26 Desember 2024
Oleh: Dera Liar Alam
Gambar: Kabut di Wanua.
KIRUNA mengenang wilayah bumi dengan malam panjang di mana Northern Lights joget di angkasa. Di Tromsø, di Svalbard, di Rovaniemi, di Lingkaran Arktik, di Siberia, di Yukon, di Barrow, di Prudhoe Bay, di Ilulissat, di Qaanaaq, di sana beku abadi.
Apalah gigil di lereng Mahawu.
Mabuk sejuk, mabuk kabut.
Semalam berbagi cawan di celup Lokon. Kabut naik dari cela-cela ficus benjamina yang berkerabat dengan longusei. Aroma sabut kelapa dan batok dibakar ada di asap menari-nari enggan sentuh loteng dan taburan kembang api jauh di atas rimba kota.
Bara, bercampur merah jinggga, kayu keras, batok dan kuang mengabu. Di Wanua, sabut kelapa itu disebut kuang, biasa dibuang saja. Padahal orang-orang memanfaatkan kuang sebagai baku tali, karung, pengisi jok dan papan hardboard, pulp, karpet, sikat, keset, filter, isolator panas dan suara, etc. Saya lebih suka membaui aroma kuang yang melekat di cakalang fufu, atau menyinta sensasi asap kuang manakala bara panasnya menjalar di tungku pembakar panci berisi adonan nira jadi embun captikus di pipa-pipa bambu.
Syair cari kabut dan vodka, di sini warung-warung masih tutup. Soal cairan dalam botol yang dicari ini ingatkan Dmitri Mendeleev, ahli kimia Rusia yang tentukan rumus angka persentase alkohol dalam minuman keras.
Kabut di sini, musim upacara, air nira dan captikus naik harga. (*)
Seri: Pesta Sastra Tanah Leluhur