Saturday, December 21

Virus Genius dan Bandit Minyak


15 Februari 2022


Konsumen ‘panic buying’, begitu kata kabar berita. Kalau harga PCR dipermainkan — “Mau PCR yang ekspres? Ada, delapan ratus ribu.” Rakyat pengguna bertanya ke siapa alasan kenaikan harganya? Mau menyoal daya beli? Jawaban macam-macam. Lalu, rakyat pasrah. Pembela orang miskin mingkin sedang tidur. Jangan-jangan sistem sudah dikuasai para bandit rupanya…


Oleh: Daniel Kaligis
Editor: Parangsula


Gambar: Penjual minyak goreng eceran di Pasar Sawah.


NANYA ke Pipit, “Ada minyak goreng?” Dia jawab, “Belum masuk.” Lanjut bertanya, “Kapan masuk?” Dia menjawab santai tanpa memerhati orang yang bicara dengan dia. Matanya tertuju ke layar di depan jidatnya. “Tidak pasti,” ujar Pipit.

Pipit itu bukan jenis burung, dia pegawai ritel modern di Jl. Sungai Poso. Kamis, 10 Februari 2022, pekan silam saya ke supermarket itu, setelah berkeliling cari minyak goreng di dua pasar rakyat, produk itu tidak ada. “Ada yang simpan. Waktu harga naik, mereka timbun, sekarang harga minyak goreng turun, penimbun merasa rugi kalau jual sesuai harga yang ditetapkan pemerintah,” kata Ani, pekerja dari Flores.

Minyak goreng ada di media sosial, dijual dengan harga tidak terkendali. “Ada barangnya di penjual online, namun tetap mahal. Tidak sesuai harga yang ditetapkan pemerintah,” tambah Ani, sambil menunjukan handphone-nya seraya membuka halaman penjualan minyak goreng online.

Obrolan ‘ritel menimbun minyak goreng’, videonya disebar. Maka, ada dua orang ngobrol di pojok ibu kota: “Hati-hati berkomentar, jangan terlalu cepat menghakimi. Kita tidak tahu seperti apa sebenarnya di lapangan. Kalau menurut saya, itu tidak menimbun. Kalau sekelas ritel mau menimbun puluhan dus atau ratusan dus mereka mampu baru bisa dikatakan menimbun. Kejadian di video itu ‘kan sudah dijelaskan hanya 24 liter stok untuk menggoreng ayam – usaha baru di ritel. Mungkin memang dari pusatnya itu diperuntukan untuk stok menggoreng ayam selama sebulan. Beda lagi stok minyak goreng untuk dijual. Lah, nanti kalau stok untuk goreng ayam dijual habis secara sistem komputernya nanti gimana? Terus mereka goreng ayamnya pake apa?” tanya Nur.

Pertanyaan Nur dijawab Ida, “Setuju mbak, ritel itu ada target. Kalau semua langsung dijual, ya target bisa down. Target sales tercapai tapi gross marginnya hancur. Gross marjin itu keuntungan kotor ya contohnya belanja produk promo contohnya minyak goreng. Saya pernah juga berada di posisi sepeti ini, mesti menahan menjual produk minyak goreng. Soalnya belum akhir bulan, target gross marginnya sudah mepet. Ah, pokoknya menjelaskan untuk para emak-emak susah ditangkapnya.”

Alasan kelangkaan minyak goreng, alasan kenaikan harga, memang banyak. “Menstabilkan harga dan stok minyak goreng, pemerintah mewajibkan produsen memenuhi stok minyak goreng dalam negeri sebanyak dua puluh persen dari volume ekspor. Namun, bahan baku untuk memproduksi minyak goreng ‘Domestic Market Obligation’ belum terserap di pabrik.” Begitu dikabarkan di inews.id terkait kelangkaan minyak goreng dalam negeri, diberitakan awal Februari, silam.

Bertanya harga, per jerigen isi lima liter, harga seratus dua puluh ribu rupiah.

Pedangang mana peduli, perusahan mana mau rugi? Padahal, ‘Domestic Market Obligation’ dan ‘Domestic Price Obligation’ adalah kewajiban yang ditetapkan pemerintah, dalam hal ini Kementrian Perdagangan. Isinya tentang kewajiban dan kebijakan produsen untuk memenuhi pasokan dalam negeri, berikutnya kewajiban menjual sebagian dari produksi dengan harga diskon atau setara dengan harga ekspor mereka ke pasar di dalam negeri.

“Pagi boss, masuk minyak goreng lima liter, merek ‘Sania’. Stok tiga ratus dus saja. Harga terjangkau, dalam satu dus isi empat jerigen,” tulis Marcellino di halaman meta dengan lampiran gambar jerigen dan nomor whatsapp. Dia terdeteksi pedagang di Poso.

Pemerintah tetapkan ‘harga eceran tertinggi’ empat belas ribu rupiah per liter, pedagang minyak goreng mana mau patuh? Cokro, tinggal di Bandar Lampung, menanggapi berita penetapan harga yang dipublikasi media, dia bilang, “Katanya mau pulihkan ekonomi, tapi harga minyak goreng tetap selangit. Himbauan harga juga tak mempan, barangnya juga gak tahu ada di mana. Ditambah lagi situasi sekarang ini selalu dikaburkan ditekan-tekan dengan berita covid.”

Boni, teman di Jl. Hati Murni, Mariso, bilang, “Sekarang produksi sawit jelek. Ini yang membikin harga minyak goreng di pasaran jadi tinggi.”

Orang-orang antre di depan swalayan, di pasar, di lokasi-lokasi penjualan yang masih melayani pelanggan. Mereka tunggu kesempatan beli minyak goreng dari pedagang. “Di sini harganya masih empat dua,” tutur Nita dari Jakarta Timur, menegaskan ternyata minyak goreng dijual Rp 42.000 untuk ukuran dua liter.

“Harga katanya turun, barang tidak ada,” beber Carter kesal.

Nando, tukang gorengan, kesal dengan kenaikan harga. “Sulit cari minyak goreng sekarang, tapi kita tidak dapat mendongkrak harga gorengan, sepotong gorengan tetap seribu. Kan bandit semua itu yang menumpuk minyak goreng dan menyembunyikannya sehingga harga melambung,” kata Nando. Saya tanya dia, “Apa itu bandit?” Nando hanya tertawa. Villain, karakter, arketip dalam narasi sejarah atau fiksi, penjahat, maling, rampok, kejam, sobong dan, “Pokoknya mereka licik,” tambah Nando.

Kelangkaan minyak goreng ditanggapi masyarakat dengan berbagai tafsir. Ada yang menghubungkannya dengan isu pandemi dan virus. “Waktu varian alpha, yang langka masker dan hand-sanitizer, ketika varian delta menggejala, yang langkah oksigen. Sekarang varian omicron, yang langka minyak goreng,” meme dipajang Noldy di halaman media sosial.

Kenaikan harga menyusahkan rakyat, walau mereka tidak mengerti hubungan kenaikan harga dan virus, juga soal pandemi. “Tak ada hubungan antara kenaikan harga minyak goreng dengan virus. Kenaikan harga ada rumus ekonominya sendiri.” Begitu kisah Trisno, pengendara motor online di lintasan Tanawangko – Tomohon. “Ada kenaikan harga sejumlah produk, tidak ada kaitan dengan pandemi saat ini. Saya tidak percaya virus, namun tentang kenaikan harga, kami rakyat miskin yang jadi lebih susah,” tuturnya.

Virus itu pinter, malah boleh jadi genius. “Ada pembatasan waktu, semacam jam malam karena soal virus. Virus koq cuma ada siang hari. Mau nongkrong di warung kopi malam-malam dibatasi. Tapi, ekonomi kelihatannya tetap menggeliat tumbuh. Ada banyak tempat nongkrong baru bermunculan di masa pendemi. Virus yang pinter dan genius. Logika kita seperti mati. Bayangkan masuk warung, minum dan makan, orang-orang berkumpul semua buka masker. Di mall dan tempat-tempat orang hangout, semua terlihat patuh pada saat masuk lokasi. Setelah bubar, antrean orang menumpuk di pintu keluar, protokol diabaikan,” beber Echa, tenaga kesehatan yang bertugas di Sorong, Papua.

Saya foto, nongkrong di warung kopi, pelaku perjalanan, menulis, mengedit, bertanya dengan banyak orang. Menemu bahwa harga berbeda di banyak tempat. Uji-coba, tafsir yang bermacam ragam. Damai, teduh, rakyat, walau sesekali berteriak dan kesal. (*)

1 Comment

Comments are closed.