15 September 2022
Hak-hak warga – yang mestinya jadi tanggung gugat sistem – tak kunjung dicarikan jalan keadilannya oleh aparatur negara, yakni oleh mereka yang jadi pengemban amanat regulasi, maka rakyat akhirnya memilih ‘tak percaya’.
Ini bukan contoh soal. Fakta dan data ada di tataran implementasi. Namun, dalam kekonyolan seperti ini kami masih ‘percaya ada banyak orang baik’ yang menginginkan keadilan dan kebenaran berpihak pada rakyat, dan berpihak kepada mereka yang layak menerimanya. Kekonyolan? Apa itu? Sandiwara hukum, menentang, menendang fakta data, dan putusan keliru yang enggan ditinjau ulang…
Oleh: Dera Liar Alam
Editor: Philips Marx
DI WARKOP JEEP JLC, pagi meninggi, lalu lintas lengang di sekitar Jl. Sudirman, Makassar, hari itu, 14 September 2022, orang-orang berkumpul di beberapa titik, bercerita, kemudian berdiskusi dalam ruang terbuka. Mereka membahas perkara yang telah bertahun-tahun tidak selesai: mafia tanah, rakyat terbelenggu regulasi, ada dokumen diduga palsu, ada proses yang berulang-ulang tanpa penyelesaian, ada laporan ke penyelenggara negara namun diterlantarkan, dan lain-lain. Melapor ke mana bila harapan keadilan ternyata sulit jalannya? Ada alasan untuk tidak percaya? Bisa jadi.
Lebih satu jam di Jl. Sudirman, ada dua tiga orang bernegosiasi. Mereka masuk ke ruang Detasemen Polisi Militer XIV/4 Makassar. Di sana mengomunikasikan sejumlah informasi terkait persoalan yang sementara mereka hadapi. Tukar pemikiran, membaca data, membuka ulang catatan perkara, resume yang sudah berkali-kali dirundingkan. Pamit dari sana, mereka ke titik kumpul awal, kemudian bergerak ke arah Jl. Mongisidi, ada orasi berulang menanggapi pertanyaan sejumlah awak media massa setelah beberapa dokumen diantar ke Pomdam XIV/ Hasanuddin. “Kami perwakilan masyarakat dari kabupten Gowa yang jadi korban oknum mafia tanah. Kami mengerti bahwa datang ke kantor polisi militer tidak ada hubungannya dengan persoalan terkait hak-hak masyarakat terhadap tanah di wilayah kami. Namun ini bentuk protes kami, dan ini kritik karena ketidakpercayaan terhadap oknum kepolisian dan pejabat pemerintah yang selama ini menangani keluhan masyarakat korban persoalan tanah yang sudah diabaikan. Ada sejumlah dokumen dan laporan sudah kami sampaikan. Sejauh ini sudah pernah dilakukan Rapat Dengar Pendapat dengan legislatif di Kabupeten Gowa, berikutnya medio tahun 2021 sudah ada Gelar Perkara Khusus di Polda. Ternyata, keadilan dan supremasi hukum itu hanya teori semata-mata. Kami hanya dipermainkan oleh aparat hukum, sementara posisi kasus masih jalan di tempat sampai sekarang,” kata Drs Abdul Latif Hafid, tentang sengketa tanah di Kelurahan Tombolo, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Diketahui yang mana soal tanah di sana memang sudah berlangsung cukup lama. Sejak ada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2785 K/Pdt/2020, tertanggal 03 November 2020, – dalam hal ini – putusan itu masih dipersoalkan sebab dinilai keliru. “Kami membaca putusan, meneliti isinya, ada yang janggal. Oleh sebab itu, kami melaporkan kejanggalan itu. Walau sekian kali menyusun laporan, memberi sejumlah data dan informasi terkait perkara tanah yang dimaksud, namun laporan kami tidak ditanggapi serius pihak kepolisian dan pengambil kebijakan di daerah. Kami menduga ada permainan, meski kami tetap patuh pada hukum. Laporan ini akan kami upayakan supaya ditindaklanjuti pejabat negara yang – katanya – telah berkomitmen memberantas mafia tanah, termasuk menuntut agar pemangku kebijakan di wilayah kabupaten Gowa supaya paham aturan dan adil dalam mengambil keputusan. Hari ini kami juga akan menyambangi Satgas Mafia Tanah di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, berharap mereka memberi perhatian terhadap masalah ini,” ujar Hafid, seraya menunjukan dokumen yang sudah ia siapkan.
Rombongan beranjak dari Jl. Mongisidi ke Jl. Urip Sumoharjo, mengarah ke Gedung Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Berapa awak media berdiri sekitar Ruang Aspirasi, perwakilan masyarakat Gowa masuk ruang Pelayanan Terpadu Satu pintu. Bertanya, menyodorkan laporan, menunggu tak terlalu lama, kemudian petugas mempersilahkan perwakilan masyarakat ke bagian lain gedung dan mereka bertemu Soetarmi SH, MH., Kepala Seksi Penerangan dan Hukum – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.
Di ruang luas dan legah, situasi diskusi di sana malah serius. Ada sederet pertanyaan, lalu saling mengenal, bertukar informasi. Menjelang sore di Kejati Sulsel, dialog seakan beku pada dua kutub – antara tamu dan tuan rumah – antara siapa yang bertanya dengan siapa yang memberi komentar, kemudian situasi jadi mencair. Soetarmi SH, MH., Drs Abdul Latif Hafid, Padeng Gervasius, SH., dan ada seorang lagi perwakilan masyarakat Gowa, telah terlibat percakapan santai diselingi senyum. Kesempatan itu, Padeng Gervasius, SH., menceritakan riwayat kasus tanah di Tombolo. Soetarmi SH, MH., bilang, yang mana pihak dia dan tim akan meneliti laporan yang sudah disampaikan. Mereka kemudian berfoto bersama.
Dalam kesempatan terpisah Padeng Gervasius, SH., merefrasa riwayat sengketa tanah di Tombolo. Menurut Gervasius ada mana kejanggalan yang enggan dibuka oleh oknum aparat dalam penanganan sengketa. “Tinjau SPPT PBB Tahun 2006 No. 73.06040.010.001-0086-0 pada tanah seluas 298.525 meter persegi atas nama PT Timurama — Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Tanah tertanggal 17-4-2006 yang merujuk pada Pasal 3 PP. No.224/1961 — Surat Pernyataan Riwayat Penguasaan Tanah tertanggal 17-4-2006 — berikutnya Surat Pernyataan Penyerahan atau Pelepasan Hak Atas Tanah tertanggal 28-2-1997. Dokumen ini bermasalah,” urai Gervasius.
Padahal, sebagaimana dijelaskan Gervasius, dokumen tersebut tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. “Histori ini sudah kami pelajari, dan bukti-bukti pemalsuannya ada. Hal-hal tersebut yang mendasari kami menuntut agar diterapkan Pasal 108 ayat 1, 2 dan 4 KUHAP tentang hak dan kewajiban melaporkan kejadian pidana – juncto pasal 103 ayat 1 KUHAP tentang laporan atau pengaduan tertulis – juncto pasal 1 butir 24 KUHAP tentang laporan – juncto Pasal 1 butir 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonsia Nomor 6 Tahun 2019 tentang hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang untuk menyampaikan kepada pejabat berwenang mengenai telah atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana, supaya menjadi perhatian dari institusi pengayom kebijakan dan keadilan yang dimaksud.” Dalam temuan Padeng Gervasius, SH., sebagai praktisi hukum yang mengawal persoalan sengketa tanah di Tombolo, bahwa alas hak atau dasar hak tersebut telah ditolak.
Temuan kekeliruan alas hak inilah yang mendorong perwakilan masyarakat dari Gowa untuk terus mengawal sengketa tanah di sana supaya ada solusi dan dapat diputuskan secara berkeadilan oleh aparatur negara. (*)
Hak jawab selalu diberikan kepada semua pihak yang berkepentingan – artikel dan pemberitaan, termasuk teks terkait hak jawab selayaknya dilengkapi data-data dan fakta-fakta.