Saturday, November 23

Perempuan Abui


01 Februari 2022


Kesan paling membekas yang saya ingat ketika bertemu dengan orang-orang Abui adalah keramahtamahan. Senyum perempuan-perempuan dan orang-orang di sana menyapa, rela dan ikhlas…


Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Parangsula


MENGUNDUH titik petualangan, lebih sepuluh kolometer dari Kalabahi, singgahi Takpala Tribe, di Takpala Village. Mengelilingi pemukiman, pandangi rimba teduh berangin, lalu duduk di Fala Foka. Kita disugui kopi.

Beberapa sudut saya foto, lalu mengunggah gambarnya di media sosial, 27 Januari 2021. Memberi caption: Trip – ‘Perempuan Abui – Anak Abui’ – di Lembur Barat, Alor Barat Laut – East Nusa Tenggara.

Dia Novi, perempuan Abui, memasak sajian untuk siang hari. Anaknya bermain di sekitar para-para. Asap mengepul, api, belanga dan isi di dalamnya yang sementara ditanak. Harum kuahnya menyebar sekitar pondok. Di sana, tiang-tiang kayu dan bambu, ayunan bagi anak-anak bayi digantung dekat Novi, dan kami bercerita sebentar. Saya menanya kerabatnya yang berjualan anting, gelang, berbagai asesoris, dipajang dekat jalan masuk Takpala Village.

Dalam catatan Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, ditulis Zulyani Hidayah, 2015, menerangkan yang mana suku Abui disebut juga Barawahing, Barue, atau Namatalaki. Mereka mendiami wilayah Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Indonesia.

Tentang orang-orang Abui, Tri Mulyani di situs Alordaily, 20 December 2019, disebutkan bahwa mereka punya pakaian tradisional yang ditenun dengan alat tradisional menggunakan tangan. “Pakaian itu mereka gunakan untuk menyambut wisatawan yang datang ke kampung mereka, sambil menari lego-lego.”

Dijelaskan Tri Mulyani, yang mana, “Penari-penari di sana biasanya mengenakan busana kain sarung dan kain tenun khas Alor. Untuk para penari pria, mereka menggunakan penutup kepala yang dibentuk dari kain, dan rambut penari perempuan dibiarkan terurai. Para penari dilengkapi gelang kaki yang menghasilkan bunyi mengikuti langkah kaki para penarinya.”

Untuk kenang perjalanan, saya mengulang: di sana, di halaman Takpala, Martinus Kafelkay mengajari saya memegang busur dan anak panah, menawari saya mengenakan busana tari perang seraya bertutur tentang Kapitang, sang Tama yang ahli berperang. Kami melinting tembakau, Martinus dan saya mempermainkan asap. Tunggu berapa saat, rombongan kami bergerak melintas Padang Panjang, tuju Maritaing, memandang pantai dan laut. Matahari lebih panas dari biasa, perbatasan ada di ufuk, di tengah samudera.

Jalan pulang lewati telaga buatan, susuri tepi terjal naik-turun. Hampir malam meraih Bujanta, dekat Kalabahi, berhenti di situ. Saya menera resume tentang mereka di Takpala. Sekian kali datang di Takpala, berbincang dengan orang-orang di sana, dan saya amati: perempuan Abui juga lelakinya menjaga alam, memelihara tradisi. Tangan-tangan terampilnya mengurusi kerajinan, menganyam alat-alat untuk keperluan ‘sirih pinang’ mereka, menenun, memasak, membesarkan anak bersama suami dan keluarganya. (*)

2 Comments

Comments are closed.