Wednesday, May 8

Bara Bira Biru Belu


21 April 2024


Negeri kita, tahun 2020, disebut masuk peringkat tiga negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Saban hari ada 185.753 ton sampah dihasilkan dua ratus tujuh puluh juta penduduk. Sekitar lima puluh juta kilogram sampah plastik mengalir melayang mengapung dan mengendap di samudera…

Kian hari, tebaran plastik makin rasuk ramai…


Oleh: Dera Liar Alam


BERTAHUN silam mengeja biru dari Bara, di sini lokasinya tak jauh dari Bira. Taman hutan raya melekat pada tebing karang saya susuri ribu langkah kaki sambil mengelak duri di kiri-kanan, di atas sejauh tatap, di sepanjang pijak tanpa ujung mencari tiada. Di sana, hari hampir sore, dan masih teramat terik di April yang telah kemarau. Berkenalan saya dengan Belinda, menurutnya dia biasa dipanggil Eli – namun saya memenaggilnya ‘Belu’. Kami bersua di Kajang. Belu dan saya sama-sama pendatang di Bara, kami berkisah tanah laut, bertutur sisa-sisa terserak dalam petualangan.

Tentu ingat titik bersua di Kajang, walau sering gagap mengeja huruf-hurufnya dan coba membandingkan dengan lokasi lain yang bernama sama: Batunilamung, Bonto Baji, Bonto Biraeng, Bontorannu, Lembang, Lembang Lohe, Lembanna, Lolisang, Malleleng, Mattoanging, Pantama, Pattiroang, Possi Tanah, Sangkala, Sapanang, Tambangan, Tanah Towa.

Menghafal tanda, pepohon bertua, alir kali, tiang-tiang, batu-baru: Bonto Bahari itu berbatasan dengan Bontotiro di utara. Di sebelah barat ada Ujung Loe. Di selatan Laut Flores. Suka mengintai jingga dan cahaya berangsur cerah di timur, jauh di sana Teluk Bone. Lupa sarapan, ada tiga anak menuju pondok yang berjualan berbagai goods, mereka berlari pelan dan memanggil-manggil penunggu warung, kemudian berjalan menjauh. Seseorang menenteng plastik, mengambil isinya, merobek pembungkus plastik, lanjut mengunyah, tangannya menyodor sesuatu ke bibir monyong teman sebayanya yang berbadan lebih kecil. Langkah pelan, angin pagi. Plastik telah dibiar melayang di jalan, dihembus hawa yang kian terik plastik berpindah ke semak. Lalu diam. Anak-anak menghilang dalam pemukiman, suara mereka nyaring saling panggil saling sahut-sahutan.

Kami berdiskusi soal-soal global dalamnya tentu tentang sampah plastik yang signifikan dibicarakan dunia saat ini. Berdasarkan data dari berbagai sumber, termasuk World Population Review, Indonesia termasuk dalam daftar negara yang menghasilkan sampah plastik terbesar di dunia.

Siang tiba. Makan di pondok tepi laut sambil memandangi anak-anak bermain di lorong pasar. Di sekitar sini juga plastik bertebaran di tanah, di semak, di jalan. Saya membuka data yang sempat dicatat dari beberapa halaman berita: “Masalah sampah plastik sangat serius karena plastik sulit terurai dan dapat mencemari lingkungan, termasuk lautan. Sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik dapat merusak ekosistem laut dan mengancam kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Oleh karena itu, upaya pengurangan penggunaan plastik sekali pakai, daur ulang, dan pengelolaan sampah yang baik menjadi sangat penting dalam mengatasi masalah sampah plastik di dunia.” Begitu disebut di WeCare.id.

Belu memilih satu foto, perahu berjejer, alam biru, pasir putih, awan-awan tersebar arus terik. “Tapi kau masih berani menyeberang, ombak malam ganas,” tanya saya. Belu terbahak-bahak menertawakan dirinya sendiri. Di atas perahu penyeberangan dia bersorak, ombak memecah malam, alir hitam memancar, dia menjerit, saya pura-pura tidak takut. Perahu oleng sensasinya memang beda. Gadget, kamera, dompet, semua masuk plastik, simpan di dry bag.

Dicatat medio 2020, Indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton sampah plastik, dengan rata-rata 185.753 ton sampah setiap harinya. Indonesia juga merupakan salah satu negara penyumbang sampah plastik ke laut terbesar, dengan jumlah mencapai 56 ribu ton, sebagaimana dicatat medio 2021. Disebutkan bahwa Amerika Serikat, India, dan China juga menyumbang sampah plastik yang cemari bumi. Amerika Serikat merupakan negara dengan produksi sampah plastik terbesar, mencapai sekitar 34,02 juta ton. India berada di peringkat kedua dengan produksi sekitar 26,33 juta ton, sedangkan China berada di peringkat ketiga dengan produksi sekitar 21,60 juta ton. Di media Tempo, Databoks, dan berbagai artikel saya dapatkan data yang mengurai soal itu.

Tentang botol plastik, Belu bilang, “Di tempat saya juga banyak botol, banyak sampah. Air mengalir dari Gunung Wayang meliuk-liuk alirnya bermuara di Ujung Karawang, ke Laut Jawa, ke Samudera Hindia, ke seluruh bagian bumi, sambung menyambung ke hatimu. Sungai Citarum disebut sebagai sungai paling cemar di dunia,” cetus Belu sambil ngakak.

Belu cerita ke saya tentang leluhurnya yang hidup di lererng Gunung Wayang, “Saya dari Soreang tapi kami turunan sudah bercampur-campur,” desisnya. Dari Belu saya belajar mengeja ‘Ci’: Cibalagung, Cibeureum, Cidurian, Cihaur, Ciherang, Cijati, Cijere, Cikao, Cikapundung, Cikeruh, Cikijing, Cikundul, Cilanang, Cilimus, Cimahi, Cimeta, Ciminyak, Cipamokolan, Cipanawuan, Cipicung, Cirasea, Cisangkuy, Cisokan, Cisomang, Citarik, Ciwalengke, Ciwidey. Dari dia saya mendengar kisah Citarum Harum. Mereka tinggal di dataran tinggi namun kerap kali dilanda banjir di sejumlah titik. Rupanya ada soal-soal kembar dan sama di berbagai tempat di negara kita, misal pengerjaan  drainase yang buruk, pencemaran sungai, pendangkalan sungai, sampah ada di mana-mana dan seterusnya. “Alir sungai yang ada di Cekungan Bandung semuanya bermuara ke sungai Citarum,” cetus Belu dengan muka tertunduk. Hari masih teramat pagi kala itu. Raut Belu seperti dipenuhi genangan manakala kami bersitatap. Kami bergegas, mengitar Tanah Lemo lalu tuju Tanah Beru.

Saya cerita ke Belu, lebih sepuluh tahun silam saya kerap datang di Bulukumba, medio 2010 – 2014 paling sering. Bara sementara berkembang waktu itu. Dulu, di 2010 belum ada penginapan dan hotel di lokasi itu. Saya menyusur hutan tepian pantai, memotret celah dedaun, merayapi tebing karang hingga ujung tanjung, dan menenun sajak gelombang — ada saat di mana marahnya meninggi: menjilati pasir, menghempas kapar dan kapal, membanting batu-batu. Sore masih sama ketika Belu dan saya mengamati deras arus. Petualang laut datang merapat menawarkan perahu, saya mencatat beberapa bait: alir melawan deras merasuk menajam jauh ke rimba yang semakin hari semakin tandus, membentuk tanya yang sekian lama tak mampu dipecahkan; membiru, seperti luka lebam bangsa ini. Sampah ada di mana-mana, di tanah, di ruang politik.

Sepanjang malam mendiskusi foto, memamerkan gambar poin yang dipandang aneh di semesta: hutan, rumput, dedaun, pohon, juga mungkin orang-orang, dan sisa-sisa. “Ini anak-anak yang kita bertemu tadi di jalan pulang,’ ujar Belu sambil menyodorkan gadget mengingatkan saya tulisan di depan Scuba Republic Beach Bungalows. Ambang pagi yang biasa, timur laut dipenuhi cahaya, langit biru menggantung awan-awan jingga berangsur pudar. Saya mengeja titik yang disinggahi: Amatoa, Blue Planat, Cosmos, Hakuna Matata, Kaluku, Paduppa, Sunrise Cliff Resort, Woywoy, Villa Panrang Luhu, dst.

Belu dan saya ingatannya sama: Biru di Bara, di Bira, dan plastik-plastik bertaburan seperti sampah regulasi.

Di sini, di Bara, memuja senyum yang pernah berjanji memberi masa depan. (*)