Saturday, December 21

Pasar Plural dan Mulia


01 Januari 2022


Pernah menerakan sajak dekat lokasi itu: Sekitar Linnouw Lake, berapa tahun silam adalah belantara, hutan seho, ladang jagung, palawija, ilalang, dan pinus. Surga awan-awan berganti saturasi di bening hijau.


Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis


Gambar: Mulia dengan latar Alfa Omega Tower di waktu senja.


TANAH dan tumbuhan hijau, lambang kesuburan: orang-orang boleh menyaksikan itu ada di Wanua sepanjang tahun, saban musim. Penghujung tahun, hasil tanah subur itu lebih limpah masuk pasar rakyat. Ketika datang di tanah leluhur, saya singgah di situ.

Sisi timur Pasar Extreme

Pasar lebih ramai dari hari biasa, saban ujung tahun begitu. Ritual foto saya mulai, dan bertanya apa saja yang terbersit di benak pada mereka yang rela menjawab. Orang-orang mencari kebutuhan dan keinginannya, bertemu penjual, saling tawar di situ. Di sini, Pasar extreme Beriman – Tomohon, 31 Desember 2021. Penjual buah, penjual bunga cari lokasi strategis, penjual ikan, penjual daging babi, daging bebek, daging anjing, ular, kelelawar, bambu muda, daun pangi, bumbu-bumbu alamiah – kemangi, kunyit, jahe, cabe, tomat, bawang-bawangan, beras, gula, garam, cakar-bongkar, serta berbagai barang plastik logam produk industri.

Orang-orang dari kampung berkumpul di sana: Pinaras, Tumatantang, Uluindano, Woloan, Taratara, Lolah, Lemoh, Kumelembuai, Rurukan, Tondano, Remboken, dan sekitarnya datang ke pasar rakyat. Penandanya sangat mudah, mereka datang dengan mikrolet biru, berdesakan.

Saya tanya Meity tentang jualannya, dia dan perempuan-perempuan sebayanya bilang, “Ini pisang dari Ranotongkor, maar kita orang Woloan yang so tinggal di Taratara. Satu sisir sepuluh ribu.” Para penjual ada di tenda-tenda, di bawah terpal yang dipasang dengan tali dan tiang-tiang bambu dan kayu, ada juga yang bertahan diguyur gerimis menderas. Teriak memanggil pembeli tawarkan dagangannya, sorak dan suara menggema di belantara sekitar pasar.

Jalan masuk mikrolet ada di dua lokasi. Di bagian timur pasar, dulunya ramai bus antarkota Tomohon – Manado, sekarang angkutan itu sepi. Lebih ke timur ada parkiran kendaraan umum. Jalan masuk mikrolet di bagian barat pasar, di situ juga hilir-mudik motor sewa yang melayani penumpang dalam kota. Pejalan kaki berjejal di sana. Tukang kue tradisional ada di pintu masuk barat, ada juga di dalam pasar.

Tahun silam, ramai pengunjung dari luar Indonesia memotret jualan extreme, anjing, ular, tikus, kelelawar. Tahun ini sepi. Atau saya yang tak beruntung boleh bersua para pendatang itu. Mundur jauh, pada dua belas tahun lalu, Antje, kawan saya yang bermukim di London, ketika melihat postingan saya media sosial, dia berujar, “So di Manado ulang dang ini? Doh pe sadap kang? Itu pangi, tinoraksak, nasi jaha, kolombeng, tantunya kong tu kolombeng yang pake kenari kang?” Tanah Minahasa, tanah leluhur, pemukiman tua ratusan bahkan ribu tahun dihuni, termasuk Tomohon, jamak disebut Manado, ada juga yang melafalnya sebagai Menado.

Jalan berkelok menurun saya lalui, menuju Alfa Omega Tower. Walau arus manusia lebih banyak ke arah menanjak tujuh Pasar Extreme. Kompleks Alfa Omega Tower tidak kalah ramai, toko-toko dijejali pembeli. Saya memutar di Jl. Maomang, dekat Jl. Pinaesaan, kemudian mencari spot foto.

Membaca pesan lama, belasan tahun lewat – 2010: “Paradoks hari baru, datang petang datang pagi, dan dalam tak sadar kita menyebut hari itu baru. Padahal sudah lebih dari delapan jam kita terlelap lalu terjaga dalam gamang. Malam mengejar waktu kosong, lebih separuh dunia coba menghitung kengerian waktu hilang, detak detik bergeser dan tak pernah kembali. Mungkinkah mengerti bahwa tak pernah ada baru di bawah matahari?”

Pesan 2010 itu ditanggapi kawan Jane Mamuaja dengan kutipan Heraclitus, “Everything flows and nothing remains the same. No man ever steps in the same river twice, for it’s not the same river and he’s not the same man.”

Kata berbantah kata, segala teori diuji waktu dan zaman. Kawan saya Maureen Antoinette, tinggal di Denver, Colorado, membantah tulisan saya tentang ‘tak ada baru’. Dia sebut, “Sapa bilang nda ada yang baru? Ada dong! Such as: baju baru, sepatu baru, harapan baru.”

Saya mencari sungai di sekitar, selokan tertutup beton. Kenang sampah plastik kaleng botol, bekas bungkus produk berbagai jenis. Hampir seharian memetik gambar, melangkahi lorong dan setapak.

Mengeja kutipan dari mesin pencari. “Tomohon sejak dahulu telah dituliskan dalam beberapa catatan sejarah. Selasatunya terdapat dalam karya etnografis Pendeta N. Graafland, pada 14 Januari 1864 di atas kapal Queen Elisabeth, ia menuliskan tentang suatu negeri bernama Tomohon yang dikunjunginya pada sekitar tahun 1850. Menurut beberapa sumber, Tomohon — asal kata Tou Mu’ung dalam bahasa Tombulu — Dikatakan bahwa negeri itu adalah salah satu daerah yang termasuk dalam etnis Tombulu, satu di antara etnis lainnya yang ada di tanah Minahasa.” Menyimpan kutipan dalam ingatan, mengejanya berulang-ulang.

Sore di Alfa Omega Tower

Wanua, kampung dalam tutur orang-orang, saya sekian lama coba mengejanya juga: Kampung Jawa, Lahendong, Lansot, Pangolombian, Pinaras, Tumatangtang, Tumatangtang I, Tondangow, Uluindano, Walian, Walian I, Walian II, ada di bagian selatan kota.

Di sisi timur, ada Kumelembuay, Paslaten I, Paslaten II, Rurukan, dan Rurukan I. Di utara Kakaskasen, Kakaskasen I, Kakaskasen II, Kakaskasen III, Kayawu, Kinilow, Kinilow I, Tinoor I, Tinoor II, dan Wailan. Sebelah barat ada Taratara, Taratara I, Taratara II, Taratara III, Woloan I, Woloan I Utara, Woloan II, dan Woloan III.

Bagian tengah kota ada Kamasi, Kamasi I, Kolongan, Kolongan I, Matani I, Matani II, Matani III, Talete I, dan Talete II. Saya di sekitaran lokasi ini, menanya, mencatat, mengingat.

Berhenti di depan toko pakaian Al-Aqsa. Sekitaran Alfa Omega Tower disebut orang ‘Pasar Lama’, tiap kelok ramai dan padat kendaraan pribadi, mikrolet, motor, pejalan kaki. Walau aktivitas pasar sudah dipindah ratusan meter sebelah timur arah Rurukan-Kumelembuai, area ini masih jadi lokasi strategis dagang di kawasan Tomohon.

Depan Al-Aqsa saya mengeja tulisan, Blessing Clothes, Kedai Bakso Mas Mul, Nusantara Meatballs, MTV Basho Paslaten, Dian Ice Blend, ke arah mata angin lainnya ada Toko HK, Toko Emas Senang Indah, Apotik Setia. Saya disapa Tika manakala saya menyorot sunset di arah Alfa Omega Tower. Orang bernegosiasi, wajah-wajah berbagai ekspresi.

Mulia, Kartika, dan Rhida

Tika itu lengkapnya Kartika. Dia bilang, “Oom, baku tulung dengan torang ba jual,” katanya, disambut ujar teman-temannya, Ridha Allah Saing, dan Mulia. Tolongin kita, bantu jualan, kata mereka. Saya meniru kata-kata mereka, “Kaseh abis, kaseh abis, lima puluh ribu so dapa celana jeans baru.” Maksudnya, pembeli, mari habiskan jualan celana jeans yang kami tawarkan.

Anak-anak muda perempuan ini bilang, bahwa, mereka berjualan dengan riang gembira. Mulia mengajari saya, menunjuk spot foto strategis. Dia bilang, “Torang anak muda harus berusaha, menjual dan berdagang, kerja positif.” Matahari miring di langit barat, kota yang gelap sejuk diliputi kabut dan lampu-lampu mulai menjalarkan sinarnya, redup dan mesra. (*)