24 Maret 2022
Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
GENDANG beleq dan rebana ditabuh, pemetik gitar wajanya serius, rombongan berlalu di jalan kampung sekitarnya sawah. Orkes mengantar pengantin dalam ‘Nyongkolan’ itu lewat, lalu sepi, menghilang di kejauhan.
Nyongkolan ritual yang dipraksiskan suku Sasak yang mendiami pulau Lombok. Arak-arakan dimulai dari rumah mempelai lelaki menuju rumah mempelai perempuan. Yang ikut nyongkolan adalah kerabat dari kedua mempelai dan wajibkan mengenakan pakaian adat. “Nyongkolan berasal dari kata songkol yang berarti mendorong dari belakang atau mengiring. Prosesi adat ini biasanya dilaksanakan setelah akad nikah. Waktu nyongkolan biasanya berdasarkan kesepakatan antar kedua keluarga mempelai.”
Orang-orang Sasak menggunakan bahasa Sasak. Dalam Hikayat Indarjaya, 1995, yang ditulis H. L. Wacana, L. G. Suparman, Nyoman Argawa, dan Renggo Astuti, menyebutkan yang mana terminologi ‘Sasak’ pertama kali disebutkan dalam Prasasti Pujungan, yaitu sebuah prasasti yang ditemukan di Kabupaten Tabanan, Bali, yang diperkirakan berasal dari abad Sebelas.
Datang di Lombok, dan saksikan kegiatan itu. Saya pernah menikmati keramaian ‘Nyongkolan’ di sana manakala menulis artikel ‘Di Bayang Mendung Kayangan’, medio 2014 terkait program lima tahun – Australia Indonesia Partnership for Decentralisation – yang bertujuan memberikan bantuan teknis dan dukungan peningkatan kapasitas bagi pemerintah lokal dan masyarakat sipil demi meningkatnya pengelolaan alokasi dan sumberdaya keuangan yang lebih baik, kebetulan saelasatu kegiatannya berlangsung di Nusa Tenggara Barat, saat itu. Saya ke Lombok bersama kawan-kawan dari BaKTI yang beralamat di Jl. Dg. Ngeppe No.1 Tamalate, Makassar.
Suatu sore berangin, langit biru di atas Sade village, Sasak Lombok. Saya memetik foto sawah, pematang, lanskap Sasak, lalu rombongan nyongkolan melintas, ramai dan riang gembira mereka. (*)