Thursday, November 21

Pemetik Belukar


23 April 2024


Oleh: Dera Liar Alam


SELALU semi langit simpang gunung-gunung pada ambang subuh samar nan memar. Awan-awan ditikam senyum kaku perempuan pemetik belukar.

Canda pagi, kawan mengulang syair. Salam hormat. Iblis nempel di tubuh, di badan, di institusi – Bongkar, Bento. Setan besar dalam negeri. Konon, angka tiga dua adalah kode alam. Berapa halaman surat perintah penyidikan pengancaman menyasar meja kerja regulator kotor. Berapa oknum elus jidat elus dada elus paha, seterusnya: “Aman dan damai zaman dulu,” katanya mengomentari romansa reformasi bertahun lalu. Kini putusan dipetik, hanya hiruk-pikuk sesaat. Korupsi kolusi nepotisme kian menggila. Tapi kepala kuasa tiada malu rupanya.

Asalkan ada makanan, ada minuman, pakaian ada. Terpakai dalam anggaran bengkak boros. Cukuplah! Pemetik belukar, siapa ingkar? Tabulasi sudah tak tabu. Angka sembilan puluh disebut rebut angka-angka statistik. Mesin memodifikasi kode. Suara-suara sudah tergadai sarapan gratis, janji palsu masa nanti akan ditagih postur gemuk tukang tadah beras impor. Di sana menabuh, di sini menabur, di situ mimpi ibu kota mafia tanah.

Pemetik belukar terlahir pada zaman sukar. Sayur sebaki bernilai sebakul, sejangkung tinggi hati yang mungkar. Bahwa hingga saat ini belum ada regulasi mengatur secara khusus tentang pemetik belukar. Demikian petikan isi undang-undang yang dijual-belikan tiap musim panen buah-buah pajak sok bijak berklaim kebijakan.

Pertapa telah murtad, renung dia di tepi alir limbah konstitusi membaca mesin berita: klarifikasi fakta patung-patung amicus curiae disembah jadi susuh jadi onak jadi waham delusi skizofrenia. Pemetik digagahi pertapa, bergilir mereka dari depan panggung raja hingga tersudut di pojok dinding diskusi.

Belukar telah dibakar. Huruf-huruf tebal sarapan basi detail tata ruang merampas hutan adat dan tanah rakyat. (*)