Tuesday, April 23

Bumi Hitam Putih


26 Juni 2022


Alakaman, Atimelang, Kobola, tersebut sebagai dialek Abui. Berkali datangi wilayah itu, dan menemu senyum rela dan segar, bahagia mereka sederhana dalam keramahtamahan…


Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis


Gambar: Anak-anak Abui dan berbagai kerajinan di Takpala Tribe, Takpala Village.


MEMILIH gambar anak-anak Abui adalah keputusan saya untuk disematkan dalam artikel ini, seraya meresap kenang mainan anak-anak yang berganti seiring zaman berputar dan terus berlari, menancapkan status-status pengembaraan di dinding media berbagai dimensi.

Saya, lebih banyak status mengelabui, trick. Mengulang kejadian silam, membasuh teks supaya terbaca berkilauan seakan baru. Sajak-sajak musim yang berkeliaran di jagad maya. Hitam putih, persepsi nan ada di sejumlah lokasi, dan lebih sering menindas mereka yang tak mampu melawan, bahasa kerennya stereotype.

Nanti, anda boleh nikmati, ada dua bait di bagian bawah hingga penutup dalam tulisan ini adalah sajak lama, 2012. Singkat. Teks yang muncul begitu saja di jiwa lalu ternyata masih terdokumentasikan oleh ‘jejak digital’ di media sosial. Teks yang muncul dalam emosi, dalam tertawa, dalam derita, mungkin dalam bimbang menapaki waktu tak pernah usang karena terus berulang. Anak-anak yang dulu kita lihat dalam pelukan atau berlari mencari mainannya terus menjulang dan menyebar ke mana-mana. Mereka adalah bagian dari bumi, bagian dari hitam, putih, trick, stereotype, dan realita hari ini.

Namun, tualang jadi pengetahuan, sama seperti membaca dan belajar. Saya – dalam tualang – bersua data fakta: Abui, sebagaimana ditulis Paundria di Phinemo, adalah suku paling bahagia di Indonesia. “Keramahtamahan suku Abui akan segera menjamu anda ketika mengunjungi pedalaman Nusa Tenggara. Anda akan menemui betapa kebahagiaan mereka begitu sederhana.” Demikian lead di artikel Paundria.

Tersenyum, Martinus Kafelkay dan anak Abui.

🖇 Artikel Terkait: Perempuan Abui

Walau gusar terbakar di ambang sore nan merah. Musim gunduk dan karet gelang sudah musnah, berganti games, dimensi berjejal-jejal, layar sentuh, robot dan segenap kegamangan. Mana sajak-sajakmu globalisasi:

Ada hitam, ada yang tetap putih. Bumi, bukan sekedar salah atau benar? Merasa kuat, merasa tak berdaya, saban hari – siang dan malam. (*)


Kampung Teks, 26 Juni 2012