaksud mengisi lahan itu dengan tanaman buah dan sayur.

Dalam waktu berjalan, seiring lahan berada dalam kepemilikan La Pattah, datanglah La Bohari mengajukan permintaan kiranya tanah girik yang dibeli La Pattah boleh digarapnya. La Bohari masih ada hubungan kekerabatan dengan La Pattah, maka La Pattah tak keberatan lahan itu digarap La Bohari.

Namun, tanpa izin dan tanpa sepengetahuan La Pattah, La Bohari ternyata telah mengalihkan hak atas tanah tersebut. Camat Lanrisang di Pinrang ketika itu mendorong diterbitkannya sertifikat untuk La Bohari. Permohonan mereka disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional di kabupaten Pinrang.

Tentu La Pattah kaget dan heran, sebab La Bohari hanya diberi kuasa untuk menggarap, ternyata dalam kurun sekian lama telah mengalihkan kepemilikan La Pattah. Peralihan hak tersebut ditanggapi La Pattah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena perbuatan La Bohari diduga bertentangan dengan syarat untuk diterbitkannya suatu sertifikat sebagaimana amanat regulasi di Indonesia.

Sejarah Perkara dan Regulasi

Saya dalam kesempatan ini ingin menyodorkan kronologi persoalan tanah di Amassangeng, Lanrisang, di Pinrang, Sulawesi Selatan. Menurut hemat saya, berdasarkan data dan fakta-fakta hukum – tanah tersebut – adalah hak milik La Pattah. Dan bahwa penguasaan atas nama La Bohari melangkahi sejumlah ketentuan hukum, karena: di sana ada kesalahan prosedur, ada kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, ada kesalahan subyek hak, ada kesalahan obyek hak, dan berikutnya ada kesalahan jenis hak dalam penerapan hukum atas tanah yang dimaksud.

Dokumen yang hendak saya tilik dalam interupsi perkara ini yaitu Surat Ukur No: 00648/ Amassangeng/ 2020, tertanggal 10 September 2020 – atas tanah seluas tujuh ratus dua puluh dua meter bujursangkar di Amassangeng, Lanrisang, di Pinrang, Sulawesi Selatan. Berikut Sertifikat Hak Milik No. 01631 di Desa Amassangeng tertanggal 30 September 2020.

Ada ‘peristiwa hukum’ tahun 1980. Seiring waktu berjalan, ada sejumlah data – juga dapat disebut ‘peristiwa hukum’, yakni apa yang dimaksud pada alinea di atas terkait: Surat Ukur No. 00648/ Amassangeng/ 2020, tertanggal 10 September 2020 – atas tanah seluas tujuh ratus dua puluh dua meter bujursangkar di Amassangeng, Lanrisang, di Pinrang, Sulawesi Selatan. Berikut Sertifikat Hak Milik No. 01631 di Desa Amassangeng tertanggal 30 September 2020. Kemudian terjadi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dalam persidangan La Pattah menyampaikan bahwa La Bohari dalam menerbitkan sertifikat melangkahi prosedur yang diatur Undang-Undang Agraria dalam kaitan kepentingan terbitnya suatu sertifikat atas tanah yang diklaim miliknya tersebut. Ada regulasi — Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dalam Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 26 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3. Mari kita tinjau:


Cermati Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2:


Ayat (1). Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Ayat (2). Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama dua puluh tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya — dengan syarat: Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya; berikutnya penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa atau kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Berikutnya, sebagaimana tertera pada Pasal 26 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, diamanatkan bahwa:

Ayat 1. Daftar isian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) beserta peta bidang atau bidang-bidang tanah yang bersangkutan sebagai hasil pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) diumumkan selama tiga puluh hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau enam puluh hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik untuk memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan.

Ayat 2. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di Kantor Panitia Ajudikasi dan Kantor Kepala Desa atau Kelurahan letak tanah yang bersangkutan dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau di Kantor Pertanahan dan Kantor Kepala Desa atau Kelurahan letak tanah yang bersangkutan dalam pendaftaran tanah secara sporadik serta di tempat lain yang dianggap perlu.

Ayat 3. Selain pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dalam hal pendaftaran tanah secara sporadik individual, pengumuman dapat dilakukan melalui media massa.

Lewat artikel ini, demi keadilan dan untuk meluruskan fakta-fakta sebagaimana amanat regulasi, silahkan dalami, periksa ulang obyek sengketa tersebut yang ada di Larinsang. Bagaimana hingga terbitnya sertifikat No. 01631 di desa Amassangeng tertanggal 30 September 2020. Berikut Surat Ukur No. 00648/ Amassangeng/2020, tertanggal 10 September 2020 pada tanah seluas 722 meter bujur sangkar. Bagaimana peran PPAT?

Sejauh yang saya telusuri, obyek sengketa tersebut bertentangan fakta-fakta yang ada di lokasi. Saya tegaskan di sini yang mana bukti tertulis untuk proses penerbitan sertifikat atas nama La Bohari cacat administratif. Sanabe, pemilik awal tidak pernah menjual tanahnya pada La Bohari, dibuktikan dengan tidak adanya Akta Jual Beli.

Tidak ada dokumen dari desa atau kelurahan bersangkutan sehubungan dengan obyek sengketa yang menunjuk status tanah tersebut girik atau bukan. Berikutnya lokasi tersebut ada sengketa atau tidak. Pihak La Bohari tidak memiliki keterangan riwayat tanah dari pemerintah wilayahnya. Padahal, surat keterangan tanah secara sporadik adalah merupakan hak dasar kepemilikan tanah yang harus ada sebelum diterbitkannya sebuah sertifikat yang kadar kebenarannya harus diakui panitia ajudikasi.

Fakta jelas dan tegas, ada proses yang dilangkahi: pendaftaran – ajukan konversi – kemudian dapat langsung terbit. Diketahui, pemilik sertifikat, yaitu La Bohari tidak melakukan penguasaan fisik bidang tanah selama dua puluh tahun atau lebih secara berturut-turut, di mana hal tersebut – selasatu dapat jadi dasar pengakuan kepemilikan atas tanah girik berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 – Pasal 24 ayat 2.

Dalam proses penerbitan sertifikat, telah dilalui dengan tidak adanya pemberitahuan atau pengumuman tentang suatu sanggahan atau keberatan bahwa adanya pendaftaran tanah secara sistematik maupun pendaftaran tanah secara sporadik di kantor panitia ajudikasi maupun kantor kepala desa atau kelurahan setempat.

Padahal, disyaratkan mestinya ada pengumuman atau pemberitahuan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan dalam jangka waktu tiga puluh hari dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau enam puluh hari dalam pendaftaran tanah secara sporadik.

Fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa, Sertifikat Hak Milik No. 01631 Tahun 2020 yang terbit 30 September 2020, dan Surat Ukur No. 00648/Amassangeng/2020, tanggal 10/09/2020 pada obyek tanah tujuh ratus dua puluh dua meter bujursangkar tersebut cacat hukum administratif. Data yuridis atau data-data fisik atas obyek itu keliru. Regulasinya ada: Pasal 107 Permen Agraria/BPN 9/1999: cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1).

Jadi, sesungguhnya ‘Surat Ukur No. 00648/Amassangeng/2020, tertanggal 10 September 2020 pada tanah tujuh ratus dua puluh dua meter bujursangkar atas nama La Bohari — berikut Sertifikat Hak Milik No. 01631 di desa Amassangeng, 30 September 2020’, mestinya ditinjau ulang sebab menyalahi prosedur.

Menilik ‘peristiwa hukum’ di atas, dan meninjau yang mana telah berjalan persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara sejak Januari 2021 sampai dengan dijatuhkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, medio 13 Juli 2021 – dengan berbagai pertimbangan – Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat Pertama menganggap perkara ini hanya berdasar putusan yang sudah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung bila dihubungkan dengan sengketa yang esensinya adalah mengenai kepemilikan atas bidang tanah. Tentu hal ini perlu diperiksa kembali.

Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat Pertama menyatakan tidak berwenang mengadili karena ada keterkaitan hubungan keluarga para pihak yang bersengketa. Sangat jelas Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat Pertama lalai mencermati peristiwa hukumnya, sehingga putusan yang dihasilkan melangkahi fakta hukum dan jauh dari keadilan: seyogyanya hukum tak pandang bulu, tak pilih kasih.

Jelas dan tegas, dalam data dan fakta ‘peristiwa hukumnya’ telah terjadi peristiwa mal-administrasi. Proses pembuatan dan penerbitan sertifikat yang dimaksud dalam artikel ini adalah praktik mafia tanah.

La Patta telah berupaya hukum, banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Makassar, Juli 2021. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ternyata hanya menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Lalu, bagaimana nasib tuntutan keadilan dari La Pattah dan masyaratak luas lainnya, dibungkam karena fakta ‘peristiwa hukum’ diabaikan? Atau ada alasannya lainya, entah.

Laste

Ratusan kilometer jarak dari Lanrisang ke ibu kota provinsi, seperti itu gambar keadilan – jauh dari data fakta ‘peristiwa hukum’ yang mestinya ditinjau lebih erat, lebih dekat. Dalam perkara ini, saya memandang sengketa La Pattah dengan La Bohari hanya jadi ‘obyek hukum’ semata dari mereka yang memegang palu kekuasaan.

Interupsi ini saya sampaikan kepada para pihak: pemangku kebijakan pertanahan, agar jadi perhatian bersama, untuk ditindaklanjuti, walau getir melihat geliat mafia tanah justeru bersekutu dengan penguasa oportunis. Regulasi, janjikan pembelaan, ternyata mahal dan masih jauh dari hakikat keadilan. (*)


Untuk verifikasi, hak jawab selalu diberikan kepada semua pihak terkait informasi dan pemberitaan.