Tuesday, April 30

Sarapan Rakyat yang Malang


2014


Judul di Jurnaloriente:
Kegamangan Mutakhir di Pundak Proposal Miskin


Oleh: Daniel Kaligis


Kondisi miskin terus diserbu berbagai tuntutan ‘kaya peran’ membayar segala kewajiban, karena sudah bersedia, dan patut jadi rakyat saja, supaya elite lebih berdaya dan dapat mengumumkan banyak keputusan kebijakan yang sudah mereka siapkan. Mimpi itu sudah sering berlayar ke negeri seberang dan pulang membawa khayalan baru: sinis, sarkas.


SESUMBAR bergulir: pada bilik yang sama, kecewa mengalir. Sarapan yang sama saban hari, itulah sosialisasi kemakmuran, meski posisi rakyat sebagai pemirsa, sah sebagai penonton pembangunan.

Hari ini menular perilaku yang diduga baru, new normal, adaptasi baru, kebiasaan lama lebih mengakar. Rakyat tunduk pada murka aturan, regulasi yang menggulung bisnis di dalamnya. Rakyat tinggal dalam goa saja, dan dalam aturan, praksisnya negara lepas tanggung gugatnya untuk mewadahi kebutuhan rakyat. Seperti itu pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, yang payung hukumnya tidak tuntas dijelaskan oleh pemegang regulasi pengendali sistem.

Pesta pora dalam emperium yang mengumumkan demokrasi saat rakyat belum berdaulat, euphoria hak-hak menyiratkan kepentingan elite saja. Walau ada yang menghentak dengan nada tegas, soal kemajuan yang menentukan adalah juga soal iman dan intelektual. Di banyak lokasi, kebinggungan jadi lebih beringgas. Tag terus berubah, ketika tiba masa, tibalah akal-akalan.

Kekinian yang diusik cerita-cerita. Gambar transparan yang sanggup membedah kemunafikan berita yang tak tahu apa-apa. Mungkin inipun bukan kabar baru, cuma dipoles dan dibungkus lagi, isinya masih itu-itu saja, berita mengelus-elus pemerintah penguasa, supaya dapat cerita dan dapat jatah: pulsa data untuk eksis di segala lokasi.

Coba buka lembaran yang sudah lewat, niscaya kita akan sanggup memandang dari jarak yang tepat dan pas dengan lebih cermat. Ini juga anjuran bagi mereka yang sudah (terlanjur) mengaku sebagai pemimpin, supaya datang dan lihat dari dekat apa yang ada di tataran rakyat. Cerita ini menderas sebab aroma sistem tercium tak sedap, apalagi saat rakyat hanya jadi oceh seminar.

Rakyat hanyalah bahan baku proposal miskin.

Saya bertualang, datang di dapur rakyat suatu ketika di suatu pulau. Gambar itu yang saya pajang sebagai ‘feature image’ pada artikel ini. Pulau yang sunyi, dapur rakyat yang sepi, dan harga yang mahal. Di sana, di Cong Bu, Tanjung Tinggi Beach, Belitong.

Di airport saya bersua orang-orang dan bertanya, “Dari mana?” Mereka bilang, “Dari Tanjung Pandan.” Perantau dari Nusa Tenggara, dan saya. Kami ngobrol dan sama-sama merasa sebagai rakyat. Dapur yang sunyi yang saya cerita sebelumnya adalah pemandangan ketika saya bertandang ke Tanjung Pandan, menyiarahi pantai-pantainya, menyibak hutan karetnya di pulai bekas ‘Kerajaan Timah’ seperti cerita tutur yang dikenal rakyat di masa silam. Kami berkenalan, lalu satu satu nama dilupa. Hanya, teringat kita rakyat. Teringat besok mesti sarapan, mesti kerja supaya boleh minum dan makan, dan tetap menjadi manusia.

Catatan penting yang berujung hari silam dihembuskan, untuk belajar dari pengalaman. Rakyat butuh pemimpin yang seperti apa? Yaitu dia yang mau mengakomodir suara rakyat, serta mampu meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Demokrasi kita adalah partai yang memilih sesuai selera.

Demokrasi bingung dan bimbang. Termenung di warung pojok persimpangan zaman yang lupa diri dan hilang ingatan.

Layak dipikir ulang untuk kembali mengumumkan khotbah-khotbah kemenangan. “Kami terus berupaya dengan sungguh-sungguh untuk melanjutkan upaya pengurangan kemiskinan, pengangguran dan hutang pemerintah terutama hutang luar negeri kita. Upaya tersebut juga telah dilakukan sebelumnya, yang dalam kenyataannya juga mengalami pasang-surut.”

Sudah lewat harinya, namun akan berulang saban musim. Kita kembali lagi ke rutinitas. Boleh jadi hilang makna, di anggur dan mabuk dogma negara yang melebihi dosis karena senang dan menang kita boleh diukur seberapa banyak yang melewati kerongkongan.

Padahal, kemarin kita boleh membasuh kaki, membasuh hati, berdamai, dan merendahkan diri sendiri, supaya kita boleh belajar berempati dengan situasi manusia yang lain yang lebih buruk nasib dari kita. Namun, lain waktu kita tak dapat mengulang lagi.

Kembali ke kubangan masa lalu, diri penuh dosa dan nista. Lupa untuk selamanya jadi biasa. Dan pada tataran implementasi, gerak pembangunan seperti sepi dan banyak warga yang tidak tahu yang mana daerah mereka merupakan target dari pengentasan kemiskinan. Informasi itu masih dibetot.

Bila rakyat bertanya tentang pembangunan yang asal-asalan, maka ia selalu dikucilkan dan dianggap pembangkang.

Mari kita diktekan lagi cerita kemarin itu. Sebuah alasan yang kadang susah dibantah, dan dengan argumen yang miris ada yang sudah punya jawaban yang terlihat serius. Kenyataan yang sudah pasti. Kenyataan yang ada di mimpi-mimpi meminggirkan segala kepastian. Segenggam soal yang tak mampu dipeluk jari-jari lalu tercurah mengotori baju keteledoran.

Bila datang petaka, berita menudingkan kepasrahan mereka yang berduka. Simpul-simpul rumit semakin membelit. Pasang yang tak mau surut, airmata yang membanjir sebab segalanya sudah terlanjur dan jadi percuma untuk diungkit-ungkit. Adalah janji manis yang sudah jadi racun yang siap membunuh masa lalu.

Mimpi-mimpi penghibur lara.

Kisah silam tentang rakyat yang jadi terhimpit data oleh para pemimpin pemimpi. Jangan sampai dari banyak yang sudah merasa layak dan patut memimpin, namun sayang, hingga detik ini ia cuma mampu terus bermimpi mengentaskan segala miskin dalam mimpinya saja, tanpa punya hasrat untuk bangun dan mengerjakan amanat yang pernah di-usung-kampanye-kan dulu sebelum jadi pemimpin.

Tidurlah lebih panjang lagi, maka kemiskinan datang seperti penyerbu yang tak diduga. Miskin informasi paling menindas, lalu kabar burung dibagi di sejumlah group dan di sejumlah media sosial. Yang paling santer adalah tentang kode setan dan hari kiamat. Umat yang mumet, semakin keranjingan dan gugup menanggap klaim lucu ‘keyakinan kami paling benar’. Negara tetangga kita mencipta bulan artifisial, kita berbulan-bulan cuma omong besar tentang Negeri di Seberang Awan-Awan. Lupa tanah tempat berpijak adalah bumi yang harus dijaga supaya damai dan saling berbagi, saling menyayangi.

Atau rakyat miskin yang terus diserbu berbagai tuntutan ‘kaya’ peran membayar segala kewajiban karena sudah bersedia dan patut jadi rakyat saja, supaya elite lebih berdaya dan dapat mengumumkan banyak keputusan kebijakan yang sudah mereka siapkan. Mimpi itu sudah sering berlayar ke negeri seberang dan pulang membawa khayalan baru.

Di bilik yang lain kita membeber pungutan liar. Rakyat adalah sejarah yang tersayat. Bagai cerita sumbangan tanpa tekanan dan tanpa nama.

Hendakkah kita menjelaskan ke mana arah sumbangan itu? Kisah sumbang menyumbang sambung menyambung seperti persabungan, berkelahi rupa dengan fakta dan realita.

Kita masih mendiktekan kegamangan yang mutahir dan mendidikkan keraguan. Semakin hari semakin jadi. Semakin banyak pengangguran yang meragukan, dan kemiskinan yang membingungkan. Jumlah itu dapat ditelusuri di daftar nama penerima dana miskin, dana sehat, dana baju, dana diktat, dana fotokopian, dana les, dana laboratorium, dana segala cara untuk mendiamkan persoalan.

Kita kehilangan alat bedah bagi tiap fenomena yang berlangsung dalam kehidupan manusia-manusia yang semakin canggih. Klaimnya begitu. Bila ada yang tersisa, itulah yang terus dipungguti dan menjadi sarapan kita saat malam datang bersama lapar keadilan yang hilang.

Sarapan rakyat apa yang dianggap berita, namun kabur verifikasinya. Seperti itu, janji keadilan penuh persoalan, aparat yang bertindak keparat dan memakan jatah rakyat. Sarapan tertunda dan kita terus saja miskin: segalanya, peran, ilmu pengetahuan, informasi, literasi, buku, dan saksi-saksi. (*)