07 Juni 2024
Setan yang tak terlihat itu dongeng. Di kampung kami di Minahasa, Setan disebut Setang. Bapak-bapak atau mamak-makak yang sementara marah murka suka teriaki anaknya yang nakal, “Setang ngana, babi ngana.” Padahal, tidak mungkin anak Setang, bapak-mamaknya babi kan?
Di Abad Pertengahan, Setan tidak memiliki peranan dalam teologi Kristen. Tokoh Setan digunakan sebagai selingan lucu, lawakan dalam sandiwara misteri. Periode Modern Awal, peran Setan menjadi semakin penting akibat tersebarnya kepercayaan kerasukan Setan dan sihir. Di Abad Pencerahan, kepercayaan terhadap keberadaan Setan dikritik habis-habisan. Setan itu dimarahi dan bisa diusir bisa ditangkap. Setang ternyata oknum, pelaku, dan terlihat.
Mengapa Setang korup enggan ditangkap? Sebab mereka bersekutu dengan setang-setang…
Oleh: Daniel Kaligis
MEDIO 2017, ‘Pengabdi Setan’ dirilis, reboot film hantu adikodrati ditulis dan disutradarai Joko Anwar, mengulang judul sama yang disutradarai Sisworo Gautama Putra – dibintangi W.D. Mochtar, Siska Karabety, Ruth Pelupessy, dll. Diedarkan di Amerika Serikat, Eropa Jepang, dan di berbagai negara. ‘Pengabdi Setan, 1980’ punya alur cerita sama dengan ‘Phantasm’, film Amerika 1979 yang disutradarai Don Coscarelli. ‘Phantasm’ mencapai status kultus di antara penggemar film horror Asia.
Tercatat ‘Pengabdi Setan 2017’, di hari perdana penayangannya telah ditonton 91.070 orang. Di hari kedelapan-belas penayangan, film itu berhasil meraih jumlah penonton sebesar 2.820.681 dan menjadi film horor Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak sepanjang masa melampaui film Danur: I Can See Ghosts yang memegang predikat itu sebelumnya dengan jumlah penonton 2,7 juta orang penikmat di akhir penayangannya di bioskop.
Tidak berhenti di situ, ‘Pengabdi Setan 2017’, di hari keduapuluh penayangan – film itu telah menghipnotis lebih dari tiga juta penonton dan jadi film horor Indonesia terlaris selama lima tahun. Di ujung masa tayangnya ‘Pengabdi Setan 2017’ beroleh angka jumlah penonton sejumlah 4.206.103 – kemudian disusul ‘KKN di Desa Penari’, produksi MD Pictures yang disutradarai Awi Suryadi, 2022. Setan terus berdansa dan laris jadi tontonan, cuan mengalir entah Setan menikmatinya.
Kita sama-sama obrolin Setan. Bertahun-tahun ditelisik, dan sebagaimana telah dicatat di berbagai literatur bahwa Setan itu ternyata dongeng. Di Abad Pertengahan, Setan tidak memiliki peranan dalam teologi Kristen. Tokoh Setan digunakan sebagai selingan lucu, lawakan dalam sandiwara misteri. Periode Modern Awal, peran Setan menjadi semakin penting akibat tersebarnya kepercayaan kerasukan Setan dan sihir. Di Abad Pencerahan, kepercayaan terhadap keberadaan Setan dikritik habis-habisan.
Telusur lebih jauh: Para penganiaya Yahudi disebut ‘lot of Belial’, Setan. Kata ini muncul dua puluh tujuh kali dalam teks Masoret, dalam ayat-ayat seperti Amsal 6:12, Versi King James menerjemahkan frase Ibrani ‘adam beli-yaal’ sebagai ‘orang yang nakal’. Belial – בְלִיַּעַל – bĕli-yaal – kata Ibrani yang digunakan untuk menggambarkan orang jahat. Setan – sebenarnya adalah ungkapan Semitik yang umum, bermakna ‘anak perusak’ atau ‘anak pelanggar hukum’.
Balik ke soal tontonan. Kerasukan nonton, itu mungkin saya: Satan Wants You, Satan the Movie, Realm of Satan, The Devil Conspiracy, dst. Saya nonton sambil tertawa dan bersorak dalam hati, “Setan tidak pernah dikalahkan.” Cuan terus mengalir merembes di ruang-ruang dan di berbagai saluran. Terhisap jiwa di relung-relung semesta.
Banyak sekali tontonan. Film saya sematkan dalam otok, sebagai bahan inspirasi, jadi bahan belajar. Menonton jadi pengalaman tersendiri, jiwa masuk ke dalam cerita. Tak terkecuali manakala menyimak ‘Pengabdi Setan’. Situasi itu terbawa dalam mimpi. Mimpi seperti hadir di alam nyata. Dari menonton saya mengenal berbagai terminologi: Guillotine Kepala Naga untuk menghukum bangsawan jahat – Guillotine Kepala Macan untuk menghukum pejabat korup – Guillotine Kepala Anjing untuk menghukum rakyat jelata. Pengetahuan terhadap terminologi itu saya dapat ketika menonton film ‘Hakim Bao’. Walau, mungkin pernah terlintas supaya para korup yang ramai diberitakan media di negara kita bahkan sudah diketahui dan dicatat lembaga pemantau korupsi dunia itu boleh terima Guillotine Kepala Macan.
Masih ingat ‘The Return of The Condor Heroes’ yang diadaptasi dari novel wuxia dikarang Jin Yong. Lumayan ngerti judul-judul yang pernah ditonton zaman silam: Pendekar Harum, Pedang Pembunuh Naga, Pendekar Ulat Sutera, Kung Fu Master, Kera Sakti, etc. di kampung kami di wanua, terminologi ‘Pedang Jenggot Naga’ pernah popular. Anak-anak muda yang berkelahi antar lorong sering menggunakan alat itu. Pedang itu juga dibawa ke lokasi pertambangan emas untuk ‘jaga diri’ dan berkelahi. Bila perang antar lorong atau antar kampung meletus, ‘Pedang Jenggot Naga’ turut hadir, kemudian menyusul panah wayer.
Kerasukan, dissociative trance disorder (DTD), trans. dalam ilmu kejiwaan kondisi ini disebut terjadi karena gangguan mental. Ada orang kesurupan, itu fakta. Namun, apa yang disebut-sebut orang dalam situasi kesurupan itu belum tentu fakta — fenomena di saat seseorang berada di luar kendali dari pikirannya sendiri dan sama sekali tidak responsif terhadap rangsangan eksternal tetapi mampu mengejar dan mewujudkan suatu tujuan, atau secara selektif responsif dalam mengikuti arahan dari orang yang telah menginduksi keadaan trans. Keadaan trans dapat terjadi tanpa sadar dan tiba-tiba.
Setan diusir, Setan tetap menggejala dan tak pernah dapat dihadirkan sebagai saksi selama ribuah tahun tetap jadi tertuduh. Praktik usir Setan alias exorcismus mendapat jalan propaganda lewat film. Medio 1973, film The Exorcist dirilis dan pemikiran eksorsisme kembali menyeruak ke permukaan. “Setelah dirilis film ini, tanggapan sangat luas datang dari publik Amerika Serikat dan Eropa, dan kepercayaan kerasukan setan dan eksorsisme beroleh tempat di masyarakat modern. Kepercayaan mengenai keabsahan praktik ini tidak lagi menjadi pemikiran yang radikal, dan mulai diterima secara luas,” tulis Michael W. Cuneo di American Exorcism: Expelling Demons in the Land of Plenty, 11 September 2001.
Diduga exorcismus, yakni praktik untuk mengusir setan atau makhluk halus – dikenal sebagai eksorsisme, telah berusia sangat usur, dan masih dipraktekan di mana-mana. Ilmu itu berasal dari berbagai kepercayaan perdukunan prasejarah.
Kabar berjoget sampai lecet, dendam menghendak hukuman ada selamanya. Beberapa catatan saya taruh dalam artikel Opo-Opo dan Opo, 04 Desember 2019: Dijelaskan dalam Historical and folk techniques of exorcism: applications to the treatment of dissociative disorders, ditulis bersama Jean Goodwin,M.D., M.P.H., Sally Hill, M.S.W, dan Reina Attias, Ph.D., menerangkan bahwa pihak-pihak yang percaya pada ‘kerasukan setan’ kadang-kadang menganggap gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit mental seperti histeria, mania, psikosis, sindrom tourette, epilepsi, schizophrenia atau penyimpangan identitas terpisah sebagai sumber ‘kerasukan setan’.
Sejamlah catatan boleh dibuka: ‘Voice of Reason: Exorcisms, Fictional and Fatal’, ditulis Benjamin Radford di Live Science, 30 Augustus 2005, membeber fakta bahwa eksorsisme berhasil bekerja pada orang-orang yang mengalami gejala-gejala kerasukan setan dihubungkan dengan pengaruh placebo dan kekuatan sugesti.
Beberapa orang yang terlihat kerasukan setan sebenarnya adalah kaum narsis atau yang mengalami rasa percaya diri sangat rendah, kemudian berpura-pura menjadi orang yang kerasukan setan untuk memperoleh perhatian orang lain. Demikian ditulis Julia Layton di ‘How Exorcism Works’.
Kaum narsis, ada. Saya juga narsistik – merasa diri badan dan jiwa sangat penting. Mungkin saya kerasukan, menonton dan menulis, memfilmkan Setan, atau menjadi Setan dalam tontonan, memerankan Setan: Kawan-kawan saya, dulu, pernah bilang, “Rombongan ini membawa Setan asli,” manakala saya melakonkan peran antagonis beberapa tahun lalu di selasatu panggung peribadatan.
Belajar bikin tontonan, dan jadi tontonan. Depan panggung diliput pemberita – Dewi Irawan dan Daniel Kaligis mengungkapkan keberpihakan mereka kepada pelibatan masyarakat secara luas dalam hal memproduksi film. “Sudah saatnya kita bukan hanya menjadi obyek, menjadi penonton, tetapi bisa pula menjadi subyek sebagai yang memproduksi film.” Begitu ditulis redaksi manadoxpress.id, 18 Oktober 2013.
Berita bercerita, kabar dan para pengabar hari ini mestinya berkaca pada apa yang sementara mereka pertontonkan. Setan, kesurupan ada dalam film, dikira hal kesurupan itu ilmu atau pengetahuan dan layak dipercaya. Cocoklogi mungkin, atau kebetulan cocok dengan perkara hari ini.
Setan, silahkan menonton. Dirinya menonton sambil baca tulisan ini.
Menonton perkara, derita dikemas jadi show yang menghisap cuan pemirsanya, namun semua tetap nunggu tontonan. Tulisan ini adalah sambungan dari artikel sebelumnya: Kesurupan Nonton Propaganda Neraka. Akan terus bersambung bersama kasus-kasus yang terus diingkari penyelenggara negara dan oleh mereka yang memang dusta. (*)