Tuesday, April 30

Vanessa Angel


03 Desember 2021


Sebuah Rangkuman Hidup dari Jejak-Jejak Digital


Waktu Vanessa ditahan polisi, sang ayah tidak mau menjadi penjamin penangguhan penahanannya, mengabaikan permintaan pengacara Vanessa, yang kalau tidak salah berasal dari sebuah kota mode di Italia. Sekarang pengacara ini malah menjadi pengacara ayahnya.


Oleh: Linda Christanty
Editor: Dera Liar Alam


SELAMA beberapa hari ini banyak berita tentang kematian Vanessa Angel dan suaminya, Febri Adriansyah alias Bibi. Keduanya meninggal karena kecelakaan mobil. Sopir mereka mengemudi dengan kecepatan tinggi sambil merekam aktivitasnya dengan kamera video, sehingga mobil menabrak pagar pembatas jalan tol dan terkoyak seperti terkena serangan roket. Gala, putra Vanessa dan Bibi, yang masih balita selamat, begitu pula pengasuhnya.  Sopir juga selamat. Sekarang dia mendekam di bui.

Kematian itu membuat masa lalu Vanessa terungkap hingga ke masa kecilnya. Melalui jejak-jejak digital yang ditinggalkan terbongkar kisah hidupnya yang sungguh menyedihkan. Waktu Vanessa masih hidup, seorang tetangga dari masa kecilnya di Jakarta, Tante Noni, menulis di Instagram bahwa dia salut kepada Vanessa karena tidak pernah membongkar sekalipun perlakuan ayahnya dulu. Kata Tante Noni, Vanessa kecil seringkali dipukuli ayahnya, dan suara tangis kesakitannya yang membahana didengar oleh semua tetangga. Apakah Vanessa masih ingat Tante Noni, tanya tetangga itu. Vanessa menjawab dia masih ingat kepadanya. Tante Noni prihatin mengenang masa tersebut. Mereka lalu saling berkirim peluk digital.  Seorang tetangga yang lain lagi berkomentar bahwa Vanessa pernah akan “dijual” oleh ayahnya.  Vanessa tidak menanggapi komentar itu. Ibunya meninggal dunia waktu dia berumur 10 tahun. Sejak usia 13 tahun dia telah bekerja untuk menghidupi ayah dan adik perempuannya.

Dalam sebuah wawancara, dia mengatakan kegiatannya waktu itu adalah bekerja dan bekerja. Ayahnya menyekolahkan dia hanya sampai SMP, meskipun dia bercita-cita tinggi. Dia tidak pernah mengetahui berapa jumlah honorariumnya. Semua uang hasil kerjanya dipegang ayahnya. Suatu hari dia tidak tahan lagi dengan keadaan itu, lalu kabur dari rumah di usia 16 tahun. Semoga dia bukan korban kekerasan seksual. Setelah itu dia tinggal di Jakarta dan menekuni dunia artis. Ada orang-orang yang membantunya. Ada orang-orang yang berperan makin meruwetkan hidupnya. Dalam sebuah wawancara televisi, ayahnya menegaskan bahwa dia telah menjadi ayah yang baik, yaitu dengan mengkursuskan putrinya untuk bisa bermain alat musik. Katanya, putrinya kabur gara-gara dilarang pacaran. Selama 10 tahun sejak Vanessa kabur dari rumah, ayahnya tidak pernah mencarinya sekalipun.

Vanessa kemudian terjerat kasus prostitusi online untuk pertama kali, yang dikenal dengan ‘Kasus Rp 80 juta’. Beberapa orang berkata dia dijebak oleh temannya sendiri. Dalam sebuah wawancara, seorang pemandu acara bertanya kepada Bibi yang waktu itu masih menjadi pacarnya, “Apakah kamu tidak takut terkena penyakit AIDS?” Bibi menyatakan dia tidak takut. Pemandu acara terkejut, oh kok bisa. Karena pemandu acara bereaksi tengil, akhirnya Bibi terpaksa menjelaskan bahwa polisi datang ke lokasi sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Pemandu acara mengatakan, oh, kalau begitu, polisi telah menyelamatkan Vanessa. Bibi berkata, Tuhan telah menyelamatkan Vanessa.

Waktu Vanessa ditahan polisi, sang ayah tidak mau menjadi penjamin penangguhan penahanannya, mengabaikan permintaan pengacara Vanessa, yang kalau tidak salah berasal dari sebuah kota mode di Italia. Sekarang pengacara ini malah menjadi pengacara ayahnya. Ada fans Vanessa yang mengatakan ini karena dulu cinta diam-diam pengacara itu sempat ditampik Vanessa. Semacam balas dendam. Pengacara ini ‘kan sudah beristri dan beranak. Masak sih dia naksir Vanessa. Rasanya, tidak mungkin. Kalau saya jadi dia, buat apa menjadi pengacara ayah dari kliennya yang dia tahu telah menderita gara-gara si ayah. Lebih baik bergembira ria bersama istri dan anak, membuat hubungan keluarga sendiri makin hangat. Waktu amat berharga. Rezeki bisa datang dari kasus lain.

Berkali-kali ayah Vanessa membuat pernyataan-pernyataaan yang menyalahkan, bahkan menghina putrinya ketika diundang bicara di berbagai acara televisi. Pada hari pemakamannya, ayahnya masih saja melontarkan kalimat-kalimat yang bernada memojokkan putrinya di hadapan wartawan. Kalimatnya antara lain, seperti ini, “Dulu dia baik (waktu dia masih menghidupi ayahnya), lalu pernah tidak baik (waktu dia kabur dari rumah dan tidak lagi menghidupi ayahnya), dan kemudian menjadi baik lagi (karena dia sudah meninggal dunia).”

Dalam sebuah acara televisi, ketika Vanessa masih mendekam di penjara Surabaya, ayahnya sempat ditanya psikolog Elizabeth Santosa, “Kalau rasa sayang itu ukurannya 1 sampai 10, berapa rasa sayang bapak terhadap putri bapak?” Ayahnya menjawab 1, mungkin karena gugup, atau ini ucapan spontan yang jujur dan lahir dari kesadarannya. Spontanitas lahir dari kesadaran. Elizabeth tampaknya mengetahui ada yang tidak beres dengan si ayah. Dia mengatakan, banyak anak perempuan dibesarkan sendirian oleh ayahnya, tanpa ibu – karena meninggal dunia atau sebab lain – , dan hubungan mereka sangat baik, ada ikatan erat antara orangtua dan anak. Ayah Vanessa terdiam. Elizabeth kemudian berseru keras, “Tidak ada anak yang terlahir nakal!”, mengagetkan semua pemirsa di studio dan di rumah. Kucing saya sampai melompat dari sofa. Psikolog itu benar.

Orangtua bertanggung jawab untuk mendidik dan merangkul anaknya, bukan menyalah-nyalahkan anaknya seolah anak itu adalah Mobutu Sese Seko, Marcos, atau  Soeharto.

Vanessa dijebloskan ke sel kedua kali ketika bayinya berumur empat bulan, gara-gara dia mengkonsumsi obat untuk mengatasi depresi.  Sukar untuk menghindari depresi jika kamu dilanda masalah kehidupan begitu berat dan ruwet seperti dia. Polisi tiba-tiba datang untuk menangkapnya. Entah siapa yang melapor. Kali ini dia tidak terlantar, karena ada suaminya, adik-adik iparnya, ayah  mertua dan ibu mertuanya yang peduli dan menyayanginya. Dia juga memperjuangkan hak untuk menyusui bayinya.

Drama ini belum berakhir. Ayah dan adik perempuan Vanessa memperoleh uang asuransi lebih dari Rp 500 juta. Tetapi sang ayah masih belum puas. Dia mengincar peninggalan putrinya yang tidak seberapa. Dia ingin semua baju dan tas Vanessa diberikan kepada adik perempuan Vanessa. Setelah itu dia mengatakan bahwa dia juga ingin membangun Museum Vanessa untuk memajang benda-benda bekas pakai almarhumah di museum itu (termasuk sandal jepit Swallow, sikat gigi, celana dalam, beha, dan lain-lain, tempolong atau pispot juga kalau ada). Awalnya dia setuju hak perwalian Gala dimiliki ayah Bibi. Dia menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan ayah Bibi untuk memperoleh hak perwalian dan menandatangani kesepakatan itu. Beberapa hari kemudian dia mendadak berubah pikiran lalu mengajukan hak perwalian juga, dengan mencabut persetujuannya dari ayah Bibi.

Hak perwalian ini  mencakup kewenangan mengurus harta atau warisan untuk anak di bawah umur hingga si anak dapat mengelolanya sendiri di usia yang ditentukan.

Tersiar juga keinginannya untuk memperoleh hak asuh Gala.

Fans Vanessa pun cemas Gala akan diperbudak oleh kakeknya, mengingat pengalaman ibunya dulu. Dia juga meminta orangtua dan adik-adik Bibi meninggalkan rumah Vanessa, dengan alasan dia ingin leluasa mengunjungi cucunya. Padahal ayah Bibi yang membayar uang kontrak rumah itu. Belum selesai sampai di sini, dia tiba-tiba  melontarkan ingin membongkar kuburan Vanessa untuk memindahkan jasadnya dan memakamkannya dalam satu liang dengan almarhumah istrinya (ibu kandung Vanessa). Setelah kecelakaan itu,  jasad Vanessa dan suaminya Bibi dimakamkan berdampingan di satu liang.

Ayah Vanessa ini adalah pelaku kekerasan terhadap anak. Seharusnya sejak dulu dia ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Anaknya sudah meninggal pun belum puas juga dia menyiksanya. Karena dia mengukur segala sesuatu dari materi, dia ingin memisahkan kuburan putrinya dari suaminya. Padahal putrinya sudah menjadi arwah.

Andaikata si ayah pintar, seharusnya dia puas dengan uang asuransi Rp 500 juta (lebih sekian puluh juta) itu agar tidak memicu perkara baru.  Syukur-syukur dia bisa dapat uang itu. Secara hukum agamanya dan berarti, secara hukum negara (mengingat negara ini beragama),  meskipun namanya dan nama putrinya (adik perempuan Vanessa) tercantum sebagai pewaris, mereka sebenarnya tidak berhak atas keseluruhan uang tersebut. Asuransi itu dibuat Vanessa ketika dia belum menikah. Karena dia meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat, maka ketentuan pembagian uang pun otomatis berubah lantaran dia mempunyai seorang anak laki-laki.

Ketentuannya adalah 5/6 uang asuransi adalah milik Gala dan 1/6 menjadi milik ayahnya. Adik perempuan Vanessa menjadi tidak berhak sepeser pun, karena adanya Gala.  Ibu tirinya, apalagi, tidak berhak sama sekali. Sayang sekali, ayah Bibi telah menandatangani penyerahan seluruh uang itu untuk menjadi milik ayah Vanessa. Dia tidak mau mempermasalahkan uang itu, karena ingin fokus mengurus cucunya yang dipersulit oleh ayah Vanessa.

Ayah Vanessa tinggal di Pemalang, ini kota yang mengingatkan saya kepada seorang teman aktivis yang mengkhianati teman-teman aktivisnya sendiri dan terlibat dalam penculikan mereka di masa Orde Baru. Siapakah dia? Tidak akan saya kisahkan di sini.  Biar saya tulis lain kali. Saya ingin kita mengingat kisah ini sebagai kasus kekerasan terhadap anak perempuan. (*)