Wednesday, October 8

Sidang Pengadilan di Mata Penonton


06 Oktober 2025


Manakala Perang Dunia II berakhir, dunia hadapi pertanyaan besar: Bagaimana mengadili para pemimpin Nazi yang bertanggung-jawab atas Holocaust. Bagaimana hadapi berbagai kejahatan perang? Jawabannya adalah Persidangan Nuremberg.
Zaman perang sudah lewat, ternyata pertanyaan di ruang sidang semakin kompleks. Banyak contoh soal. Kali ini kita coba menelisik soal pada ruang di mana produk yang diterbitkan notaris selanjutnya disampaikan kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum di Kementerian Hukum Republik Indonesia, atas nama ‘Alexander’. Uji, produk itu diduga terkait perbuatan melawan hukum.


Oleh: Dera Liar Alam


Editor: Philip Marx


MATA teliti — saksama. Sidang dimulai, begitu tatap menjelajah ruang, memandangi: majelis hakim, panitera dan panitera pengganti, jaksa penuntut umum, penasihat hukum, penggugat, tergugat, terdakwa, saksi, pengunjung sidang. Mata, mata-mata. Siapa periksa perkara? Hakim A, Hakim B, Hakim Ngantuk, hakim pura-pura tidur.

Seturut teori, sidang pengadilan memastikan bahwa hukum berlaku dijalankan dengan adil dalam setiap penyelesaian sengketa. Masih seturut teori, hakim bertugas berwajib periksa bukti, dalami argumen, memerhati setiap ucapan saksi untuk capai keputusan tepat. Acuan tanggung-gugat pada semesta atas nama wakil mahakuasa. Tanggung-gugat berikutnya merujuk pada seseorang atau badan hukum untuk membayar kompensasi setelah peristiwa hukum yang sebabkan kerugian.

Hey Kawan. Ini bukan Pledoi Bung Hatta, ‘Indonesie Vrij’. Kebebasan berpendapat tidak ada di negeri-negeri jajahan. Mohammad Hatta dan rekan-rekannya, dihadapkan pada persidangan di Pengadilan Den Haag, Belanda, 08 Maret 1928. Hatta ketika itu didampingi Mr. Duys, Mr. Mobach, dan Mr. Weber.

Kebebasan berpendapat sekarang ditodong pasal-pasal lupa ayat, tarikannya panjang sebab ngaret untuk kepentingan tertentu. Karena fakta-fakta itu, artikel ini mengemuka demi tanggung-gugat atas keadilan dan kebenaran fungsional: yakni praksis, pernyataan, sistem, berdasarkan manfaat praktis dan kegunaannya dalam kehidupan nyata.

Tanggung-gugat timbul akibat tindakan melawan hukum: ada pihak dirugikan, dan ada pihak lain yang sebabkan kerugian. Suara terdengar, “Sidang terbuka untuk umum,” ucap Hakim Ketua Majelis Sidang saat memulai persidangan di ruang itu, nyatakan bahwa masyarakat dapat hadir menyaksikan proses. Tanya jawab dimulai. Suara terdengar lagi, “Tidak ada yang boleh mereka ya. Proses di sini habis di sini, jangan dibawa keluar.” Hening. Tanya jawab diteruskan. Kawan berbisik, “Yang Mulia mengarang teori. Mengarang aturan.” Ya, jelas! Sidang terbuka untuk umum. Namun, regulasi keterbukaan informasi publik sementara dipagari. Ada situasi yang hendak dibiar dalam ruang kelam.


Baca juga:
🖇 Bung Koko dan Teori Historiosofi yang Kokoh
🖇 Alexander Menelikung YPTAJM 
🖇 Sombolayuk Diberhentikan YPTAJM


Sidang Perkara 120/Pdt.G/2025/PN.Mks, di ruang Mudjono, S.H: Pihak tergugat hadirkan R.A.O. sebagai saksi. Sidang ini ditanggapi penggugat. “R.A.O., berupaya mengaburkan bukti-bukti,” sebut Dani Chandra Syarif, Ahli Waris – Pembina Yayasan Perguruan Tinggi Atma Jaya Makassar (YPTAJM) – dalam hal ini juga sebagai Penggugat pada hal berikut ini, yaitu surat tertanggal 02 Januari 2025 dengan nomor surat AHU-AH.01.06-0000028 atas nama YPTAJM dan terdaftar Nomor AHU-0000004.AH.01.12.TAHUN 2025 – adalah perbuatan melawan hukum. Dan sidangnya sementara berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar.

Tidak hanya Dani Chandra Syarif yang ragukan keterangan R.A.O., Angeliky Handajani Day, S.H., M.H., Hakim Ketua pada Pengadilan Negeri Makassar yang memimpin jalannya sidang menilai keterangan R.A.O. kehilangan mata rantai peristiwa, “Saudara ini hanya melihat satu sisi saja, ada ‘missing link’ dalam keterangan saudara. Dan saudara tidak melihat dari unsur pembukuan pembelian tanah yayasan. Saudara seharusnya obyektif melihat semua sisi dalam menyimpulkan keterangan yang saudara sampaikan. Saudara sebagai tim klarifikasi, mestinya paham dan mengetahui banyak hal di yayasan,” ucap Angeliky menanggapi pernyataan kesaksian R.A.O.

Ikke Chandra Syarif, juga dari pihak penggugat menanggapi kesaksian R.A.O. “Cerita dia (maksudnya cerita si R.A.O. – red) banyak bohong,” tutur Ikke manakala sidang ditutup, Selasa, 16 September 2025. Padahal, terverifikasi dalam berbagai Akta Notaris pada susunan kepengurusan YPTAJM, nama John Chandra Syarif jelas tercantum sebagai bendahara dan ketua pengurus. Tercatat ada Akta Notaris Joost Dumanauw No. 17 Tanggal 9 Juni 1980 mengenai pendirian YPTAJM. Kemudian ada diAkta Notaris Sitske Limowa No. 69 Tahun 1985 Mengenai Perubahan Anggaran Dasar YPTAJM. Kemudian Akta Notaris Sitske Limowa No. 86 Tanggal 11 November 1989, tertera John Chandra Syarif sebagai Bendahara. Masih ada sejumlah bukti lain, dalam kesempatan ini cukup dua akte yang dituliskan sebagai bukti.

Masih soal sama, di tanggal berbeda. Selasa, 30 September 2025. Sidang Perkara 120/Pdt.G/2025/PN.Mks, di ruang Mudjono, S.H: Pihak tergugat hadirkan P.S. alias Paula, sebagai saksi. Yang Mulia bertanya, “Apakah Saudara mengenal anak-anak John Chandra Syarif?” Dijawab P.S., “Tidak.” Lanjut kesaksiannya, “Setiap makan malam kami akan selalu berkumpul bersama, di saat itulah ayah saya (Prof Dr C Salombe – red) bercerita bahwa Yayasan Perguruan Tinggi Atmajaya memperoleh bantuan hibah dari Jerman dan bantuan dana dari APTIK.”

Disebut dalam buku ‘Sejarah Berdirinya Perguruan Tinggi Atma Jaya Makassar: Pengabdian Tanpa Pamrih Awam Katolik di Keuskupan Agung Makassar’, bahwa pada medio 1964 atas inisiasi Uskup Mgr. Nicolaus Martinus Schneiders CICM, para pendiri memohon pendanaan ke Belgia. Permohonan pendanaan itu kemudian disetujui Boudewijn Albert Karel Leopold Axel Marie Gustaaf van Belgie, putra tertua Leopold III. Dana itu digunakan untuk membiayai Fakultas Farmasi di Makassar dan Fakultas Kedokteran di Malang.

Universitas Katolik Atma Jaya Makassar yang dibangun sejak 1964 itu sudah tutup pada 1969. Tidak ada mahasiwa, dan tidak punya dana lagi untuk dapat dilanjutkan. “Januari 1972, pulang dari Jakarta saya ke Jalan Serui, tempat di mana Universitas Katolik pertama didirikan. Ternyata di sana sudah kosong, ditutup. Rupanya pada tahun 1969 untuk sementara perkuliahan ditutup karena kurangnya jumlah mahasiswa.” Begitu kesaksian Prof Dr C Salombe manakala diwawancarai untuk penulisan sejarah Atma Jaya Makassar, medio 2012.

Tidak ada bantuan dari Jerman untuk YPTAJM dan terkait dengan YPTAJM sebagaimana kesaksian P.S., di Pengadilan Negeri Makassar. “Mereka berpikir ini Atma Jaya yang tahun 1964. Jelas narasi yang kita bangun dalam persidangan bahwa inisiator YPTAJM itu John Chandra Syarif. Pak John yang siapkan tanah dan dana untuk YPTAJM pada era 80-an,” sebut Muara Harianja, S.H., M.Hum., Kuasa Hukum YPTAJM.

Sekali lagi, terkait Sidang Perkara 120/Pdt.G/2025/PN.Mks, di ruang Mudjono, S.H, ketika P.S. dihadirkan tergugat sebagai saksi, tanggapan Ikke Chandra Syarif atas sejumlah pernyataan P.S., nadanya sama, “P.S. berbohong tidak mengenal anak-anak Pak John Chandra Syarif,” tegas Ikke.

Sidang boleh jadi akan panjang, entah skenarionya seperti apa. Penonton akan berganti-ganti. Demikian kisah dalam ruang, memandangi: majelis hakim, panitera dan panitera pengganti, jaksa penuntut umum, penasihat hukum, penggugat, tergugat, terdakwa, saksi, pengunjung sidang.

Membaca visi yang diikrarkan penghuni gedung itu, ‘terwujudnya pengadilan yang agung’. Apa langkah wujudkan kemandirian pengadilan. Kemudian bagaimana memberi pelayanan hukum berkeadilan kepada pencari keadilan? Apa langkah yang diambil para pihak di sana untuk tingkatkan kredibilitas dan transparansi? Daftar pertanyaannya masih panjang. (*)


Untuk verifikasi, hak jawab selalu diberikan kepada semua pihak terkait informasi dan pemberitaan.