Wednesday, April 16

Teh Tarik Perempuan Kental


16 April 2025


Edisi Kelas Menulis Kreatif


Oleh: Chrezencia


DUDUK bersantai di kafe sambil menggosip, obrolan dengan teman-teman menjadi ‘tahan lama’ dan asyik sebab ditemani teh tarik. Panjang lebar bercerita isu yang sudah sering kami bahas (asal tahu saja wanita kalau ngobrol gimana, jangan diketawai, eh boleh deh, silakan ketawa), maklum saya pemula dalam dunia tulis menulis. Mungkin nanti malah tulisan ini jadi ngelantur tidak jelas arahnya. Mohon dimaafkan bila ngelantur.

Saya disuruh membuka data sekunder yang terkait teh tarik seluas-luasnya. Ah, sudah jenuh seharian masih diberi tugas cari data kian kemari, rasanya gimana ya. Pengen bilang, “Capek deh”. Pembimbing saya dalam menulis ini lucu, dia bilang, “Coba mulai dari hal-hal sederhana yang menarik di sekitar anda.” Apa yang menarik? Teh tarik mungkin menarik. O, iya, di depan saya ada teh tarik, ada cheesy french fries. Kawan di samping lagi menyantap dory sambal terong steam rice. Nah itu, terong juga menarik. Hahaha. Terong gitu loh. (Ketawa lagi).

Ciaaah. Kami sering berkumpul di Killiney sambil minum teh. Hey, jangan dikira ini di Killiney Bay, Ireland. Wow, jauh sekali. Jauh dan bukan di situ. Saya beroleh informasi dari membuka halaman online tentang Killiney Kopitiam, jaringan pasar massal berbasis di Singapura, kafe-kafe layanan bergaya kopitiam tradisional berdagang roti bakar, telur rebus, dan kopi. Dicatat, Killiney Kopitiam didirikan Ah-Gong pada 1919. Dia memulai usahanya di sepanjang jalan-jalan sibuk di Killiney Road.

Sajian teh tarik ada di banyak kafe. Saya mengenal teh tarik awalnya di Killiney Kopitiam sebab tempat nongkrong itu ada di berapa titik di hampir semua kota besar di Indonesia. Di Trans Mall, titik di mana kami suka bertemu, di situ ada Killiney yang telah bermetamorfosis namanya menjadi Killinew Coffee & Eatery, menunya masih sama dengan yang lama ketika masih bernama Killiney Kopitiam. Di situ saya melihat peramu teh tarik. Ada perempuan yang menyodorkan teh dan kopi, karena salah satu menu favorit di sini adalah teh tarik dan kopi tarik. Tangan terancung jemari lincah tak kenal lelah menuang cairan berbusa berembun ke mangkuk-mangkuk pesanan para pelanggan yang menggilai minuman jenis itu. Perempuan menuang, kemudian ada perempuan lain yang tiba dengan nampan mengantarkan hidangan ke meja tamu. Kental senyum perempuan-perempuan itu, mereka tekun mengerjakannya.

Koko Dax, pembimbing saya, memberi beberapa catatan dan link untuk memperkaya artikel ini. Dia menyebut teh tarik punya sejarah panjang dan kompleks di Asia Tenggara, khususnya di Malaysia dan di Singapura. Penggemar teh tarik yakin minuman itu berasal dari India. Budaya teh telah dikenal ribuan tahun di negeri itu. Namun, versi teh tarik ternyata populer di Malaysia dan Singapura yang dipengaruhi budaya Melayu dan India.

Sumber lain menyebutkan bahwa pada abad Sembilan Belas, Inggris datang ke Malaysia dan Singapura, membawa serta tradisi dan budaya mereka. Teh menjadi minuman populer di kalangan orang-orang Inggris, dan kemudian diadopsi oleh masyarakat di sana. Jenis teh tarik mulai populer di Malaysia dan Singapura pada pertengahan abad Dua Puluh, khususnya di kalangan pekerja pelabuhan dan pedagang. Penjual teh tarik, yang sering disebut ‘mamak’, mulai membuka warung kopi dan menjual teh tarik kepada siapa saja yang singgah di warung mereka.

Istilah ‘mamak’ ini yang bikin saya geregetan menulis tentang teh tarik. Di pikiran saya ‘mamak’ itu perempuan, ternyata dugaan saya keliru. Mamak istilah yang digunakan di Malaysia dan Singapura untuk menyebut para penjual teh tarik dan makanan lainnya, terutama di warung kopi atau pasar. Terminologi ‘mamak’ rupanya punya konotasi positif, panggilan hormat bagi lelaki yang lebih tua atau pada sosok yang memiliki kedudukan sosial tinggi.

Dalam konteks penjual teh tarik, mamak merujuk pada lelaki India-Malaysia atau India-Singapura yang membuka usaha warung kopi atau menjual teh tarik. Mamak dianggap sebagai sosok ramah, hangat, punya kemampuan mencipta suasana nyaman dan santai di warung kopi. Mamak bagian dari budaya Malaysia dan Singapura, dan banyak orang yang mengunjungi warung kopi mamak untuk menikmati teh tarik, makanan, dan suasana yang khas.

Di sini di tempat kami, mamak itu sebutan bagi ibu, perempuan. Tukang antar teh – apalagi yang perempuan, ada nona-nona, ada gadis, ada juga mamak-mamak – biasa saja, dianggap pelayan, dianggap kasta rendah. Pandangan itu tidak berlaku bagi saya, semua orang sama apapun kelamin dan orientasi seksnya. Begitu menurut saya.

Teh tarik tidak menggunakan gula, teh diseduh dengan susu kemudian ‘ditarik’ dengan dua gelas menciptakan busa dan rasa khas. Segarnya saya suka, dan kental.

OK, kita balik lagi ke urusan ‘teh tarik’.

Disebutkan bahwa ada teknik ‘tarik’ yang khas dalam pembuatan minuman itu. Teh diseduh dengan cara unik untuk membuat busa yang lezat. Dalam perkembangannya, teh tarik telah menjadi bagian integral dari budaya minum teh di banyak tempat di dunia.

Sambil menyeruput teh tarik saya mencatat artikel ini, dan bersuka untuk tulisan pertama saya ini. Semoga pembaca sekalian menyukai tulisan saya ini. (*)


Editor: Dera Liar Alam