06 Juli 2022
Orang-orang datangi suatu tempat, melihat tempat itu baik bagi mereka melangsungkan hidup, lalu mereka menetap. Di Fanating, nenek moyang menemukan lokasi strategis, kemudian sejarah membangun terus berlanjut di sana. Tiang-tiang terpancang menandakan pembangunan terus berproses…
Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Pembangunan di Fanating, Teluk Mutiara — Foto oleh Welem Maniyeni.
TIANG terpancang itu ada di Fanating. Pernah berkunjung ke Teluk Mutiara, menyusur Binongko, Kalabahi Barat, Kalabahi Kota, Kalabahi Tengah, Kalabahi Timur, Mutiara, Nusa Kenari, Welai Barat, Welai Timur, Wetabua, Adang Buom, Air Kenari, Lendola, Motongbang, Teluk Kenari, dan tentu saja Fanating. Ya, Fanating itu ada di Teluk Mutiara, di Alor, Nusa Tenggara Timur.
Mengunjungi Teluk Mutiara beberapa waktu lalu tentu berkesan bagi saya. Menapaki pemukiman, orang-orang ramah manakala bertemu selalu menyapa, tak lupa senyum mereka yang rela selalu merekah. Saya datangi pantai, menatap gunung-gunung yang jauh, di sana rimbun menguning putih itu pohon-pohon kemiri di antara dahan hutan lainnya.
Dari sebuah situs saya membaca artikel terkait Fanating, ditulis Loth Botahala, ST, MSi., Antonius Karbeka, ST., Lukas Maukari, dan Daniel Djasing, yang mana Fanating adalah nama yang berasal dari kata ‘fena’ dan ‘ayating’: ‘Fena’ bermakna ‘kapok hutan’ dan ‘ayating’ berarti yang luas, bisa ‘rumah-rumah’, ‘tempat tinggal’, ‘perkampungan’, atau ‘pemukiman’. Para leluhur, nenek moyang telah datang mencari tempat yang rata dan baik untuk membangun pemukiman di sana. Itulah Fanating. “Upaya nenek moyang pada zaman itu dalam mencari tempat yang rata untuk mendirikan rumah-rumah atau perkampungan. Setelah itu, barulah mereka mendirikan mesbah sebagai pusat pemersatu ikatan atau hubungan kekerabatan, juga sebagai pusat penyembahan.”
Waktu berlalu, dan kenangan itu kembali membuncah tentang Fanating ketika melihat foto yang diunggah seorang kawan yang ada di sana, Welem Maniyeni. Dia tulis sebagai pengantar foto, “Semua butuh proses agar indah dipandang ketika telah terbentuk. Kerjakan bagianmu untuk Tuhan dan Ia akan mengerjakan bagianNya untukmu dan seisi rumahmu.”
Saya tanya Maniyeni, “Foto itu dipetik di mana?” Singkat dia jawab, “Foto di gereja Fanating, Abang,” ujar dia. Kokoh dalam pemandangan saya, argumennya cukup kuat untuk itu, ada tiang-tiang landasan, latar pepohon, awan mendung, langit biru sepotong harapan yang memang selalu terbuka bagi keberlanjutan pembangunan di sana.
Membangun adalah sejarah panjang kemanusiaan. Demikian renung saya malam itu manakala bercengkrama teks dan berbagi cerita dengan Welem Maniyeni, 06 Juli 2022. Foto Maniyeni, dia unggah, 02 Juli 2022. Foto itu ada pada bagian atas artikel ini. Saya berterima kasih. (*)