26 April 2022
Tahun 2014, kawan saya Denni H.R, Pinontoan mengunggah status menarik naskah buku: Tuhan ada di facebook – Pencarian Tuhan di Era Budaya Digital.
Waktu berlalu sekian masa, semua orang jadi terkenal, era digital memudahkan jalan itu. Orang dapat dikenal dari status-statusnya, begitu. Kawan lama yang sekian zaman menghilang, boleh jadi bertemu di sosial media. Mujizat perjumpaan. Masih ingat memori lama, manakala masih di bangku sekolah menengah pertama, guru saya suka berkelekar dan menggunakan idiom ‘telur ayam’ bagi anak muridnya yang beroleh ‘nilai nol’ ketika ulangan. Saya selasatu yang sering dapat nilai nol itu.
Oleh: D.A.X.
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Berbagi, lalu unggah status.
STATUS disepuh, terbitlah history!
Text massif nowadays: entah bagaimana memercaya sejarah, walau sekarang banyaklah penulis terkenal. Sosial-media beri space lebar kepada semua mahluk yang kenal tulis-baca. Manakala siuman, dengan mudah status-status dijalar mata — status filosofis, status lebay, status doa ayat-ayat, status memaki, status video gambar-gambar foto-foto, status copas.
Status-status di media sosial menggambarkan isi kepala, isi pergaulan, pergulatan, dari siapa yang punya status itu. Apa saja dapat jadi status, makian dan omelan misalnya. Apa hubungan mereka yang terkenal itu dengan ‘telur ayam’, dan kemiskinan? Bisa jadi ada hubungan, bisa saja tidak berhubungan sama sekali. Orang boleh saja ada di kampung tersudut, nilai dia boleh jadi melebihi mereka yang ada di ibu kota negara.
Pasar ramai tadi pagi hingga siang. Semua orang unggah status. Apa yang dikerjakan, apa yang dicari, apa hasilnya. Saya mengamati jualan. Bila saja bebek dan ayam leghorn dapat diajari gadget hingga mahir, betapa mereka akan menulis bencana telur: Bertanya-lah mereka tentang telurnya dalam pertalian dengan sejarah pesach, passover. Hari raya diumumkan, harga telur naik lagi. Atau, perkara lama ‘telur palsu’ tidak pernah melibatkan pendapat arus bawah, bebek dan ayam. Siapa mampu gugat ketika kosa-kata ‘ayam-kampus’ disebut dengan semacam perasa mesum dalam bilik neuron? Isu itu mendekam dalam kantong sampah masa lalu, luntur bersama warna fashion yang menua. Ganti lagi.
Suatu malam di Marina, sing-song girls tawarkan beer. Datanglah dua, lalu berbotol-botol, sekaleng es-batu, jepitan dan sendok. Rasa kita menggenit. Kacang goreng, pe̍h-ōe-jī as mixed vegetables tersaji.
Orang-orang hanyut pada ramai, pada sepi. Kemiskinan, ‘isi’ (yang) teramat sering bernilai ‘nol’ dalam implementasi program, isu lama dan laten. Pecah, meletus dalam status-status. Program nyontek, status copy-paste, cocoklogi bias konfirmasi menjadi andalan di mana-mana. Doa-doa panjang di status media sosial, ingatan keliru tentu mempengaruhi status itu, tafsir.
Masih di Marina, menikmati. Pace naik pentas, melantun ‘Help me make it through the night’. Minim tepuk tangan. Lalu berganti perempuan bahenol menembang dangdut. Penonton riuh bersorak. Ada debar sunyi di jiwa, siapa tau? Orang-orang di sini sibuk dengan pemikiran masing-masing.
Lampu bertebar cahaya warna-warni. Laut kelam. Sorot di kejauhan, kapal lewat. Ada kawan pamit berpindah lokasi, cari malam lain, cari kesenangan penghibur bagi hati. Ada pengunjung baru tiba. Waiters and waitresses membersih meja, menambah botol-botol, menambah kacang goreng, menambah sekaleng es-batu. Mengalkulasi bill. Mengambil gambar, tersenyum. Mengatur letak celana. Berbisik pada temannya, cekikikan.
Sambil menenggak isi di gelas, teringat – kemarin sore bercengkrama dengan anak-anak penjual gorengan, saya bertanya harga sambal. Mereka bilang, “Sambalnya gratis, asal mau beli gorengannya.” O, begitu?
Hei! Harga merica selalu berfluktuasi, dan mampu menggoyang perpolitikan pasar berlumpur berdebu yang berganti suasana saban musim. Banyak orang tak berselera bila makannya tak pedas. “Lalu kenapa jual gorengan, harga cabe tak dihitung? Mungkin tukang gorengan punya tumbuhan cabe sendiri dan selalu panen siap dijejalkan dengan jualannya sebagai penglaris,” begitu saya membhatin.
Ngebakso pakai sambal. Makan ki-ef-si ada sauce sambalnya. Minum captikus di wanua, dorongannya ikan berbumbu spicy. Bubur-Manado makan dengan sambal roa. Pizza ada sambalnya. Pisang goreng apalagi, tak nikmat tanpa rawit tanpa sambal.
Bayangkan – dan saya membayangkan, orang di wanua makan tanpa cabe, gimana rasanya?!
Balik ke cerita, masih di Marina. Bersukarialah dalam kemudaan. Siapa muda, siapa tua merasa tetap muda, bahasanya dipeleset ‘berjiwa muda’, padahal ‘so tua torang sayang’, dan masih haus kasih-sayang dan susu. Boleh tertawa!
Sekitar delapan tahun silam, saya mengomentari status kemiskinan: Mengambil gambar, tersenyum. Mengatur letak celana. Berbisik pada temannya, cekikikan.
Sekitar delapan tahun silam, saya mengomentari status kemiskinan: “Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. poverty is being sick and not being able to see a doctor. poverty is not being able to go to school, not knowing how to read, not being able to speak properly. poverty is not having a job, fear for the future and living one day at a time. poverty is loosing a child to illness brought about by unclean water. poverty is powerlessness, lack of freedom.”
Kemiskinan jadi cerita turun-temurun. Digubah sebagai proposal project memicu invest dan account payable. Namun, dalam kemiskinan itu banyak juga orang-orang gemuk. Saya termasuk pada bagian yang gemuk itu.
Kita, lebih banyak berpura-pura. Berpura-pura senang gembira. Berpura-pura sedih. Berpura-pura kaya. Berpura-pura miskin. Dan saya, susah berpura-pura kurus.
Lanjut komen tentang kemiskinan: Poverty is a call to action to change the world so that many more may have enough to eat, adequate shelter, access to education and protection from violence.
Mary Maureen, kawan di negeri seberang, pada bulan seperti ini bertahun silam, menjawab komen dan bertanya, “Then who it is to blame? Who’s job is it to fight for freedom from poverty? Those people that are power hungry, promised to changes the world, actually are the one causing it. Too bad, but that’s the way it is…” Diskusi di titik itu tak pernah selesai.
Sebagai gambaran, dan anda boleh membandingkan dengan data lainnya dan dengan apa yang anda amati sehari-hari. Dari data sekunder Badan Pusat Statistik: “Indeks keparahan kemiskinan, indeks kedalaman kemiskinan, presentase penduduk miskin. Metode analisis multivariat – analisis non hierarki dan hirearki cluster. Hasil analisis kemiskinan di tingkat provinsi di negeri kita dikelompokan menjadi tiga. Kelompok satu, yaitu Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Papua — Kelompok dua yaitu Aceh, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Maluku — Kelompok tiga yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Kep. Bangka Belitung, Kep. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantar Utara, Sulawasi Utara, Sulawesi Selatan dan Maluku Utara. Berdasarkan analisis cluster, provinsi dengan indeks kemiskinan tinggi berada pada kelompok tiga, kemiskinan sedang berada dalam kelompok dua, dan indeks kemiskinan rendah berada dalam kelompok satu.” Data cross section tahun 2017 – Analisis Tingkat Kemiskinan di Indonesia ditulis Debrina Vita Ferezagia di jurnal.vokasi.
Status kadang pedas, kadang manis, kadang miris. Soal kemiskinan, saya beroleh dua bait — kalimatnya diedit disambung — ditulis Viva Budy Kusnandar di databoks, dipublikasi 17 Januari lalu, yang menyebut bahwa, “Perekonomian domestik yang membaik mendorong turunnya angka kemiskinan di Indonesia. BPS mencatat, jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang 1,04 juta jiwa menjadi 26,5 juta jiwa pada Maret 2021 dibanding Maret 2021. Jika dibanding September 2020, jumlah penduduk miskin juga berkurang 1,05 juta jiwa. Demikian pula dengan persentase penduduk miskin juga turun 0,43 persen poin menjadi 9,71% pada September 2021 dibanding Maret 2021. Jika dibanding September 2020, angka kemiskinan juga turun 0,48 persen poin. Meskipun menurun, tetapi persentase penduduk miskin tersebut masih lebih tinggi dibanding posisi sebelum terjadi pandemi Covid-19.”
Siapa yang bertanggung-gugat terhadap kemiskinan? Bagaimana bila kemiskinan itu justeru dikondisikan, semacam cara pandang yang sejauh ini masih terus dimiskinkan oleh berbagai pemahaman dan keyakinan keliru? Tanya kita semua masih panjang, masih lebar, tinggi dan dalam. Silakan berasumsi.
Saya berasumsi, indikator kemiskinan selasatu adalah tentang status yang terunggah di sosial media. Anda tentu boleh punya pemikiran sendiri. Bebaslah menafsir. Merdekalah dirimu berpikir dan berstatus.
Di Marina semalam suntuk, lalu pulang ke peraduan. Di pojok tersudut, jiwa memain syair tua: “And solitaire’s the only game in town, and every road that takes him, takes him down, and by himself, it’s easy to pretend, he’ll never love again…”
Dari balik nako, tempat di mana mata leluasa menatap matahari turun di langit barat, April tahun ini membayang tahun silam dan hari mendatang, semoga kita semua semakin kaya. (*)