Tuesday, April 30

Ziarah Teluk Mutiara


28 Februari 2024


Oleh: Dera Liar Alam


MEMORIES diserap berita — langit maha luas ditaburi mitos: demikian, ambang siang saya meramu huruf di tepi pesisir menanggapi tanah perkara. “Teluk Mutiara entah kapan diberi nama begitu dan apa maknanya? Sama nama, ada kecamatan di pinggir kota yang diberi nama Teluk Mutiara. Namun, negeriku hari ini dikuasai kaum borjuis penjajah laut dengan jaring-jaring penangkar mutiara seakan menjepit nelayan kampung mengais rezeki di pesisir di samudera,” ucap Avuineng menanggapi foto yang saya taruh di halaman sosial media.

Bersua di Aston – Pasir Panjang, Kupang, dengan Avuineng dan bercerita panjang lebar berbagai soal. Avuineng, lengkapnya Marthin Atabuy Avuineng, kawan yang kritis terhadap hal-hal politis di tanah air. Bicara kontroversi itu kami suka. Mengingat arus dingin yang damparkan ikan-ikan hasil laut, atau politik kurang makan kurang minum, namun rakyat tetap mabuk teori penguasa. Belum menyentuh babad mas kawin yang dipelintir surat nikah, Avuineng bertutur potensi wisata, mezbah di Dola Koyakoya. Saya ngolor-ngidul perkara senja, ufuk, warna yang selalu berubah waktu demi waktu tak pernah sama. Musim bunga, awal tahun selalu dominan hijau di Negeri Timur Matahari, lalu merah dan jingga kontras di sejumlah titik.

Teluk Mutiara di mana saya menutur kisah ini di sana derai masih saja ramah mencumbu pemukiman di sekujur asin air lautnya, hanyut kenang, bayang-bayang memanjang senja terbilang, lampu-lampu padam, lampu-lampu terpasang, gelap ranum, buah-buah asing di dermaga ujung kampung, mengeja Adang, Buom, Air Kenari, Fanating, Motongbang, Teluk Kenari, Binongko, Kalabahi Barat, Kalabahi Kota, Kalabahi Tengah, Kalabahi Timur, Mutiara, Nusa Kenari, Welai Barat, Welai Timur, Wetabua, dan seterusnya nama-nama yang pernah jadi situs persinggahan fana.

Pernah suatu malam bertandang di rumah Avuineng. Saya membeli beberapa bungkus rokok, dan kami ngobrol hingga larut. Tak sempat saya umbar kisah foto-foto di teluk manakala collocalia vestita ramai melintas di cakrawala. Lincah dari ketinggian sang collocalia vestita terkadang menyambar arus atau menukik di gelombang. Itulah babad unggas sayap meruncing, collocalia vestita, selasatu penerbang tercepat menempu seratus enam puluh sembilan kilometer per jam dalam penerbangan horizontal sebagaimana dicatat Supercharged swifts fly fastest. Piper Ross di Extraordinary Animals: An Encyclopedia of Curious and Unusual Animals, menyebut yang mana wallet, yakni collocalia vestita, biasa dapat terbang dengan kecepatan maksimum tiga puluh satu meter per detik – atau sekitar seratus dua belas kilometer per jam. Dalam waktu satu tahun, collocalia vestita dapat menempuh jarak setidaknya dua ratus ribu kilometer. Burung-burung di beberapa tempat jadi penanda, jadi lambang. Orang-orang di sana juga mengenal walet sejak dulu. Walet ada di goa-goa karang jauh dari pemukiman, namun ada juga walet di bumbungan rumah. Beberapa yang terperangkap dan jatuh, jadi mainan anak-anak.

Ziarah di Teluk Mutiara saya menyebut negeri maritim di mana nelayan kehilangan pantai. Interupsi itu disambut Avuineng, “Rakyat terus ditekan. Bungkam pasrah karena sang borjuis ampuh meracuni mulut dan nurani penguasa, dan wakil rakyat – entah duduk entah tidur – kenyang dengan remah-remah janji investasi.” Dalam ziarah saya selalu mengulang pertanyaan sama, walau jawabnya boleh beda: Apakah kehidupan di teluk telah mulai jutaan tahun silam? Tidak tercatat. Hanya ada tutur masa lalu yang cenderung belum terlalu usang.

Berharap suatu ketika kembali ke teluk, bila sempat boleh mengajak Avuineng berdiskusi kecipak gelombang, sajak usang perdebatan: gunung-gunung hijau membiru, langit, gaib, tengkorak raja memimpin pertempuran – di masa yang lampau ada serang, erang, perang. Hanya, kisah silam tinggallah nyanyi seniman di musim-musim sepuh, kadang ikan menghilang, panen bersemayam matang jatuh hilang.

Bagi saya, ziarah itu berbagi ide, gagasan. Nama memang pernah jadi soal, sepakat atau menolak, terserah. Gelombang dan arus di teluk akan selalu menggambar rindu yang sudah jutaan waktu terbilang, masih sama seperti hari ini, kangen untuk berkunjung. (*)