Thursday, April 18

Tenun Tradisi dan Sejarah Tanah


02 Juli 2020


Oleh: Daniel Kaligis
Gambar: Tenun Tradisional – foto dax


Tradisi menjadi penanda, sebagaimana ketrampilan seni budaya melekat pada tanah di mana tradisi itu bertahan dan menjadi praksis masyarakatnya, termasuk warisan tradisi tenun kain.


BENANG DIPINTAL disusun sejajar – biasanya memanjang – tak bergerak terikat di kedua ujungnya, padanya benang pakan diselipkan, lalu memasang benang-benang lungsin sejajar satu sama lainnya di alat tenun sesuai lebar kain yang diingini. Benang-benang ditenun jadi kain. Dari Nusa Tenggara Timur, kita mengenal tenun Ikat, tenun Buna dan tenun Lotis.

Secara khusus, tenun di kota Kupang, sama dengan tenunan dari berbagai lokasi di Nusa Tenggara. Saya memulai obrolan tenun di Jl. Yos Sudarso, Osmok, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 01 Juli 2020. Di situ, lokasi industri tenun yang dikerjakan rakyat, milik keluarga Anggrek.

Tahun 1980-an industri tenun sudah dimulai dengan memberdayakan penenun lokal. “Para pekerja diberi tempat tinggal di sini, dan mereka menggunakan mesin pintal mesin tenun yang sudah disiapkan,” kata Ronny Anggrek, mewakili PT. Timor Agung Floramor, perusahan yang memayungi bengkel tenunan tradisional Nusa Tenggara Timur di Kupang.

Secara resmi PT. Timor Agung Floramor didirikan pada tahun 1982, luas lahan pabrik dan bengkel tenun 10.460 meter bujursangkar. Di sana ruang produksi dan pemberdayaan masyarakat lokal sudah disiapkan.

Sebagaimana diketahui, teknik pengerjaan tenun Ikat, motifnya dikreasikan dari pengikatan benang. Tenun di daerah lain yang diikat ialah benang pakan. Kain tenun Ikat di Nusa Tenggara Timur dikerjakan dengan metode kain lungsi yang diikatkan. Tenun Buna dari Timor Tengah Utara, bahan baku benang terlebih dulu dicelup ke pewarna benang. Ada juga tenun Lotis, disebut juga Sotis atau Songket. Proses pembuatan Songket mirip prosesnya dengan metode pengerjaan tenun Buna.

Ronny Anggrek bilang, bahwa inisiasi berbagai usaha yang dia kerjakan saat ini diwariskan oleh almarhum ayahnya, John Anggrek. “Saya melanjutkan apa yang sudah dikerjakan oleh orangtua, sebagai pendahulu. Seperti yang sudah saya sebut, di bengkel tenunan tradisional saya siapkan tempat tinggal bagi para pengrajin. Alat-alat tenun kami rangkai dari pedal, roda, dan rantai sepeda.”

Tanah di Jl. Yos Sudarso, Osmok, Kupang, di mana bengkel tenunan tradisional itu sudah sejak lama dimiliki keluarga Anggrek. Di sana, Suharto, yang saat itu adalah Presiden Repubik Indonesia, pernah bertandang. “Bengkel tenunan tradisional, yang bernaung pada PT. Timor Agung Floramor diresmikan Suharto, 02 Juni 1988. Jadi memang usaha di tanah ini memang sudah saya kerjakan sejak dulu, tahun depalan puluhan itu,” urai Ronny.

Ketrampilan Turun Temurun

Orang-orang di sana punya cerita, yang mana benang-benang yang akan ditenun seakan diberi ruh, dikerjakan tangan-tangan terampil menghasilkan motif-motif dekoratif yang anggun.

Tenun karya yang anggun dan agung, dijadikan busana, bahan sandang ragam hias, menjadi bagian dari tradisi budaya turun temurun.

Disebut indonesia.go.id bahwa produksi kain tenun tradisional karya masyarakat Timor, Sumba, Flores, Solor, Pantar, Lembata, Adonara, Rote, dan Sabu, sudah dikenal bangsa Eropa. Para pedagang dan pejabat pemerintah kerap membawa sejumlah koleksi pribadi kain tenun ke Eropa. Bahkan, koleksi tenun tersebut banyak disimpan di museum-museum terkenal yang ada di Eropa dan Amerika. Hal tersebut menyebabkan kain tenun Nusa Tenggara Timur terkenal di mancanegara.

“Motif tenun dapat mencirikan dari mana si pemakai berasal. Sebab, dalam motif tenun tergambar ciri khas suatu suku atau pulau. Motif di kain tenun merupakan wujud dari kehidupan masyarakat dan bentuk ikatan emosional yang erat dengan masyarakat tersebut. Masyarakat Nusa Tenggara Timur begitu bangga dan senang menggunakan tenunan asal sukunya, dan sebaliknya mereka akan canggung dan malu jika menggunakan tenunan dari suku lain. Tiap kerajaan, kelompok suku, wilayah dan pulau menciptakan sejumlah pola atau motif hiasan khas pada tenunannya. Ketrampilan itu diturunkan dengan cara mengajarkan kepada anak cucu mereka agar kelestarian seni tenun terus terjaga,” demikian ditulis di indonesia.go.id, 04 Februari 2019.

Kerja menenun diperkirakan sudah dilakukan berabad-abad silam. Cerita tutur menyatakan yang mana kerajaan tua di Nusa Tenggara Timur menurunkan ketrampilan seni budaya tenun itu. Ragam pola yang ditampilkan dalam tenunan adalah manifestasi dari kehidupan sehari-hari orang-orang di sana yang punya ikatan emosional yang erat dengan apa yang menjadi kebiasaan mereka turun temurun. Kain tenun Nusa Tenggara Timur punya ciri khas. Tenun Maumere, misalnya, punya motifnya yang menggambarkan hujan, pohon, dan ranting. Berikutnya tenun Sumba Timur, misalnya, yang punya motif tengkorak.

Sejarah seni kriya tenunan di Indonesia, seperti yang ditulis di GriyaTenun.com, 11 Juni 2018, disebut yang mana kain tenun sudah ada sejak zaman prasejarah. Diperkiraan keberadaan kain tenun di Indoesia sejak zaman perunggu yaitu abad delapan hingga abad dua sebelum masehi. Keberadaan kain tenun menunjukkan sebuah tingkat kebudayaan yang tinggi karena dalam kain tenun terdapat makna yang melambangkan adat istiadat yang berlaku di daerah setempat.

Dari alat yang sangat sederhana, ketrampilan tenun berkembang. Di Nusa Tenggara Timur, terkenal juga tenun Sumba. “Pembuatan kain tenun ini menggunakan kapas yang digulung sehingga menjadi benang berbentuk bulatan, lalu dibidang sesuai ukuran kain yang diinginkan. Usai dibidangkan, dapat terlihat warna asli kain yang mula-mula berwarna putih. Setelah itu, pengrajin dapat memulai untuk mengikat motifnya,” seperti itu ditulis Riri di Gpriority.co.id, 03 September 2019.

Menurut Riri, proses pewarnaan biru pada benang bahan baku tenun itu menggunakan pewarna yang berasal dari campuran daun nila dengan kapur sirih sehingga mengeluarkan warna biru. Jika menginginkan warna merah alami, pengrajin biasanya akan memanfaatkan komposisi warna dari akar pohon mengkudu yang ditumbuk halus dan dicampur dengan kemiri serta kulit kayu. Dengan beberapa bahan dasar dari tumbuh-tumbuhan tersebut, warna merah dan birunya jika dicampurkan akan menghasilkan warna hitam. Bila ingin tersedia warna sintetis sebagai warna pembanding, warna sintesis akan terlihat lebih menyolok dibanding pewarna alami. Setelah melalui tahapan itu, benang-benang yang semula tanpa arti, berubah menjadi kain tenun indah.

Tenun Nusa Tenggara Timur sudah terkenal di tanah air, dan menjadi kreasi yang dikenal di mana-mana. Kita mengenal gedogan, alat tenun tradisional yang sudah ada sejak zaman dahulu dan sangat lazim digunakan, alat ini masih ada dan digunakan secara aktif sampai sekarang dengan tujuan untuk menjaga keaslian dan melestarikan budaya.

Menenun dengan gedogan akan menghasilkan kain tenun berkualitas tinggi sebab dikerjakan sangat teliti dan memakan waktu relatif lama. Alat tenun ini terdiri dari kayu dan bambu yang berfungsi untuk mengakitkan benang lungsi. Ujung alat tenun gedogan dikaitkan pada tiang rumah, sementara ujung lainnya diikatkan pada badan sang pengrajin, di mana posisi sang pengrajin ketika menenun duduk di lantai.

Laste

Kembali pada kisah di tahun 1980-an. Tutur di mana bengkel tenunan tradisional Nusa Tenggara Timur di Kupang mulai digagas. Tanah, lokasi, adalah alasan bagi pengalaman dan hidup dalam tradisi ‘menjadi baik’ untuk menenun perbuatan-perbuatan kebaikan.

Ada cerita karya kriya tenunan mengalami disrupsi karena perkembangan zaman, tercerabut dari akarnya bila tidak lagi diperlukan. Atau, harga tinggi selembar kain tenun jadi alasan? Persaingan bisnis kain, busana, pakaian, ragam hias tenunan, lalu soal inovasi.

Bagaimana dengan soal inovasi? Padahal, sejak zaman dulu perajin tenun terbiasa menggunakan pewarna alami seperti kunyit, mengkudu, tauk, dan bahan pewarna dari tanaman lainnya. Waktu dan zaman berganti. Perajin beralih menggunakan pewarna kimia oleh sebab berbagai keunggulan pewarna kimia yang mempercepat proses pengerjaan bahan baku benang, pewarna kimia membikin bahan benang tahan luntur, tahan terhadap penyinaran, tahan gosok, dan punya warna lebih beragam. Ini tentu berkaitan dengan apa yang saya saksikan di berbagai lokasi di Kupang. Pernak-pernik berbahan dasar tenunan, tas, bandana, kalung, gelang, sarung, pakaian, ada di toko-toko yang menjual bahan tenunan dan pakaian. Reka baru akan terus dipacu seiring perkembangan permintaan pasar tenunan.

Tentu, pengerjaan tenunan dengan metode tradisional masih punya ‘pasar’, dan punya keunggulan tersendiri di mata para penyuka busana tradisional berbahan ramah lingkungan.

Ini tutur yang disebut orang-orang tentang kerja yang digagas keluarga Anggrek, dalam hal ini Ronny Anggrek. “Dia membuka ruang pemberdayaan dan membantu masyarakat kecil,” kata Andre Mamuaja ketika saya bertandang di Rumah Babe Jl. Yos Sudarso.

Bengkel tenunan tradisional memang sudah disulap jadi Rumah Babe. Kerja produksi tenunan yang dulunya ada di sana, sekarang diwadahi dengan sistem kemitraan dengan para pengrajin. “Kami menyiapkan alat, benang, pewarna, dan berbagai kebutuhan terkain proses tenun, lalu para pengrajin mengerjakan tenunan di kediaman mereka sendiri. Dan kami tetap menangani soal pemasaran tenunan di tempat-tempat strategis di Kupang,” kisah Ronny Anggrek.

Sejarah tanah di Jl. Yos Sudarso, Osmok, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tempat di mana pernah didirikan bengkel tenunan tradisional yang diwadahi PT. Timor Agung Floramor, adalah kisah panjang yang menjadi warna tradisi keluarga Anggrek, sebagaimana yang diceritakan Ronny Anggrek pada saya. (*)