
16 Oktober 2025
Lagu untuk anak-anak sekarang hampir tak pernah terdengar lagi. Walau beberapa syair dan iramanya adalah fakta yang terus berulang di zaman ini, saksi dari sejumlah peristiwa sama dan serupa dengan segala akibatnya, misalnya hujan. Entah lupa, atau tak pernah ditembangkan sebab kita mungkin saja hanya selintas mendengar stanza pertamanya — ini stanza keduanya: “Tik-tik-tik bunyi hujan bagai bernyanyi | saya dengarkan tidaklah jemu | kebun dan jalan semua sunyi | tidak seorang berani lalu.”
Oleh: Dera Liar Alam
POHON basah, kebun basah, jalan basah, pemukiman basah, jiwa basah, basah semua.
Rintik di atap, irama bikin lena, lelap sepanjang musim hujan, ingat syair Saridjah Niung, airnya turun tidak terkira. Rindu hujan, trauma air meluap, got-got tersumbat. Berapa pajak hanyut tanpa sisa. Tidak perlu ditanya, rakyat dianggap tontonan buta.
Kemarin, mendung menggantung di selatan kota. Gerimis, lalu deras. Saya mengendarai motor, memandangi jalan tak rata, genangan ada di mana-mana. Walau, sore elok sekali, kami bermain di lapangan, rerumput menajam seperti diberi tulang oleh enerji air maha dahsyat. Butir-butir di daun terserak atau bergandeng bagai untaian permata, lalu gelap menyambar disambut lampu-lampu.
Sekitar satu jam berlalu, saya berdiri di kelok, samping pos tentara. Dari balik halaman berpagar tembok ada tiga serdadu melangkah beriringan tuju luar kompleks. Mereka memandang curiga, saya mengambil gambar, dan menera sajak. Lupa kabar berita, entah ingat cerita curiga.
Rindu hujan, kenangan lupa. Banjir bukan gejala, fenomena ini sudah sekian masa terjadi dengan segala konsekuensi, ekses, hasil, imbas, impak, impresi, pengaruh, resultan, dan seterusnya. Siapa dapat menolak hujan, pawang hujan? Dongeng! Saksikan sendiri prospek cuaca mingguan periode 14 – 20 Oktober 2025: Kondisi atmosfer labil pada peralihan musim picu peningkatan hujan di berbagai wilayah Indonesia. Rindu rintik atau deras dalam was-was.
Tahun silam mencakar syair ‘pohon basah, kebun basah, jalan basah, pemukiman basah, jiwa basah, basah semua’, dan tiga paragraf menyusul di bawahnya. Artikel saya ditanggapi Ailsie Sia dari Selatan Jakarta, 16 Oktober 2024, katanya, “Di kemarau yang lalu sempat kudengar petani kecil bernyanyi tentang rindunya pada hujan. Meski syairnya menggigil dingin menembus tulang, karena rentak-rintiknya yang menghunjam tajam agar dirus menderas, agar cacing-cacing tanah yang tertidur kembali bangkit menggempur ladang sawah yang tak lagi subur, di mana benih harapan tertabur jangan sampai mati terkubur.”
Saya jawab Ailsie Sia, “Ada masa di mana kemarau itu politik. Rakyat mencangkul remah-remah asa – kangen nan kerontang berkalang arang, semua dupa telah dibakar, mengabu harap sia-sia. Ambang subuh, gerimis doa, menderas, memberi basah, dendam rindu terkabul.” Rindu hujan, politik hujan. Balas jasa tik tik tik bunyi hujan, basahlah para pentokar politik. Proyek balas jasa.
Kita masih siuman. O iya, ‘Tik Tik Tik Bunyi Hujan’ itu digubah Saridjah Niung, tokoh musik tiga zaman, yakni zaman penguasaan wilayah oleh VOC dilanjut kolonisasi Hindia Belanda, era Jepang mencengkram Asia, dan zaman Indonesia umumkan merdeka. Karier Saridjah Niung di bidang musik bahkan sudah dimulai sebelum kemerdekaan Indonesia. Suaranya pertama kali disiarkan dari Radio NIROM Jakarta periode 1927 – 1928.
Siapa Saridjah Niung? Dia dikenal dengan nama Ibu Soed, pemusik sekaligus guru musik, pencipta lagu anak-anak, penyiar radio, dramawan, juga seniman batik. Tercatat setelah menamatkan pendidikan di Hoogere Kweek School – Bandung, Sardijah Niung jadi guru musik di HIS Petojo, berikut di HIS Jalan Kartini, dan HIS Arjuna yang masih menggunakan Bahasa Belanda, tahun 1925 – 1941. Saridjah Niung adalah anak angkat Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer, pensiunan Wakil Ketua Hoogerechtshof di Jakarta. Ayah Saridjah adalah Mohammad Niung, pelaut Bugis yang menetap di Sukabumi, kemudian jadi pengawal Prof. Dr. Mr. J.F. Kramer.
Saridjah Niung, bungsu dari dua belas bersaudara. Disebut yang mana Saridjah Niung prihatin melihat anak-anak Indonesia yang tampak kurang gembira saat itu. Hal ini membuat dia berpikir untuk menyenangkan mereka dengan bernyanyi lagu ceria. Didorong rasa patriotisnya, Saridjah Niung alias Ibu Soed ingin mengajar mereka untuk menyanyi dalam bahasa Indonesia. Dari sinilah Saridjah Niung mulai menciptakan lagu-lagu yang bersifat ceria dan patriotik untuk anak-anak Indonesia.
Lalu, apa kerinduan anak-anak bangsa dewasa ini? Masihkah ‘Tik Tik Tik Bunyi Hujan’, air tercurah menyegar jiwa. Atau kabar banjir di mana-mana, sebentar lagi ‘Tik Tik Tik Bunyi Hujan’. Cerita curah, kucur program disebut gratis ternyata menyedot anggaran negara. Tidak gratis dong!
Namun, kampanye hujan selalu begitu. Anak-anak berhamburan, seperti isu keracunan yang enggan evaluasi. Kemarau politik nan basah. Anak-anak bangsa kurang gembira, miskin masih melebar dan janji sepanjang tali muslihat rindu bocor atap perteduhan rakyat.
Sistem tetap sama, curiga. Kisah dari halaman wanua, berseragam, bertiga, keluar pagar menyapa rakyat dengan curiga dan proposal dusta.
Rindu, lupa pada sejarah. Entah masih ada dalam cerita Saridjah Niung dalam syair: Hai Becak, Burung Kutilang, Kupu-Kupu, Berkibarlah Benderaku, Tanah Airku, Nenek Moyang, Lagu Gembira, Kereta Apiku, Lagu Bermain, Menanam Jagung, Pergi Belajar, Hymne Kemerdekaan, dan lainnya. Hai Becak, ingat kisah angkutan yang dipinggirkan, dan isu rakyat selalu terusir. Kereta Apiku, kereta cepat, wusssh, dana-dana dengan cepat disedot, dikorupsi. Rindu hilang.
‘Tik Tik Tik Bunyi Hujan’, mengenang pernah atap rumah Saridjah Niung dikisahkan bocor. Saridjah ‘Tik Tik Tik Bunyi Hujan’, atap rumah rakyat bocor, anggaran bocor. Banjir yang selalu datang berkalang isu.
Hujan, rindu, rakyat banjr isu. Susastra ini masih sama, menitip pesan evaluasi. (*)