Tuesday, November 19

Sayalah Orangnya


15 Juni 2023


Kita semua, hampir rata lupa, tak mau mengakui. Karena kitalah yang mencoblos para calon yang akan duduk melenggang di singgasana kekuasaan dan yang membuat regulasi bahkan tentang masa depan kita sendiri. Kita tertawa-tawa saat menerima amplop itu, lalu saling berbisik dan bertanya…


Oleh: Dini Usman
Penulis adalah pelukis dan penulis


Gambar: Money Talks


KEMANUSIAAN kita hari ini memang telah lenyap, karena kutukan kekuasaan dan uang itu telah berfungsi dengan sangat sempurna. Selamat menikmati Indonesiaku!

Dengan wajah muak kita cepat sekali mengkritik aktor-aktor di lembaga eksekutif dan legislatif atau di segala level pemerintahan di negeri kita ini. Apalagi ketika mereka atau katakanlah ada oknum yang diduga berbuat kesalahan, semacam tindakan bengis dan najis berupa korupsi, atau meminta pelayanan karena merasa mempunyai hak istimewa, atau memuluskan segala macam proses demi kekuasaan dan popularitas, maka dengan ganas kita langsung menghujamkan pisau kritik itu sepedas-pedasnya. Seolah kitalah yang paling mulia di muka bumi ini.

Tapi sesungguhnya kita semua hampir rata sangat lupa, bahkan tak mau mengakuinya, menutup kedua mata, bahkan kalau perlu, menjadi kura-kura dalam perahu, berpura-pura tidak tahu menahu. Come on, bahwa kesalahan terberat, terjahat, dan paling tidak bisa dimaafkan itu berasal dari diri kita sendiri.

Karena kitalah yang mencoblos para calon yang akan duduk melenggang di singgasana kekuasaan dan yang membuat regulasi bahkan tentang masa depan kita sendiri. Kita tertawa-tawa saat menerima amplop itu, lalu saling berbisik dan bertanya, “Kau dapat berapa, kau dikasi berapa? Aku dapat segini.”

Kita menerima uang receh di amplop. Jumlahnya mungkin bisa buat beli beras, telur, mie instan, tempe, tahu, terasi, minyak goreng, gula dalam sehari, paling hebat seminggu. Namun sesudah itu kita semua akan menaggung akibatnya, menabung timbunan penderitaan selama puluhan tahun pada masa depan.

Sudahlah, kita memang telah mati. Jiwa-jiwa kita telah mampus dimakan kedunguan dan kemunafikan kita sendiri.

Sebagai bangsa yang konon pernah besar, kita telah jatuh tersuruk tak berdaya dalam lorong banalitas yang tak terampuni. Kita benar-benar kehilangan perasaan malu. Semua bertahta karena uang, kekuasaan dimahkotai dengan lembaran uang, perebutan kursi itu dengan menghamburkan timbunan uang. Regulasi dibuat karena sogokan uang. Benarlah memang, uang adalah berhala bagi kita sekarang yang kita sembah-sembah sampai kematian fisik pada tubuh masing-masing diri kita datang, dengan mendahuluinya melalui kematian pada jiwa kita yang retak.

Mari kita nikmati kesengsaraan ini. Jangan lagi memaki, jangan lagi mengkritik, nikmati saja perbuatan kita semua ini. Tuding saja diri sendiri, katakan jujur di dalam hati kita, sayalah pelaku kejahatan itu. Sayalah yang salah. Sayalah manusia yang tidak tahu apa itu malu. Sayalah orangnya yang terhukum itu. Bukan kamu, bukan dia, apalagi mereka. (*)