11 Februari 2024
Pernah, orang Topas disebut Portugis Hitam atau Bidau. Mereka itu terutama keturunan campuran prajurit, pelaut, dan pedagang Portugis dengan perempuan India dan Melayu…
Oleh: Dera Liar Alam
Gambar: Kain Tenun NTT. Foto: DAX
Sumber: linkedin
GENANGAN sunyi gens à chapeau, babad pucat rerumput permai ratusan tahun silam pedagang Yahudi Portugis mengincar aroma cendana di sana. Bercampur logat Lamaholot, Pantar, Hindi, Tamil: topaz tuppasi topass, tiga kata yang ditera terakhir itu kiranya bermakna sama.
Sebagaimana disebut sumber berikut ini, History of Timor – Technische Universität Lissabon, dan Hans Hägerdal: Rebellions or factionalism? Timorese forms of resistance in an early colonial context, 1650-1769, bahwa, Topaz, atau Tuppasi, atau Topass, orang Topas disebut Portugis Hitam atau Bidau. Mereka itu terutama keturunan campuran prajurit, pelaut, dan pedagang Portugis dengan perempuan India dan Melayu.
Seiring waktu, istilah ini digunakan untuk menyebut sejumlah penduduk blasteran.
Kemudian, istilah orang Topas hanya digunakan Portugis untuk menyebut Larantuqueiros, penduduk campuran Katolik dari Flores Timur. Di sana, orang Topas dalam satu generasi mencoba membentuk sebuah kerajaan kecil merdeka, yang hingga abad sembilan belas hanyalah bawahan Portugis secara nominal.
Sumber-sumber Belanda menggunakan istilah Topas untuk penduduk blasteran dan juga penduduk asli yang sama-sama memeluk agama Kristen dan menjalani gaya hidup ala Eropa.
Istilah Topas diduga berasal dari kata Melayu topashe maupun berasal dari kata Hindi dobashi. Ada juga penjelasan lain menyebut, istilah ini berasal dari kata topi. Topas berarti Gente de Chapeo, dalam bahasa Portugis berarti ‘orang (ber)topi’. Seperti itu dicatat James J. Fox dalam The Paradox of Powerlessness: Timor in Historical Perspective.
Suatu ketika, Vereenigde Oostindische Compagnie, yakni perusahaan yang disewa untuk berdagang dengan Mughal India, mendesak Portugis pindah ke Larantuka.
Siapa dan apa itu Mughal India? Mereka itu Gūrkāniyān, kerajaan modern yang kuasai sebagian besar Asia Selatan antara abad Enam Belas dan Sembilan Belas. Kuasa kekaisaran itu membentang dari tepi luar cekungan Indus di barat, Afghanistan Utara di barat laut, dan Kashmir di utara, hingga dataran tinggi Assam dan Bangladesh yang sekarang di timur, dan dataran tinggi dataran tinggi Deccan di India Selatan.
Sedari 1767, manakala Portugis menjejak eksklave Oecussi-Ambeno, lalu menetap di Lifau, Timor, hingga hari ini, ada dua ratus lima puluh tiga tahun waktu berjalan. Musim kering tetap panjang di sana. Anak-anak negeri terikat adat kebiasaan, walau batas-batas sudah dipatok kepentingan sistem dan kuasa. Hanya cerita tutur, kadang sedih bila diulang. Atau mungkin jadi misteri dari tatap nanar dan kadang kosong anak-anak turunan yang jadi jelata hari ini.
Nun di sana, di dunia yang lain, di ketika yang berbeda. Hari ini ribuan tahun silam. Kelahiran berulang-ulang dari tafsir penanggalan yang jadi konsensus. Ingatan untuk dilupa, 23 September 480 Sebelum Masehi, Euripides lahir. Dia, salah satu dari tiga penulis drama tragedi terbaik di Athena klasik, dua yang lainnya adalah Aiskhilos dan Sofokles.
Para sejarawan kuno berpendapat bahwa Euripides menulis sembilan puluh lima drama, meskipun empat di antaranya mungkin ditulis Kritias. Delapan belas atau sembilan belas drama Euripides tetap ada sampai sekarang. Drama karya Euripides yang masih bertahan jumlahnya lebih banyak daripada karya Aiskhilos dan Sofokles digabungan, karena keunikan manuskripnya.
Sekarang, anak-anak negeri di sini menera sendiri dramanya. Suka dikabarkan portal-portal berita, tentang siapa berkuasa siapa berpesta. Tragedi masih seputar tanah dan rakyat yang sering kisahnya sayup-sayup menghilang bergelimang perkara. Namun, dari sana mereka akan belajar, mereka berfoto, mereka merekam setiap kenang yang akan jadi usang, atau, nanti waktu mengajari mereka untuk bebas menikmati tanah leluhur bersama sesama manusia dan segala makhluk, di semesta alam ini.
DI SINI, kita meletak sajak dan jejak pada kemarau semusim yang berulang di zaman silam, berulang di masa datang. Lalu sore tiba, meretak petak-petak ilusi. Membungkam fiksi pribumi yang dikutukkan perompak-perompak bumi. (*)
02 Oktober 2020