Tuesday, April 30

Regulasi vs Grafiti Alexamenos


23 Juli 2023


Noon di Gusung, membaca graffito blasfemo: perahu-perahu ditambat, tali dan rantai. Satu dua mengarung sungai tuju laut lepas. Renung. Di negeri kita, pikiran dan peran, dirantai dibelenggu dogma.


Oleh: Dera Liar Alam


Sumber Gambar: Jesus Graffito modify


DI SANA nun ribuan mil di seberang laut, Palatine Hill. Tujuh bukit, bagian paling tua dari kota Roma, Italia. Palatium itu sudah dihuni sekitar seribu tahun sebelum tahun Dominic.

Laut pecah gelombang uji segala ilmu sudah berlangsung cukup lama bila anda cermat menghitungnya. Gagasan tuhan tersalib menderita, di zaman lampau, dianggap konyol dan absurd. Anak-anak menertawainya. Itulah tulah bagi Alexamenos.

Eser Ha-Makot, Plagues of Egypt: air menjadi darah, amfibi diduga katak, nyamuk, lalat pikat, sampar pada ternak, barah, hujan es bercampur api, belalang, kegelapan, kematian anak sulung. Tentang peristiwa itu? Bukan!

Coretan-coretan untuk dilupa. Graffito blasfemo, dikenal juga sebagai grafiti Alexamenos, atau grafiti penistaan. Ini adalah coretan dinding menggambarkan seorang manusia yang melihat figur berkepala keledai sedang disalibkan.

Abad pertama tahun Dominic, penyaliban merupakan hukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan serius. Coretan diukir pada plester dinding di Roma. Jika Anda merasa bingung dan tersinggung, memang gambar itu tidak dibuat untuk menghormati Yesus, tapi sebagai ejekan.

Memang di abad pertama, Kristen bukan kepercayaan di Roma, dan warga Romawi memandang orang Kristen sebagai orang yang layak dicurigai dan patut dipertanyakan.

Coretan dinding itu dibuat untuk mengolok-olok Alexamenos yang merupakan seorang Kristen, dengan menggambarkan dirinya sedang menyembah ilahnya yang berkepala keledai. Di ukiran dan gambar itu tertulis: “Alexamenos sedang menyembah tuhannya. Keadaan tuhannya Alexamenos sedang disalibkan menjadikannya lebih buruk.”

Tahun silam, 2020, saya membaca tulisan Absal Bachtiar, ‘Penistaan Penggambaran Yesus dari Bangsa Romawi’, di kumparan.com, 17 Maret 2020. Tulisan itu menggambarkan bagaimana di abad-abad permulaan, anak-anak kecil sudah menyadari bagaimana kekonyolan keyakinan-keyakinan yang tidak diuji.

Mengutip sejarah, Absal Bachtiar menyebut bahwa Grafiti Alexamenos dibuat oleh seorang siswa untuk mengejek temannya: “ΑΛΕ ξΑΜΕΝΟϹ ϹΕΒΕΤΕ ϑΕΟΝ”, bermakna, “Alexamenos menyembah Tuhannya”.

Tembok meninggi, sistem. Kuasa, apa itu? Sistem yang diongkosi suara bimbang rakyat diterpa pembiaaran. Sistem, sudah sekian lama gemar mencipta regulasi tak pernah dievaluasi. Kuasa berpesta, tafsir dan peran jadi sumbu pertikaian keras yang ditertawakan dunia sebab menggadai harga diri budaya sendiri dan sumberdaya atas kehendak-kehendak yang dikira modern.

Apa itu? Keyakinan yang mana? Berita mana? Muhammad Kece, Napoleon Bonaparte, rumah tahanan, aniaya. Diskriminasi, persekusi: negara sering terlibat.

Pergulatan kisah keyakinan-keyakinan terkubur dalam sejarah enggan dibuka dievalusi, diuji. Haram? Terawang lebih manjur dalam tafsir-tafsir meleset, bila cocok hukuman sudah lebih dulu bertindak, membungkam membasmi, tanpa uji.

Je Sebastian, kawan saya di ibukota negara, pada jejak hentak tutsnya bertajuk ‘Peradaban Hancur Saat Rasionalitas Mati: Analisa Gembel dari seorang WNI Minoritas’, 21 September 2021, bilang, “Maju mundurnya peradaban tidak lepas dari moral suatu bangsa atau kaum dan jangan pernah lupa bahwa peradaban suatu bangsa atau kaum akan hancur akibat dari ketiadaan moral. Jadi apa guna keyakinan apa bila manusia tidak memiliki moral, dan tidak ada gunanya berkeyakinan bagi manusia yang tak mau menggunakan akalnya. Ketika keyakinan dibela sementara pada saat yang sama kemanusiaan dinistakan dengan begitu hinanya maka hancurnya peradaban suatu bangsa atau kaum pastinya akan segera tiba dan itu juga merupakan pertanda akan matinya ketuhanan yang maha esa tak akan lama lagi di bumi ibu pertiwi. Waspadalah wahai manusia Indonesia.”

Saya edit satu kata menjadi ‘keyakinan’, anda paham itu. Kita, kami, entah anda, mendiskusi dengan jiwa: rasa yang sesak sekian waktu sebab pembiaran itu nyata, jelas terpampang telanjang di depan mata semua orang, kecuali bagi mereka yang mau membutakan mata hatinya.

Satu decade — 2008 – 2018: Setidaknya terdapat 2.453 kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Sebanyak 1.420 kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan dilakukan aktor non negara, sedangkan 1.033 kasus lainnya dilakukan oleh negara. Seperti itu diungkap Akhol Firdaus, Direktur Institute for Javanese Islam Research, dalam Webinar yang dilaksanakan Roemah Bhinneka. Beritanya ditulis di komnasham.go.id: ‘Perlindungan Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia’.

Daftar perkara rekam peristiwa, sejumlah korban, pelecehan nilai manusia. Mengapa ruang untuk menguji regulasi di negara kita ditutup? Sistem, sudah dengan sengaja membiarkan kebebasan berpikir itu dibelenggu. Lalu sistem sengaja membiarkan kedunguan kebodohan itu dikendalikan sejumlah aparat keparat bermapanisme. Mereka minum makan bersorak menari tidur kencing berak di meja pesta pertikaian tafsir-tafsir regulasi basi.

Saya ulangi uraian Je yang mengandung tanda tanya tanda seru, “Apa guna keyakinan apa bila manusia tidak memiliki moral? Tak ada gunanya berkeyakinan bagi manusia yang tak mau menggunakan akalnya!” Demikian.

Jejak nista. Blasphemy, sebagaimana didefinisikan berturut-turut oleh Miriam Díez Bosch and Jordi Sànchez Torrents. On blasphemy. Barcelona: Blanquerna Observatory on Media, Religion and Culture, kemudian secara berturut-turut diterakan di Random House Dictionary — Merriam Webster — Blasphemies, in Webster’s New World College Dictionary, yaitu tindak (yang dianggap) penghinaan, penghujatan, ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, artefak agama, adat istiadat, dan keyakinan suatu agama atas dasar pendapat pribadi, (dan dianggap sebagai sesuatu di luar kompetensinya).

Regulasi, stereotype ujaran kebencian mesti ditilik ulang – sebab hingga hari ini ancaman pidana lebih keras dari praksis duel argument dan pemikiran. Jaga regulasi supaya tidak merubuhkan demokrasi. Begitu mestinya. (*)

Renung di jalan pulang: Semesta, 21 September 2021