Friday, November 22

Tiga Abad Immanuel Kant


23 April 2024


Tokoh filsafat Jerman itu lahir, 24 April 1724. Pemikiran Kant sebagian besar mengkritik tentang metafisika tradisional, dan dia mengandalkan penggunaan akal dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan…


Oleh: Benni E. Matindas
Penulis adalah budayawan


DI AKHIR Abad XVIII, benih-benih pencerahan yang disemai oleh Humanisme dan telah berkembang sepanjang empat ratus tahun laksana gelombang pasang melanda secara efektif semua sendi kehidupan umat manusia: filsafat, seni, politik, budaya, sains, sampai gereja — tiba-tiba sudah berada di jalan buntu lantaran pertentangan tumpas-menumpas tak terdamaikan di antara anak-anak kandung filsafatnya sendiri, yakni Rasionalisme versus Empirisme, dan sekaligus berada di tepi jurang keruntuhan lantaran — sebagaimana diperingatkan kaum Romantik – perkembangan saintisme yang membawa budaya serba mekanistis itu justru menjadi racun pembunuh semua sel-sel kehidupan humanisme itu sendiri. Tapi, di saat segenting itu, tiba-tiba Immanuel Kant (1724-1804) tampil menyelamatkan, bahkan dengan cara menyempurnakan ‘pencerahan’, dan sekaligus menjadi proklamator hakikat ‘pencerahan’, atau apa yang disebut ‘aufklärung’ itu!

Kant sungguh seorang ‘raksasa filsafat’. Semasa hidupnya ia juga sohor sebagai scientist serba-tahu, yang antara lain terkenal dengan teori astrofisikanya tentang asal-muasal tata-surya, juga tentang sistem hukum internasional.

Tapi dalam filsafatlah Kant terposisikan laksana sang omniscience dan omnipresent yang mengisi setiap relung semesta pemikiran dasar.

Filsafat Kant mengatasi polarisasi Rasionalisme vs Empirisme yang dengan dalil-dalil Descartes, Leibniz, Wolff dan Berkeley di satu kutub, dan Bacon, Locke, dan Hume di kutub seberangnya, sudah menjadi totalitas dari sistem semesta filsafat, melanjutkan dan mengabadikan polarisasi yang sudah berlangsung sebelum dan sesudah Platon-Aristoteles, gelombang antar-kutub magnet mereka sudah menjadi pembentuk bumi filsafat beserta seluruh dinamika orbitnya. Dan Kant pun tak sekadar mengatasi kutub-kutub bumi filsafat itu, ia bahkan melakukan Revolusi Kopernikan dalam antero sistem kefilsafatan: bukan pikiran manusia yang harus pergi menyesuaikan pada kondisi obyek-obyek di alam untuk mencapai pengetahuan objektif, melainkan sebaliknya objek-objek di alam itulah yang ditata menuruti struktur akal manusia.

Bertolak dari kritik Hume terhadap Rasionalisme bahwa hukum kausalitas – yang sejak para perenung jagat di zaman arkhais, kemudian dipertegas oleh Aristoteles, Thomas Aquino, dan sebetulnya juga oleh semua pemikir – dipercaya sebagai hukum alam semesta yang niscaya itu sesungguhnya cuma hasil distorsi psikologis dalam proses berpikir membentuk pengetahuan, Kant segera membangun sistem konstruksi pembentukan pengetahuan yang terbebaskan dari segala kemungkinan distorsi yang biasa datang menyusup dari sistem kepercayaan, sistem nilai budaya, impuls-impuls naluri maupun segala labilitas emosi dan psikologis, lalu dikonstitusikanlah manusia sebagai subjek pembentuk pengetahuan yang proaktif berbekal seperangkat perkakas sistem epistemologi.

Pikiran manusia tak lagi hanya seperti cermin yang menunggu dan menerima pengetahuan yang dianggap sudah ada dalam alam semesta, melainkan sebaliknya pengetahuan dikerjakan oleh manusia, dibentuk oleh manusia. Bukan tinggal diterima. Akal budi manusia bekerja, dengan prosedur kerja yang benar, untuk membentuk pengetahuan yang lebih benar.

Kant menjadi penjelasan yang, di samping sangat original, paling komprehensif dan sistematis mengenai pokok-pokok utama filsafat: logika – epistemologi, etika, dan estetika. Filsafat-pengetahuannya telah menjadi pengabsah pandangan umum bahwa filsafat adalah induk segala ilmu.

Semenjak Kant, kecuali pemikir filosofis setengah-matang, tak seorang pun pencari kebenaran terdalam yang bisa lepas dari trilogi Critique-nya, langsung maupun tak langsung. Istilah-istilah khas Kant beserta struktur-struktur logika yang direpresentasikan tiap istilah itu bahkan sudah dibakukan sebagai bahasa teknis dalam disiplin ilmu filsafat sampai hari ini. Aufklärung yang diproklamasikannya mencerahkan kesadaran manusia, menyirnakan kabut gelap kepercayaan pada segala takhayul termasuk apa yang dianggap wahyu Illahi yang sedemikian lama dipercaya sebagai sumber dan otoritas kebenaran, agar manusia dapat menjadi makhluk dewasa dan pasti lebih cerdas, berani berpikir mandiri, tidak pernah lagi bergantung pada segala di luar dirinya termasuk Tuhan, bisa menjadi penentu nasibnya sendiri dan penata alam raya.

Filsafat Moral atau Etika Kant langsung membelah dua, bukan saja membelah waktu sejarah pemikiran etika menjadi hanya dua ruas zaman, yakni ‘etika pra-Kant’ dan ‘etika modern atau Kantian’, melainkan pula membelah seluruh peta dunia pemikiran etika menjadi hanya dua yakni ‘etika yang bertujuan memenuhi dorongan kebutuhan manusia termasuk kebahagiaan’ versus ‘etika deontologi Kantian’ yang justru menilai semua jenis moralitas yang memiliki tujuan (kebaikan, kebahagiaan) itu sebagai amoral bahkan non-moral!

Di dalam peta besar namun dengan skala mendetail ini, dikotomi besar ‘etika teologis versus etika filosofis’ segera tenggelam punah, kehilangan signifikansi. Malah para teolog agama-agama pun sudah pergi berduyun-duyun menjadi penganut etika kewajiban Kantian yang dinilai berkemuliaan tertinggi itu.

Belakangan ini muncul apa yang dinamakan ‘etika pasca-Kant’, di antaranya apa yang disebut ‘etika keperdulian’, tetapi isinya tak lain adalah selasatu jenis etika yang sudah ditolak Kant sebagai non-moral karena dideterminasi oleh sifat kebaikan yang memang ada dalam diri seseorang.

Pengaruh pria yang seumur hidupnya tak pernah bepergian keluar dari negerinya – kota kecil Konigsberg di Prusia Timur, sejak Uni Soviet menjadi Kaliningrad, sekarang dalam wilayah Russia – dan sepenuhnya hanya mengabdikan diri dalam ilmu pengetahuan dan pendidikan – Kant pernah mengajar matematika, fisika, geografi, astrofisika, filsafat, etika, teologi, dan lain-lain – ini langsung menghujam sangat dalam pada hampir semua filsuf sesudahnya; membentuk secara langsung maupun tak langsung sangat banyak aliran dalam filsafat dan social sciences.

Sejumlah pemikir besar dapat disebut secara khusus, sejak yang hidup di masa Kant, terus memanjang, sampai ke dalam era kita kini: Herder, Goethe, Jacobi, Schleiermacher, Salomon Maimon, Karl Reinhold, Jakob S. Beck, Fichte, Novalis, Schelling, Hegel, von Schlegel, Bolzano, Schopenhauer, Beneke, Zeller, Peirce, Frege, Afrikan Spir, Otto Liebmann, Hermann Cohen, Paul Natorp, Max Weber, Hilaire Belloc, Leonard Nelson, G.K. Chesterton, Jaspers, Heidegger, Dewey, Russell, Cassirer, Nicolai Harmann, Ronald Englefield, Carnap, Piaget, Popper, Clement Greenberg, Mou Zongsan, Wilfrid Sellars, Ricoeur, Strawson, Foucault, Habermas, John Rawls, Noam Chomsky, Onora O’Neill, Paul Guyer, Christine Korsgaard, Quassim Cassam, dan sangat-sangat banyak lagi.

Bertumpu pada keberhasilan gemilang penelitian empirik yang dijalankan Newton, Kant langsung menyimpulkan kemungkinan positif untuk meneliti apa yang justru harus menjadi tumpuan semua pengenalan atau pengetahuan yang benar, yaitu harus lebih dulu mengenali ‘hakikat pengenalan’ itu sendiri. Kita harus mengetahui apa sebenarnya proses mengetahui itu dan maka apa sebenarnya pengetahuan itu.

Filsafat pengetahuan dan filsafat moral Kant adalah sebuah sistem besar sangat kokoh yang segera menjadi tonggak terpenting sejarah filsafat modern, dan secara sangat efektif memengaruhi seluruh jagat pemikiran serius.

Umumnya kritik yang diajukan terhadap Kant selama lebih dua abad ini memang tak memadai, banyak yang malah salah alamat, sehingga dunia nyaris tak pernah bisa memanfaatkan kebenaran yang sebetulnya ada di dalam teori Kant, dan tak akan pernah bisa memanfaatkan semua ajaran moral lainnya lantaran sudah dikritik tumpas atau dinyatakan salah oleh Kant.

Tidak sepenuhnya tepat semua kritik dari Friedrich Schiller, Max Scheler, Alasdair MacIntyre, Robert Spaemann, Carol Gilligan, dan sebagainya, atas pemikiran etika Kant.

Umumnya kritik terhadap Kritik-nya Kant menjadi tidak memadai karena tidak melihat kebenaran penting dan mendasar dalam teori Kant, atau tidak melihat bahwa pokok-pokok tertentu dari teori Kant sudah menjurus pada realitas objektif.

Begitu pula segala kritik ataupun potensi kritik terhadap filsafat pengetahuan Kant yang diajukan Husserl, Kierkegaard, Scheler, Jaspers, Wittgenstein, Bachelard, Althusser, dan para filsuf era mutakhir.

Harus sangat berhati-hati, check and recheck, bila hendak menunjuk kekurangan gagasan-gagasan Kant, karena sangat sering apa yang dibilang kekurangannya ternyata dalam bagian teks lainnya tidak demikian. Melihat kekurangan Kant hanya bisa di dalam terang ‘Hakikat Etika’ beserta epistemology yang sebenarnya.

Jadi, di mana kekurangan dan maka kekeliruan, filsafat Kant? Apa saja sesungguhnya keunggulan Kant? Bagaimana sebenarnya filsafat Kant, mengapa ia menamakannya Transzendentaler Idealismus (Idealisme Transendental), dan apa itu mekanisme transzendentaler-Abzug (deduksi transcendental) yang ia andalkan? Baca di buku ‘Hakikat Etika’ – Penerbit Pohon Cahaya, Jakarta, 2022. (*)