Tuesday, December 3

PSBB dan Semangkuk Mie


21 April 2020


Membaca cerita di halamanmu, menonton berita, derita, sukacita, gegap gempita. Seberapa banyak orang menertawai kebimbangan, haus lapar, dan Tuhan yang suka humor: umat manusia liburan di rumah sendiri, banyak orang menggerutu…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Parangsula


NONTON – Love Hurts – Nazareth Live-Auftritt im ORF, 1975 – seraya mencatat artikel ini. Kaum jelata membayangkan kebahagian, gembira bersama, menghibur diri sendiri atas banyak ketakutan yang merasuk sepanjang perjalanan hidup.

Duhai haus lapar. Jangan-jangan bencana melebar, memanjang waktunya dan kita semua tidak dapat bekerja mencari sesuap rejeki untuk membeli kebutuhan hidup, pangan dan sandang. Ada kawan mencatat, bencana bukan dari Tuhan. Petaka ini dirancang Setan menguji manusia di akhir zaman, kata kawan itu.

Padahal, termonologi akhir zaman sudah digeluti manusia ribuan waktu dan beratus zaman. Kita mengulang kejadian dan peristiwa lama: wabah, manusia tinggal di pertapaannya. Kembali ke rumah, atau memilih menularkan atau sebaliknya terpapar, tertular, tiba pada ujung hidup karena tidak mampu diobati. Sederet teori nubuat menjadi palsu seiring waktu berlalu. Orang-orang berkumpul, diteriaki, didoakan, ternyata semakin banyak yang tertular. Pengetahuan dan fakta menyatakan, orang-orang lebih butuh pengobatan dan rumah sakit, ketimbang doa dan huru-hara semacam teori penyembuhan atas nama segala dewa yang tergambar dalam mindset.

Coba mencatat. Dan kau tahu, menulis hal sederhana tidak sesederhana seperti yang dibayangkan, apalagi sekarang terkurung pembatasan sosial berskala besar, walau belum lockdown.

Kita mulai saja!

Dari sini, di balik nako, boleh memandang langit barat cerah. Lorong 59 di samping kanan. Sisi kiri dan bagian belakang adalah pemukiman, gedung, hospital, setapak, pangkalan sepi, warung kopi kurang pengunjung.

Sas-sus seseorang tertular di jalan seberang membuat seisi rumah berbincang. Saya ngobrol dengan Christ di ruang bawah, depan dapur. Dia cerita kantornya yang saban minggu pada dua bulan terakhir selalu bikin rapat. “Belum sempat implementasi strategi yang dibuat, sudah meeting lagi. Kami di level managerial sibuk. Mumet mempersiapkan bahan presentasi. Boleh jadi boss sementara memutar otak untuk kepentingan ribuan karyawannya, tapi saya melihat itu sebagai kepanikan sebab ada pandemi, dan situasi ini belum pernah terjadi. Sekarang malah jadwal meeting tidak menentu, bayangkan dua hari lalu kami meeting, besok rencana ada meeting lagi,” dengus Christ.

Kami ngobrol panjang lebar tentang resiko ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar’. Beberapa pertanyaan kunci. Sejumlah nasabah besar mulai menarik simpanannya di bank, pemerintah menelurkan regulasi, bagaimana memberi makan warga yang disuruh tinggal di rumah. Ada jaminan? Siapa menjamin bahwa sumbangan bencana tersalur pada warga yang benar-benar butuh makan minum dan kebutuhan harian mereka dan keluarganya?

Berapa saat lalu, sebelum ngobrol di ruang bawah, kami menguji ‘nyali’ dalam kota, berkeliling dengan mobil. Beberapa ruas jalan sepi, kami ke foodmart membeli sedikit makanan instan sebelum berbalik ke rumah. Tiba di rumah, didikan air, memasak mie instan campur telur dan rawit. Lalu ngobrol banyak hal.

Pembatasan Sosial Berskala Besar akan berdampak. Bagi buruh dan karyawan, pemutusan hubungan kerja kian lebar peluangnya. Bagaimana dengan warga yang mengais sehari untuk makan sehari? Bagaimana dengan urban dan warga pendatang yang jadi warga sementara, pelajar, mahasiswa, pekerja serabutan, mereka yang menempati berbagai ruang, kos, rumah sewa, apartemen, dan seterusnya. Seperti apa nasib satpam, penjaga kantor dan gedung, pengendara mobil motor online? Siapa yang menjamin mereka? Masih banyak soal belum terjawab, bahkan terbentur berbagai teori. Entah tafsir, entah konspirasi.

Fenomena Kota-Kota di Dunia

Saya membaca berita, lockdown di beberapa kota di dunia. Di utara Rishikesh, polisi menghukum pelancong yang mengabaikan regulasi pembatasan di India. Vivek Kumar, jurnalis SBSHindi, Sabtu, 11 April 2020, memberitakan yang mana Polisi Rishikesh mengganjar para turis untuk menulis di secarik kertas sebanyak lima ratus kali kalimat ‘saya melanggar aturan, saya menyesal’.

Di India, Perdana Menteri Narendra Modi menginstruksikan warganya untuk tinggal di rumah. Ada berapa pengecualian untuk pekerjaan penting, belanja makanan, dan kunjungan medis. Keluyuran untuk hal yang tidak penting dilarang. Seperti itu aturannya di beberapa kota di dunia. Di negeri berpenduduk lebih kurang 1,3 miliar orang itu terkonfirmasi 8000 kasus Covid-19.

Berita Polisi Rishikesh mengganjar para turis untuk menulis di kertas sebanyak lima ratus kali kalimat ‘saya melanggar aturan, saya menyesal’ menjadi viral di berbagai media. Ada dua kontributor NPR, Sushmita Pathak melaporkan dari Mumbai, dan Daniel Estrin melaporkan dari Yerusalem, menyebut bahwa pelancong yang mendapat ganjaran itu berasal dari Australia, Austria, Israel, dan Meksiko.

Sungai Gangga di Rishikesh memang poin strategis para pelancong. Orang-orang keluyuran di tepinya. Rishikesh juga masyur sebagai pusat yoga di India. Lokasi itu menjadi semakin terkenal manakala The Beatles bertandang ke sana medio 1968.

Di Vietnam, seperti ditulis Eka Yudha Saputra, Editor TEMPO.CO, Selasa, 14 April 2020, dalam tajuk ‘Vietnam Punya ATM Beras Gratis untuk Bantu Warga Selama Corona’, memberitakan yang mana pengusaha dan donatur di sana menyiapkan ATM beras gratis untuk warga yang tidak mampu membeli makan selama wabah virus Corona. “Vietnam telah memberlakukan lockdown dan pembatasan sosial yang secara efektif menutup banyak bisnis kecil dan ribuan orang kehilangan pekerjaan, meski Vietnam hanya memiliki 265 kasus virus Corona tanpa kematian hingga minggu silam, di mana angka itu yang sangat rendah dibanding negara lain di seluruh dunia. Pengusaha dan donatur telah membuat mesin ATM yang mengeluarkan beras gratis di beberapa kota di sana untuk membantu mereka yang kehilangan penghasilan selama krisis.”

Hampir semua kota di dunia sudah melakukan pembatasan. Ada yang memang mengunci diri, mengunci pintu-pintu masuk-keluar wilayahnya. Saya membaca cerita dari kampung, mendapat kabar dari kawan kerabat, jalan-jalan dijaga, pengawalan wilayah sudah berlangsung.

Sabtu, 18 Apr 2020, sebagaimana ditulis Hermawan Mappiwali, di detikNews, di Makassar, Polisi gabungan dari Polda Sulawesi Selatan dan Polrestabes Makassar bakal membuat pos-pos penjagaan menjelang penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk memudahkan polisi membatasi gerak warga saat PSBB.

Di Jakarta, manakala Pembatasan Sosial Berskala Besar diberlakukan, polisi menyebut ada berapa poin yang disinyalir menjadi target kejahatan pencurian dan perampokan.

Di New York, Amerika Serikat, seperti ditulis JawaPos, nanti pekan depan, Departemen Kesehatan negara bagian itu akan memulai tes antibodi berskala besar. Aksi itu adalah langkah awal untuk memutuskan kapan dan bagaimana New York dapat membuka kembali perekonomiannya di tengah pandemi Covid-19.

Tantangan Regulasi dan Peran

Regulasi terkait pembatasan dasarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pada regulasi itu jelas disebut, penyelenggaraan karantina merupakan tanggungjawab pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Kementerian Kesehatan, dan dapat melibatkan pemerintah daerah. Di mana aksi pembatasan, sebagaimana dituangkan dalam regulasi, yaitu upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Kedaruratan kesehatan masyarakat mengindikasi kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah, atau lintas negara.

Di sini, uji coba pembatasan kegiatan mulai dua hari lalu, dan akan berlaku tiga hari – sampai hari ini. Sesudah uji coba Pembatasan Sosial Berskala Besar mulai berlaku.

Meski, di sini saya masih sering ke pasar. Melihat keramaian, orang berdesak mengakali hidup bagaimana menghasilkan uang dan keuntungan. Namun, hari ini beberapa lorong saya lihat dihalang kayu dan bambu.

Entah siapa membuat meme menggelitik soal Pembatasan Sosial Berskala Besar. Dulu, pulang kampung selalu dinantikan, kini pulang kampung diteliti, ditanyai berbagai soal dan alasan, dan dikarantina seberapa hari menunggu gejala, menunggu entah seperti apa keputusan yang sering bercabang tergantung pendekatan dan negosiasi.

Padahal, Pembatasan Sosial Berskala Besar dan karantina punya definisi beda. “Dalam karantina, penduduk di suatu wilayah tertentu, di kawasan RT dan RW, kelurahan, kabupaten atau kota, dan di rumah sakit, itu tidak boleh keluar. Sementara dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar, masyarakat masih dapat beraktivitas, tetapi sejumlah kegiatan masyarakat dibatasi.” Seperti itu penjelasan Oscar Primadi, Sekjen Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kawan saya, Bivitri Susanti, Researcher di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, sebelum regulasi pembatasan diketuk menera ‘Catatan Hukum Tentang Lockdown’. Dia menulis yang mana lockdown itu tidak bisa hanya berupa instruksi supaya orang diam di rumah saja. Karena banyak orang yang harus keluar untuk kerja untuk bisa makan, bayar cicilan, juga untuk ongkos ke dokter bila kena gejala Covid-19, bahkan sekadar untuk beli pulsa untuk telepon Dinkes kalau harus dijemput karena gejala yang parah.

Tentang regulasi, Bivitri Susanti menyebut pentingnya dasar hukum, agar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah nanti begitu mau menggunakan sumberdaya-sumberdaya seperti APBN, APBD, fasilitasi umum, dan menggunakan wewenang untuk memerintahkan warga negara, perusahaan-perusahaan, dll, dasar hukumnya jelas. “Jadi, tidak ada akibat-akibat seperti tindak pidana korupsi, pelanggaran HAM, dll. Pemerintah harus tunduk kepada hukum juga, tidak bisa main ngasih perintah,” demikian diurai Bivitri.

Regulasi sudah diketuk, peran mulai mengemuka.

Berdiskusi online dengan banyak kawan, beroleh sejumlah data. Membaca peran, uluran tangan bermuka politik di banyak tempat. Kepentingan kuasa selalu bertahta dalam bentuk sumbangan, untuk makan minum, untuk halau virus, masker, hand sanitizer, dan sejumlah pengaman yang tak aman bagi kebutuhan yang rawan. Saya membaca berita, zaman sangat terbaca dan boleh ditafsir: pembagian masker, hand sanitizer, beras, telur, minyak goreng, gula, mie instan, dan hampir semua bantuan pakai logo partai dan gambar-gambar penguasa.

Di lain sisi, sejumlah filantropi memberi tanpa mencatat namanya.

Saya mengutip Dr Denni Pinontoan dalam esainya, ‘Ketika Pdt. R.M Luntungan Memerangi Wabah Kutu Busuk’ ditulisnya, Senin, 20 April 2020. Pinontoan menyebut, bahwa berteologi adalah ‘aksi’. Iman itu tindakan melawan, memerangi kuasa-kuasa yang dapat membuat manusia mengalami ketidaktenangan.

Ambil saripatinya, saya menyebut apa yang ditera Pinontoan itu sebagai tindakan membatasi. Gerak aktif, peran yang diinisiasi manusia itu sendiri untuk menghadapi tekanan, atau serangan. Entah peran itu sudah biasa, atau malah peran itu melawan kebiasaan-kebiasaan yang sudah terstruktur dalam pikiran, di mana peran itulah kuasa untuk mempertahankan eksistensi manusia.

Atas nama cinta pada negeri, Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum – Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam statusnya, Minggu, 19 April 2020, dia bilang, “Jangan pernah berhenti mencintai negeri ini.”

Irianto, dalam tiga bait berikut ini saya kutip pesannya:

Dalam situasi pandemi, merespon berbagai macam kritik terhadap pemerintah dalam hal kelambatan, kegagapan, dan kebijakan yang dianggap tidak tepat, serta penerapan kebijakan di akar rumput yang terdistorsi, bahkan ditenggarai ada kasus-kasus represif; kita juga harus melihat secara komprehensif, pemerintah bukannya tidak berbuat apa-apa. Banyak yang dibuat, tetapi permasalahan begitu besar: “Jangan pernah berhenti mencintai negeri ini.”

Hal yang saya ingin bilang, mari kita terus menumbuhkan kesadaran kolektif, menggalang kerjasama di antara warga masyarakat sipil, gerakan sosial, untuk menolong diri sendiri. Terlepas dari skema kebijakan atau program pemerintah sampai atau tidak sampai kepada kita: “Jangan pernah berhenti mencintai negeri ini.”

Sejarah membuktikan, bangsa Indonesia selalu selamat menghadapi cobaan yang berat sepanjang perjalanan, itu berkat gerakan masyarakat sipil yang kuat. Cinta kepada negeri adalah pengikat kita semua: “Jangan pernah berhenti mencintai negeri ini.”

Laste

Balik lagi pada soal di awal tulisan ini. Obrolan di ruang depan depan dapur, saya dan Christ. Duduk berseberangan, di depan meja telah tersaji masing-masing semangkok mie instan. Seperti para jelata membayangkan kebahagian, gembira bersama, menghibur diri sendiri atas banyak ketakutan yang merasuk sepanjang perjalanan hidup.

Tanya membentur berbagai soal, tidak semua dapat kami jawab. Menyeruput mie, menuntas hasrat, entah lapar, entah panik.

Kota-kota di tanah air seperti gemar pada terminologi yang tergolong baru, diimplementasi dengan pendekatan masing-masing, ini dia: Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Pikiran menerawang. Tadi di Foodmart, usai memindah belanja dari keranjang ke dalam karton, masih sempat kami berbagi selembar dua uang ribuan bagi penjaga pintu dan petugas yang mengatur dan mengangkut belanjaan.

Sementara menulis artikel ini, saya membaca pesan di dinding media sosial. Ditulis Rinto Taroreh, Tonaas Wanua Warembungan, “Hidup selalu menemukan jalan. Dalam setiap situasi ada pelajaran jika kita mau belajar,” demikian diteranya, 02 April 2020.

Punya catatan kecil tentang pembatasan-pembatasan, dan tentang keterbatasan. Pengalaman menjalani orde dalam Indonesia: pemiskinan terstruktur pernah dialami rakyat, dan bekasnya masih ada sampai saat ini. Dalam pada kondisi itu di masa lalu, semangkuk mie instan adalah hidangan mewah bagi saya. Bahkan semangkuk boleh bagi untuk beberapa orang. Kami mengunyah mie sebagai lauk nasi, kuahnya dibikin banyak, untuk ganjal perut, asal lapar terobati. Cerita masa silam itu kadang terulang, lalu saya tertawa sendiri. Betapa asyik menertawai derita.

Punya kebiasaan bantu di rumah dari dulu sampai sekarang. Bersihin got dan jalan, ngangkat air, cuci, masak, jualan, tanpa imbalan dan tidak pernah nabung. Dulu malah biasa nyangkul di kebun, biasa sehari makan sekali atau bahkan tidak makan sekalipun.

Hari ini, semangkuk mie mungkin gampang diraih bagi mereka yang punya duit. Bagaimana nasib mereka yang tidak punya penghasilan? Ekonomi mampet sudah pasti dapur tidak berasap. Maka, berbagi dengan orang-orang terdekat di lingkungan kita sudah sangat membantu mereka menghadapi krisis dan pandemi.

Kata sang kawan masih terngiang, ‘jangan pernah berhenti mencintai negeri ini’.
Ada ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar’, bukan halangan untuk berbagi.

Obrolan saya sudahi. O iya, saya masih punya semangkok mie, siapa saja yang berada di dekat kediaman saya boleh memintanya. (*)