Tuesday, October 8

Pengadilan Asumsi


14 September 2022


Sajak demi keadilan semesta. Siapa yang memeriksa perkara setelah hal itu berlalu dari tangan penyidik? Anda mengenalnya, walau asing, mulia, dan sangat disembah sebagai tuan maha mengetahui denda, berapa tahun tertuduh nanti mendekam di balik tembok dan jeruji terbatas – dijauhkan dari segala akses bumi merdeka dan bebas, atau ganjaran vonis ternyata di luar pemikiran tafsir tergugat – saksi – penonton – dan masyarakat yang menyorakkan menang kalah putih hitam perkara. Asumsi tak dapat dihindari, pemeriksa bukan saksi mata langsung terhadap persangkaan maupun tanda dan petunjuk-petunjuk. Maka, sajak inipun akan mendekam sebagai pertanyaan, sebagai sangkaan atau tuduhan pertimbangan seminar-seminar tak bersepakat oleh karena begitu banyak ide dan tafsir…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Philips Marx


Gambar: Laut luas dihalau daun palma


PENGADILAN persepsi asumsi, praksis cinta ditolak stigma. Kupido, sang Amor, atau Eros, dewa cinta bersayap, menarik busur, lalu anak panahnya memenuhi bumi barat timur selatan utara tenggara dan di semua penjuru.

Asumsi di zaman yang kasib. Bukti formil diasumsikan benar selagi tak ada banding, tak ada bukti fakta data lain. Korupsi di negeri ini ada setapak yang disiapkan celah hukumnya, lorongnya memberi ruang untuk dalih bahwa apa yang diterima bukan jahat sepanjang para miskin dapat diperdayai untuk terus membongkar berkas-berkas regulasi menumpuk tanpa sosialisasi. Atau, biar saja punah pengetahuan di tengah belantara bumi tertawa menonton kedegilan jadi lawakan.

Nama itu asumsi kebaikan, demikian turunan digambar mewakili harapan bahwa akan hadir kemudian kebaikan-kebaikan, mimpi yang akan datang. Ternyata, sejumlah fakta jadi petaka – masa depan sering tidak pernah terprediksi, tetiba sudah ada di depan jidat tanpa mampu mengelak.

Busur ditarik, anak panah melesat, lautan tafsir asumsi maha luas. Malam pernah jadi tirai, lampu-lampu padam saksi. Kemudian kapal, bahtera, perahu, saling labrak, suara-suara mewakili nubuat, katanya: berhenti, diam, lanjut, pelan, melaju, lempar jangkar. Suara-suara mendesak, semakin ribut kenaikan harga, minyak goreng, cabe, bbm, kapal penuh, bahtera penuh, perahu penuh – sumpah serapah. Kutuk dinaikkan di atas ilmu, dan sihir digital menggejala data-data bocor.

Penonton di atas palka, di geladak, di darat, di ruang-ruang tunggu hospital yang mengirim virus dan hoax bersamaan dengan pengumuman-pengumuman bela asumsi.

Pengadilan, yang mulia bersabda, tuhan tertidur pulas di depan samudera. Komando tertawa menangis susah senang dalam pesta. Kita, mabuk anggur murka asumsi. Sajak menggelinding, ditendang ke tepi surga yang khayal ibu kota pindah, menularkan hedon dan dosa-dosa orde asumsi. (*)

#Path29 #Berlayar