Thursday, November 21

Posisi Tawar Sudah Dirampas


Medio 2009


Oleh: Daniel Kaligis


Manakala bermimpi otonomi daerah, pemerintah daerah beroleh ‘angin segar’ jadi ‘raja-raja kecil’ di bayang sang maharaja. Demokrasi, otonomi? Mundur lagi. Ketika raja kecil terima mandat, sejarah berulang lagi: rakyat kembali terjajah.


INTERUPSI bertahun silam, untuk ditinjau hari ini, terekam dan diterkam sejarah: Pemikiran akan maju, atau memilih mundur puluhan tahun, tidur ratus ribu tahun, atau menyerah sama sekali. Sekedar refleksi untuk fakta pembangunan, propaganda, dan sistem yang melingkupinya hari ini.

Kabar tiba kemarin, hari ini kisahnya mendekam sebagai sejarah janji. ‘Fresh money sudah turun’. Itu statement pembangunan dalam berita yang sudah lewat: Tapi, mengapa implementasinya sepi? Bantuan dengan berbagai tajuk teramat banyak, isinya propaganda untuk mengekalkan posisi kuasa.

Mengapa masih bertahta tuntutan berbagai pihak mengikuti kebijakan yang seolah memfasilitasi gerak pembangunan, padahal, di banyak titik, isi bangunan itu lebih megah di atas proposal ketimbang hasilnya? Soal hasil pembangunan — kurang lebih — telah dipelintir bagi harga-harga mengayakan diri sendiri dan golongan. Lihat saja para pejabat kaya raya, sementara rakyat semakin melarat dan terus terusir dari tanahnya demi terminologi ‘kebijakan’.

Kalimat pembuka tercetak miring di atas adalah tutur Jemmy, kawan saya yang sekarang menetap di Bogor. Saya edit sedikit kalimatnya biar nyaman dibaca. Tentang latar kesemrawutan di negeri plural ini, dia bilang, “Jadi pertanyaan besar adalah, bagaimana merebut posisi tawar rakyat dengan kenyataan bahwa setiap suku bangsa di Indonesia yang jumlahnya ratusan mempunyai cara pandang berbeda tentang ‘posisi tawar’ terkait tata cara dan adat istiadat yang begitu kental dan sangat militan di wilayah masing-masing. Ketika kita bermimpi otonomi, seakan menjadi angin segar bagi pemerinta daerah, bahwa ini adalah waktunya untuk menjadi raja. Ketika raja itu berkuasa, maka sejarah berulang lagi, yaitu kita akan mengatakan, ayo, kita rebut kembali posisi tawar itu. Menilik dari berbagai macam masalah keberagaman yang sering terjadi di Indonesia, posisi tawar akan mungkin terjadi ketika rakyat itu sadar homogen, punya etnisitas, bahasa, dan latar kultural sama.”

Greenhill, kawan di Mawale Movement berkisah tentang tanah leluhur dalam bingkai otonomi daerah, “Pada ketika Minahasa belum menjadi ‘negeri mimpi’, semua kita orang Minahasa bahkan mampu duduk setara semeja dengan bangsa-bangsa besar dunia. Namun, pada saat ‘raja kecil’ diangkat oleh ‘maharaja’, kita jadi pengemis tersimpuh di kaki meja, menunggu remah dari Jakarta. Permesta pernah berpaling muka dari sana, namun moncong senjata menyapa rumput Minahasa, saat elit kita tumbang oleh goda kuasa. Namun, yang terburuk adalah: hari ini kita, tou dan tana Minahasa, tak lagi mau mengetahui siapa, dari mana, lantas akan ke mana ia. Maka, tidak akan ada tawaran harga bagi mereka yang tak punyai dirinya.”

Saya menanggap, kesemrawutan terjadi karena dicipta. Penertiban adalah salah satu contoh terminologi dan perilaku bias yang sering digunakan untuk mencongkel akar-akar eksistensi rakyat yang sengaja dibiarterlantarkan oleh sistem, tumbuh bersama batu sandungan negara, sehingga rakyat harus cari jalan sendiri mengatasi haus lapar hari ini. Orang-orang di trotoar; terminologi ‘suku terasing’ yang sengaja diasingkan; sampah masyarakat yang juga dikulum oleh rindu para pemuas hasrat, dalamnya termasuk mereka yang mengagung-agungkan isi kitab suci; orang-orang yang dianggap salah jalan, karena salurannya justeru sering disumbat para pejabat. Ini pun teramat riskan diceritakan.

Waktu menjalar panjang dari saat diskusi tahun-tahun silam. Praksis masih sama hari ini: gusur disebut penertiban.

Tergusur dalam kisah Pemprov Akui Penggusuran Suku Anak Dalam Adalah Upaya Penertiban: Anak-anak ikut menginap di pendopo kantor gubernur Jambi. Berita ditulisan Jogi Sirait, Mongabay.co.id, 17 December 2013. “Tindakan penggusuran adalah bagian dari upaya penertiban yang dilakukan Tim Terpadu bentukan pemerintah kabupaten Batanghari. Penggusuran dilakukan karena Kelompok Acil sebanyak 30 orang sudah menerima ganti rugi lahan dan bersedia rumahnya digusur.”

Ketua Adat Suku Anak Dalam Bathin Sembilan 113, Abunyani, sebagaimana ditulis Jogi Sirait, terkait konflik lahan di Batanghari, bilang “Kami minta agar Gubernur Jambi benar-benar mengecek ke lokasi. Hanya lima puluh persen yang datang ke sini, sisanya kocar-kacir entah ke mana. Kami jangan digusur lagi, kami manusia bukan binatang.”

Konflik di lahan rakyat yang sudah dinegarakan, tidak selesai. Rakyat lalu diusir. Gusur jarah atas nama penertiban.

Masih ada sejumlah contoh kasus yang mendekam di halaman rakyat, dan dibiartinggal oleh sistem kekuasaan dan jadi konflik yang tidak kunjung selesai.

Kita meramu adab di seliweran persoalan lingkungan yang tertindas dengan jelas. Agar tulisan tambah panjang, maka masuklah kita pada isu ini: “Udara dipenuhi kabut asap dan timbal. Padahal, udara bersih adalah kebutuhan primer manusia. Setiap kali menghirup udara, manusia diingatkan bahwa tidak dapat hidup tanpa udara. Atmosfer adalah lapisan udara yang menyelimuti planet bumi. Atmosfer bumi terdiri dari beberapa gas antara lain nitrogen, oksigen, karbon dioksida; ditambah uap air dan zat-zat lain, seperti debu, jelaga, dan sebagainya.” Lupakan saja!

Ledak bencana, ancam bom, teror, rusuh, penembakan, dan bencana ada di mana-mana. Staat van Oorlog en Beleg (SOB) mungkin diberlakukan lagi. Bahasanya hari ini berganti rupa, praksis sama: PPKM. Kebiasaan baru, kelakuan lama. Haus kuasa, lapar perhatian.

Apa bencana hari ini hanya tentang otonomi dan demokrasi? Kebebasan bersuara, berkata, bertindak-tanduk ikut cara pikir sistem yang memang keras tengkuk tak mau berbenah. Tapi tidak, pemerintah di daerah selalu mengelak dengan kata-kata “Kami belum dapat petunjuk teknisnya”. Ketergantungan pada sistem yang rapuh masih saja dipertahankan. Membalik pandang dari tatapan yang menghisap perhatian. Globalisasi mendesak semacam peradaban baru yang tak mungkin dilawan dengan dua tangan terbuka saja.

Negeri kita berada di atas semua bangsa. Kritik Denni Pinontoan dua belas tahun lalu pada sistem, “Maka kita perlu merenung dan mengingat-ingat ulang sejarah kelahiran negara ini. Apakah ini yang dimaksud oleh Sukarno di saat negara ini akan dilahirkan: kemerdekaan adalah jembatan emas. Rasanya benar katanya juga di masa itu, bahwa kebangsaan Indonesia akhirnya menjadi berfaham ‘Uber Alles’. Kepada siapa kita mengadu? Tak perlu mengadu, saatnya mulai memikirkan ‘jembatan’ lain, selain jembatan yang pernah dicita-citakan oleh Sukarno itu.”

Menyoal sistem dengan ‘jembatan lain’, pernah bicara dianggap makar. Kritik diberangus, ditakut-takuti todong senapan.

Ril terjadi di semua sudut hidup di mana ia berdetak, dan inilah yang musti dihadapi negara kita juga. Hutang luar negeri numpuk, tapi investasi asing dipicu lembaga donor internasional seperti World Bank, IMF dan ADB yang menuntut ditegakkan paradigma good governance, sehingga makin kabur cara pandang kita terhadap rakyat.

Lembaga-lembaga internasional menekan pemerintah agar mencabut semua subsidi bagi rakyat, mengakibatkan posisi tawar rakyat kian ternegasi. Percaya atau tidak, judul boleh berubah namun tema sejarah dalam peradaban manusia selalu sama, walau tak menuju sebuah keabadian.

Mengenang sejarah sebagai buku pelajaran bagi kedewasaan berpikir masa kini, sebagai introspeksi yang membuat masa depan kita dapat dimulai dengan sesuatu yang punya dasar yang otentik dan dapat dipertanggungjawabkan. Permesta, bagian dari sejarah – yang di masa kini, ‘disinggung’ – sebagai bagian dari intervensi bangsa asing terhadap kedaulatan negara, kemudian, kisah ini menjadi semacam sihir interupsi bagi sejarah dalam menemu otonomi dan pembangunan yang setara dan merata. Katanya demikian, walau teori ini nanti berlaku di masa orba, dan tak sanggup membantah kepentingan-kepentingan yang merasuk di dalamnya, termasuk tentara-tentara yang berkelahi demi kekuasaan dari masa perang kemerdekaan hingga orba berdiri dengan sombong dengan tameng pancasila yang tercabik pemungkiran sejarah.

Otonomi setengah matang setengah hati. Terbit sudah Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah Provinsi, disusul Keputusan Presiden nomor 5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota yang ditindaklanjuti Kepmendagri Nomor 130-67 Tahun 2001 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota yang merinci tiga puluh satu butir kewenangan. Ternyata terdapat tarik-menarik kewenangan di sana.

Meruncing. Interpretasi soal kewenangan, masing-masing pihak berharap mendapat jatah lebih. Ada lagi, perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005. Kewenangan tak pernah menjadi kenyataan. Deru isu masih mengacau cara pandang.

Kembali pada ‘sejarah janji’ terulang dan banyak insan keranjingan, mengucap sumpah, menguji waktu, berapa lama gerak pembangunan membibirkan kesejahteraan yang tak pernah merapat di dermaga persoalan rakyat.

Jiwa otonomi dalam membangun posisi tawar rakyat tak terealisir. Padahal, memang, usaha meramu otonomi di negeri penuh soal, tak semudah membalik telapak.

Apa peran kita bagi menemu otonomi? Sistem pemerintahan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Ini pun jadi soal karena ada ‘anak emas’ dan ‘anak tiri’ otonomi. Telusuri isi regulasi, ternyata posisi tawar rakyat lebih banyak dirampok atas nama kebijakan negara.

Mestinya, rakyat bersatu dan menentang kesewenang-wenangan negara. Ketika ini harus kembali ditilik. Kepedulian untuk mengakomodir hak politik masyarakat untuk mengatur perekonomian mereka, juga prihal undang-undang, dan budaya harus dipulihkan, termasuk hak atas tanah, sumberdaya alam dan sumber kehidupan lainnya.

Sistem, berilah pencerahan. Hentikan hoax dan todongan ketakutan membibirkan kemajuan berbagai sektor yang ternyata mundur dalam menindaklanjuti perkara rakyat. Hentikan praktik-praktik busuk pemerasan atas nama bisnis memperkaya diri sendiri, menipu rakyat.

Rakyat tak butuh khotbah-khotbah yang mengingkari akal sehat, memoles hak sehat hak hidup dengan upacara propaganda. Bukan itu kebutuhannya.

Hentikan para pembual yang berseliweran di sejumlah media dengan suara memekak sejumlah ayat. Tangkap segera para pelahap anggaran yang sengaja bikin bengkak bea bikin ongkos melonjak untuk soal-soal tak sesuai peruntukannya.

Rakyat butuh sehat, butuh makan minum, butuh pengakuan sebagai manusia dan makhluk alam semesta yang mesti berdamai dengan alamnya. Sekarang, rakyat butuh pengetahuan, butuh protokol dan prosedur yang pas.

Hal ini kiranya mendapat perhatian khusus, supaya rakyat tidak menjadi terminologi bias yang selalu dipinggirkan sejarah. (*)