29 Juli 2024
Apa kabar kenangan: jembatan layang kereta api, seumpama serpihan melayang bekas gerbong orde melontar serapah sumpah sisa-sisa, sia-sia. Di Megaria, di depan BII, di depan Telkom, persis di depan Proyek Apartemen Menteng, di segala penjuru ingatan menumpuk, siapa-siapa yang pernah melintasi jejak sejarah menjadi puisi, sajak, gemeretak dendam kuasa dan gertak senjata. Ada banyak orang ditangkasp politik korupt membusuk, pingsan hampir semaput oleh sebab oksigen demokrasi dihambat masuk otak…
Oleh: Daniel Kaligis
KAMPUNG sunyi dan terasing, namun di sana isu telah menjalar: ‘Sabtu Kelabu’, demikian judul terpantau disiarkan televisi. Isu bercampur dokumen-dokumen palsu, provokasi ada di mana-mana. Di sini, kemarau wanua, ada banyak orang pulang dari ibukota membawa cerita peristiwa. Kami kumpul-kumpul sok-tau duduk di warung captikus dan berseloroh tak mau kalah bicara berbagai kemungkinan negeri kacau sebab dengar kabar rusuh ada di pusat kekuasaan. Sajak ini ditulis Sabtu untuk Senin yang akan berulang.
Screenshot di atas itu adalah status kawan Emmy Sahertian di media sosial beberapa jam lalu – kenangan manakala dia berada di Jakarta, Kudatuli meletus. Eddy Gunawan Santoso menanggapi status Emmy, “Betul bu, pada saat Megawati menjabat sebagai presiden pun beliau juga diam saja ndak pusing dengan sodara-sodara kita yang jadi korban Kudatuli.
Sajak nyawa. Saya memperhatikan. Sampai sekarang – hampir tiap hari – Emmy mengabarkan perihal pekerja migran yang pulang dari tanah seberang tanpa nyawa. Entah kita punya tanya seperti apa pada negara. Sajak kepedulian dijawab ketulian negara dan sistem yang melingkupinya.
Soal Kudatuli di atas, Emmy menerangkan, “Waktu itu kami aktif teriak-teriak lalu ketutup sama Mei.98, juga peristiwa Semanggi I dan II. Saya masih ingat wakru itu ada mendiang dr Sukowaluyo Cs. Namun, ‘mamtua’ mulai adem ayem… Juga dalam tubuh PDIP ada faksi-faksi… Lalu, mulai sangat tenggelam waktu akan menjadi presiden… Katanya itu masa lalu… Benar-benar tenggelam… Isu ini kemudin menjadi komoditas politik yang disimpan untuk dikeluarkan pada saat-saat genting seperti sekarang… Bagiku pola pola ini membuat sejarah kita absurd.”
Arief Chrisdiyanto mengomentari status Emmy, “Waktu itu kami adalah naga-naga di balik awan. Orang Tionghoa mustahil nampak berjuang karena pasti kelihatan cinanya dan disebut komunis.” Emmy membenarkan dan menambahkan komen Arief. “Setelah itu, sentimennya sudah di luar nalar sehingga harus pakai perkosa dan penyerangan seksual. Saya yang ikut menolong beberapa korban menjadi trauma hingga hari ini.”
Sebagaimana sajak, media mencatat, “Di sana: semua jalan arah Diponegoro telah diblokir polisi. Perempatan Matraman menuju ke Jalan Proklamasi ditutup dengan seng-seng Dinas Pekerjaan Umum yang sedang dipakai guna pembangunan jembatan layang Pramuka — Jalan Tambak. Massa sudah berkumpul di depan Bank BII Megaria. Di samping pos polisi sudah bersiap dua mobil anti huru-hara dan empat mobil pemadam kebakaran persis di depan DPP PDI. Polisi anti huru-hara terlihat ketat di belakang mobil anti huru-hara dan di depan Kantor PDI.”
Berapa bait diingat dari catatan berbagai pihak dan dapat diduga masih enggan dijamah kuasa negara untuk pulihkan luka orde silam yang masih bernanah sampai hari ini – terkait berbagai pelanggaran penistaan kemanusiaan, pemasungan demokrasi: Titik-titik rawan sengaja dibakar amarah. Masih membayang cerita rusuh, mobil polisi berseliweran melintas berkali-kali. Pasukan merah diangkut truk datang merapat di markas PDI. Di sana ada sekitar tiga ratus orang yang berjaga — kebiasaan dilakukan sejak Kongres Medan. Di luar pagar, ada sekitar lima puluh orang. Satgas dan simpatisan Megawati mulai terlelap dan sebagian ada yang bermain catur beralas terpal di pinggir pelataran kantor sekitar Jalan Diponegoro. Spanduk ramai, orang ramai berhadap-hadapan, lalu hujan batu, tembakan api, bentrok.
Asap membumbung. Peliput – dari dalam dan luar negeri, sementara tugas merekam, mengamati, menafsir peristiwa, menduga peran, dihalau tuju kerumunan massa.
Tentu, kami berada jauh dari pusat api kekuasaan yang sementara menyala. Namun, di sini juga orang-orang menonton dan terlibat dalam kobaran pada jarak yang ternyata sama menyala, walau jauh dari kisar liputan media. Pertikaian antar lorong – antar kampung – antar sementara membabi buta, seperti tiada lelah, para konservatif melempar isu, menyodor bara provokasi untuk mengubur borok-borok yang telah mereka cipta. Proyek mercusuar, proyek gagal, proyek tunda, lahan tandus menabur pestisida pupuk lalu gagal panen yang disengaja, proposal korupt panjang lebar menyasar mindset seragam rakyat sengsara: uang dihamburkan untuk mengaburkan dendam sistem.
Kami bersajak, uang dihambur. Sistem beralasan rakyat melarat, seperti potret janji politik membahagiakan haus lapar dengan makan siang gratis. Janji palsu sementara mengelak karena sumberdaya sudah dikuras kampanye mahal dan penuh drama.
Bekas sajak masih menyala. Orang-orang di kampung mengenal kredit usaha bagi tani dan nelayan disponsori dinas instansi terkait. Nanti, beberapa tahun kemudian sistem putuskan hapus tunggakan kredit senilai hampir enam triliun. “Demi memenuhi rasa keadilan bagi para petani yang kesulitan untuk membayarnya,” begitu disebut di situs pemerintah, kemendesa.go.id. Waktu yang panjang untuk evaluasi, raut sistem korupt tidak banyak berubah, topeng digunakan, Kredit bagi tani berganti muka jadi kredit bagi rakyat. Tak semua dapat, sebab penerima mesti punya kedekatan dengan ‘orang dalam’, dan mesti ikut arus politik supaya dapat menulis sajak pemberdayaan.
Kredit usaha rakyat tetap dikorupsi sampai sekarang. “Kejati Tetapkan Enam Tersangka Kasus Dugaan Korupsi KUR Rp 20,2 Miliar.” Begitu ditulis detik.com. 21 Juli 2024. Soal kredit macet ini cerita yang menggulung di wanua. Bekasnya masih jadi bahan sajak kami yang mabuk berita. Semua masih terus berhutang dan melarat.
Tahun silam, Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan pentingnya mengantisipasi tiga hal yang dapat mengusik perekonomian domestik: ketidakpastian ekonomi global, perlambatan ekonomi China, dan dampak fenomena El Nino. Begitu ditulis BBC, Rabu sore, 25 Oktober 2023. “APBN perlu memberikan perlindungan dengan penebalan bansos,” kata Sri Mulyani.
Jejak politisasi bansos sebagaimana diberitakan BBC: “Nama-nama tim kampanye nasional Prabowo-Gibran diumumkan, 6 November 2023. Ada dua menteri dan dua wakil menteri aktif di sana. Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto; Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan; Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Afriansyah Noor; dan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang, Raja Juli Antoni. Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 53/2023 yang membuat Prabowo dan Gibran tak perlu mundur dari jabatan masing-masing sebagai menteri dan wali kota meski telah masuk bursa Pilpres 2024, 21 November 2023. Saat menyalurkan bantuan beras di Biak Numfor, Papua, 22 November 2023, Presiden Jokowi mengumumkan akan memperpanjang periode bantuan tersebut dari Desember 2023 hingga Maret 2024 untuk jaga stabilitas harga. Ketika menyalurkan bantuan beras di Pekalongan, Jawa Tengah, 15 Desember 2023, Jokowi umumkan akan menaikkan jumlah keluarga penerima bantuan beras di 2024 dari 21,3 juta menjadi 22 juta. Gencarnya penyaluran bantuan beras dan BLT El Nino inilah yang lantas digaungkan Zulkifli, yang juga menjabat ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), saat berkampanye di Kendal, Jawa Tengah, 26 Desember 2023.”
Bantuan telah dimodifikasi sebagai sajak lapar-haus terhadap kemiskinan yang sengaja dibiarkan melebar di ruang rakyat salah urus. Negara sibuk membangun tembok-tembok untuk memisahkan jarak rakyat dengan tangan-tangan keadilan sosial. Rakyat tidak peduli siapa jadi pemimpin yang penting cuan ngucur. Mereka bertikai kata dalam sajak murka di media sosial.
Dana-dana telah kami tukar captikus, ayam bakar, daging diolah, tola-tola pedas, manis, asam, kaca, logam, badik, tombak, samurai, tangan kosong, dan kantong kerontang rakyat yang mengamuk.
Bergitulah, kami di kampung sunyi terus mendebar sajak bagi Juli nan tetap tuli. Berapa jembatan dibangun di atas pemukiman banjir, sajak air tenggelamkan kenangan. (*)