
23 September 2025
Isu tanah adat, Agustus silam, konflik terjadi di Dusun Natinggir. Masyarakat di sana mempertahankan tanah adat yang telah mereka dikelola tiga-belas generasi. Kini bentrok pecah di Sihaporas, masyarakat bertahan di tanah leluhurnya yang telah didiaminya turun-temurun selama sebelas generasi.
Oleh: Dera Liar Alam
POSKO perjuangan menyala, Sihaporas diserang. ‘Bentrok Berdarah warga Sihaporas dan PT Toba Pulp Lestari’. Begitu tema di tempo.co, 22 September 2025. Saya membaca status Marolop Manalu Gorga, kawan yang bergiat di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara: “Alerta: Sihaporas Berdarah – ratusan security PT TPL serbu-pukuli masyarakat adat,” re-posting dari dinding Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Berkali-kali dalam sekian jam dari Senin kemarin Marolop menyebut ‘TutupTPL’.
Korban berjatuhan, disebut peristiwa ini berlangsung brutal. Marihot Ambarita, Sekretaris Umum Lembaga Adat Lamtoras, bilang, sedikitnya tiga puluh tiga orang mengalami luka dalam kejadian ini. “Ada perempuan, anak-anak, hingga penyandang disabilitas yang jadi korban. Kekerasan ini sangat brutal,” tutur Marihot Ambarita, dikabarkan pikiran-rakyat.com, 23 September 2025. Artikelnya diramu Asahat Edi Rediko PS dengan tajuk ‘Mahasiswi IPB Jadi Korban Saat Warga Adat Sihaporas Diserang Pekerja PT TPL di Simalungun’.
Diulang TutupTPL, PalaoTPL, “Huta – kampung lebih dulu ada daripada HGU TPL. Masyarakat adat itu lebih dulu ada daripada HGU TPL. Huta beserta masyarakat adat pemiliknya lebih dulu ada daripada negara ini,” ucap Marolop Manalu Gorga.
Tempo menulis, “Sekitar 150 pekerja yang terdiri dari petugas keamanan dan buruh harian lepas TPL mendatangi wilayah adat Sihaporas. Mereka datang membawa potongan kayu panjang, tameng, dan mengenakan helm.”
Informasi dihimpun AMAN Tano Batak, menyebut yang mana kekerasan yang terjadi pada masyarakat Sihaporas diduga dilakukan para pekerja PT TPL. mereka terdiri dari pekerja buruh harian lepas, petugas pengamanan, dan sejumlah warga yang diduga preman atau orang bayaran. “Pekerja PT TPL ini jumlahnya diperkirakan sebanyak 150 orang, dilengkapi pakaian seragam menggunakan helm dan potongan kayu panjang dan tameng. Padahal masyarakat adat hanya menjaga agar wilayahnya tidak ditanami pihak TPL. Tapi yang terjadi mereka mendapat kekerasan dari para pekerja TPL tanpa adanya diskusi.” Begitu diberitakan BETAHITA seperti dituturkan Hengky Manalu, aktivis AMAN Tano Batak.
Raden Ariyo Wicaksono di BETAHITA menulis bahwa masyarakat adat Sihaporas telah menghuni dan mewarisi tanah leluhur secara turun-temurun sebelas generasi. Leluhur mereka, Martua Boni Raja atau Ompu Mamontang Laut Ambarita ‘mamukka huta’ memulai perkampungan sekitar awal 1800. Belanda menerbitkan peta enclave tahun 1916. Masyarakat Sihaporas bukan penggarap, bukan pula pendatang. Terdapat tujuh orang veteran pejuang kemerdekaan Indonesia pernah menggunakan tanah Sihapoas untuk kebun ubi dan tanaman pinus.
“Selama ini, masyarakat adat Sihaporas rutin menjalankan prinsip tanah adat, melakukan tradisi si Raja Batak dan leluhur. Ragam ritual itu merupakan cara komunitas masyarakat adat Sihaporas menghormati dan merawat keterikatan sekaligus doa kepada Debata Mulajadi Nabolon, Tuhan Yang Mahakuasa dengan leluhur, dan dengan para mahluk penguhuni yang terlihat maupun tidak terlihat,” catat Raden Ariyo Wicaksono.
Terkait Sihaporas diserang, disebut Raden Ariyo Wicaksono, sebenarnya masyarakat sudah berupaya negosiasi dan diskusi dengan pihak PT TPL. “Sementara sekitar 30 orang masyarakat berkumpul di rumah bersama di Buntu Pangaturan. Di sana masyarakat mencoba menghadang pihak pekerja PT TPL dan menegosiasikan untuk diskusi, namun para pekerja dan pihak security PT TPL tidak mengindahkan.”
Diberitakan tempo.co, warga memblokade jalan dengan kayu gelondongan dan membakar dua unit mobil operasional. Di antara karyawan TPL banyak yang terluka akibat lemparan batu. “Salomo Sihotang, Corporate Communication Head PT TPL, membantah jika karyawan perusahaannya disebut menyerang warga Desa Sihaporas. TPL mengalami kerugian materil lantaran dua unit kendaraan operasional perusahaan dirusak dan dibakar warga.”
Akronim ‘TPL’ adalah potret sejarah konflik – bermasalah sekian lama dengan masyarakat setempat: perampasan tanah, deforestasi, pencemaran tanah, sengketa tanah, tanah longsor, penurunan kualitas udara, pencemaran air, penyakit kulit, gas klorin ledakan boiler (1993), penggerebekan masyarakat, penangkapan, pemukulan, penahanan, kekerasan, teror oleh petugas, etc.
Medio 1999, Presiden Habibie menghentikan sementara pabrik Indorayon dan menunjuk audit independen untuk menilai kerusakan lingkungan. Audit tak pernah dilakukan. “A total audit of environmental and social impacts ordered by Habibie’s interim regime in 1998 has yet to start. The decision as to which independent consultants would carry out the audit was scheduled for September last year, but no announcement had been made by the new government as DTE went to print. Companies from Germany, the United States, Canada, Finland and Australia are said to be among the bidders.” Disebut di Down to Earth No. 44, February 2000.
Tercatat, PT TPL pada mula berdirinya bernama Inti Indorayon Utama, punya kode saham INRU. Perusahaan ini berdiri 26 April 1983, kemudian memulai kegiatan usaha komersialnya 0 1 April 1989. Hingga akhir 2021, pemegang saham utama TPL adalah Pinnacle Company Pte Ltd, saham mayoritasnya dibeli pada akhir 2007. (*)
Untuk verifikasi, hak jawab selalu diberikan kepada semua pihak terkait informasi dan pemberitaan.