Friday, April 19

Di Batas Surga Cendana


26 Juli 2022


Aroma Santalum album L, semak belukar, pepohon, pantai, pulau-pulau, samudera membentang berbatas ufuk. Suatu waktu, orang-orang ramai di Bukit Tanjung Lisomu, mereka bertanda-tangan, berkomitmen: tak sejengkal tanah pun bagi negeri asing…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Philips Marx


Gambar: Batas laut RI – RDTL di Maritaing.


FOTO decak gelombang di Maritaing, tualang kemarau Juli 2020. Membaca laut luas membentang, rindu sanak keluarga di tanah seberang. Di dermaga Maritaing, saya menanyai orang-orang tentang tanah air, mereka menjawabnya dengan wajah sumringah, berseri-seri. Ada mimik tak terbaca, entah jawabnya. Ada ujaran tertahan, wajah menerawang, ingin mengucap sesuatu. Dikulum. “Ada keluarga kami di sana,” kata mereka, jari telunjuknya ke arah samudera dan langit.

Dari batas laut mengambil gambar, membaca sejumlah informasi. Dasar regulasinya ada. Peraturan Presiden Nomor 179 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi NTT, Maritaing dapat di kembangkan menjadi pelabuhan laut internasional searah fungsi adanya  pusat pelayanan pintu gerbang, guna mendukung aktifitas lintas batas negara, sebagai pusat pelayanan jaringan akses telekomunikasi, kegiatan pertahanan keamanan negara, berikutnya pusat pengembangan ekonomi lintas batas negara, dan sebagai pusat pelayanan sistem angkutan umum penumpang.

Saya menelisik Rumah Belajar, data awal mengenal batas itu lewat teks, di sana disebut soal komoditi dagang istimewa, yakni kayu cendana. “Perbatasan Indonesia dengan Timor Leste merupakan sejarah panjang antara Portugis dan Belanda. Hal menarik bagi Belanda dan Portugis untuk berkuasa di Pulau Timor adalah karena di sana ada kayu cendana yang jadi komoditi dagang istimewa.”

Lebih jauh, Neno Anderias Salukh, dalam tulisannya, ‘Mengapa Cendana Terbaik Berasal dari Pulau Timor,’ dimuat di kompasiana.com, 29 November 2021, menyatakan bahwa telah lama para pedagang China menyebut Pulau Timor sebagai Surga Cendana. “China pada era Dinasti Fang (610 – 906) sudah mengirim pedagang melalui jalur rahasia untuk membeli cendana di Pulau Timor. Perdagangan ini terus berlangsung hingga abad Lima Belas.” Salukh dalam artikel itu mengutip Suma Oriental, ditulis Tome Pires, yang menyebutkan bahwa kapal Portugis melakukan pelayaran di Nusantara, 1512 – 1515, “Catatan Pires itu yang mendorong Raja Spanyol, Portugis, dan Belanda mengirim ratusan armada kapal dagangnya ke Pulau Timor untuk mengambil cendana dengan cara menjajah. Portugis dan Belanda yang bertahan cukup lama karena menguasai sistem politik raja-raja Timor,” begitu menurut Neno Anderias Salukh.

Argumentasi kepentingan bisnis pariwisata. Tahun 2017, pemerintah jajaki pembukaan jalur penyeberangan internasional dari Pelabuhan Maritaing, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, menuju Dili, Timor Leste. Sebagaimana rencana rute itu akan dilanjutkan ke Lembata, Larantuka, hingga Labuan Bajo.

Kata berita, ada persiapan, ada perkembangan: “Cross Border Meeting Kementerian Kesehatan RI – RDTL, 14 Juli 2022. Even ini adalah lanjutan kegiatan antarnegara membahas penanganan tiga komponen penyakit, AIDS, TBC, dan malaria, khususnya di daerah perbatasan, di Indonesia dan di Timor Leste. Cross Border Meeting akan dilanjutkan untuk dapat memutuskan dan menghasilkan kerjasama dua negara rencananya dilakukan di Oekusi, 31 Agustus – 02 September 2022.” Begitu diposting di halaman media sosial Dinkes NTT.

Aksi percepatan pembangunan, semua bergerak. Tahun 2019, Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan Republik Indonesia bersama Bappelitbangda NTT menggeelar Rapat Fasilitasi dan Koordinasi Pengelolaan Lintas Batas Negara, fokus kegiatan yang disasar adalah penyusunan rencana aksi percepatan pembangunan pelabuhan Internasional Maritaing, di Alor. Acara yang dipimpin Drs. Robert Simbolon, MPA, dari Deputi Bidang Pengelolaan Batas Wilayah Negara, Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan Republik Indonesia, sudah berlangsung di Hotel Sotis, Kupang, 04 April 2019. Berita ini ada ditulis di halaman Bappelitbangda NTT.

Angka empat belas pada penanggalan di 2020, saya tiba di sana, memandang pancang patok, memetik foto: Tercatat garis batas RI-RDTL sepanjang 268,8 kilometer – terdiri dari 907 titik koordinasi – sebagaimana data Seskoad. Bandar Malaka direbut, 1511. Portugis membidik cendana gaharu di Timor. Pernah bersama, lalu cerai politik, 2002.

Di sini, menderu sajak dewa perang, badai kemarau mendesau di Oecusse, di timur dan barat. Rindu itu adalah untuk orang-orang di sana, menikmat surga tak hanya di batas, namun dari gerak aktivitas pembangunan dan pemberdayaan, serta berdamai bersama dalam Indonesia. (*)