Tuesday, November 19

Rahajeng Rawuh, Bali: Surat Tanpa Cap


25 Juli 2024


Berseru Bondan Aldo Adrian Kerap, kontributor Revolusi Mental, “Tegur boleh, tidak boleh menunjuk-nunjuk, di sini kami menegur pendeta bila salah bahkan kami memberi nasehat. pendeta bukan malaikat. Jika mereka melakukan kesalahan tegurlah mereka, tapi bukan berarti kita menghakimi mereka dan mengganggap diri kita tidak berdosa juga. Sekarang, kalau ke Bali di anggap salah tegurlah kemudian jika ke Bali dianggap salah apa bedanya dengan anggota yang berfoya-foya, apa bedanya dengan anggota yang ke bioskop atau ke tempat karaoke. Ada anggota komite di setiap jemaat dan ada anggota eksekutif di setiap wilayah suarakan jika dianggap keliru.”


Oleh: Parangsula
Editor: Dera Liar Alam


SURAT TANPA STEMPEL jadi perkara: minta bantuan untuk Bible Konferens yang rencana acaranya berlangsung di Bali, 01 Agustus 2024 — 04 Agustus 2024. Nocie Masela, member FUMI, lontarkan kritik, “Surat ini tidak dibubuhi cap, kemudian isinya perintahkan jemaat bantu acara. Anggota-anggota sudah jadi lahan pencaharian. Sudah gila situasi ini.” Lebih jauh disebutkan bahwa ada pengeluhan dari daerah Maluku dan Ambon, supaya para guru dan pendeta tidak ikut ke Bali. Senada Nocie, Jusak Garing menyebut yang mana kegiatan-kegiatan serupa itu menjadi beban dan boros, “Memberatkan, mereka yang takut terpaksa harus ikut. Ini ide lacur.”

Diketahui yang mana acara tersebut mandatory, maka para pihak terundang diharuskan ikut. Padahal kondisi keuangan minim. Maka para pihak di jemaat-jemaat dimintakan mencari dana melalui proposal dengan menghubungi sahabat, kerabat, dan donatur. Jika sekiranya mungkin dapat membantu seberapa saja demi meringankan beban biaya sebagaimana yang tertuang dalam proposal kegiatan yang dimaksud.

Perilaku boros dan foya-foya disasar kritik. “Sementara istri-istri sedang memanjakan diri dan berpesta ulang tahun di atas kapal pesiar di Bangkok, suami-suami berkemas menuju Bali untuk maksud yang konon sangat penting. Uni Timur memang OK. Menjadikan Bangkok dan Bali sebagai kota suci dan tanah perjanjian yang mesti dikunjungi setiap saat,” ujar Lembang Palipadang.

Mitos diseru satire. Len, member Revolusi Mental, menegaskan, “Para gembala telah berhasil mendogma anggota jemaat: memberi banyak akan diberi banyak, menanam sedikit akan menuai sedikit. Mereka memeras habis-habisan anggota jemaat dengan dogma tersebut.”

Disebut Nocie, “Mohon perhatian bagi pimpinan Divisi, UNI, Daerah, mereka yang membaca berita di group whatsapp – mohon dengan sangat agar bertindak untuk tidak melakukan kegiatan yang dimaksud mengingat kondisi keuangan. Karena kamu sudah buat program KKR, BWA, Anak-Anak, dan macam-macam kegiatan, kamu pikir anggota jemaat itu tiap hari berak-kencing keluar duit? Kamu buat program ini hanya untuk ke sana ke mari gratis dengan uang anggota, kemudian pakai nama Tuhan untuk ajakan-ajakan donator. Buat program itu harus pakai perhitungan yang tidak merugikan anggota. Mohon sekali lagi, bila perlu batal program ke Bali. Saya mohon anggota grup  yang punya rasa beban dalam jemaat, tolong suarakan program Bali ini.”

Terkait stempel dan isi surat disebut, “Jangankan cap, sedangkan nomor surat tidak ada. Mungkin, tidak ada sekretaris, jadi yang bersangkutan kerja sendiri,” sindir Stanley Buyung.

Menurut Rey, aktivis FUMI, bahwa yang dikritisi sejauh ini adalah penggunaan dana yang terkumpul dari anggota di berbagai penjuru yang hanya diboroskan oleh pelesir segelintir officers. (*)