Tuesday, April 30

Negeri Kerasukan Regulasi Instan


27 Januari 2024


Bukan mie instan dimasak tak lama siap disantap, atau sup, atau susu campur gula seduh air panas lalu sebentar dapat diminum, dinikmati. Seruput kopi instan isu masyarakat instan dan sistem yang gahar dengan kebijakan membijaki soal-soal kuasa menguntungkan diri sendiri dan golongan tertentu saja, ini jadi soal bila tak diinterupsi oleh kita semua orang Indonesia…


Oleh: Sutan Siagian
Penulis tinggal di Jakarta


Editor: Dera Liar Alam


TERTARIK melihat orang yang setuju UUD 1945 diubah karena ingin Jokowi tiga periode. Alasannya karena Jokowi bagus.

OK, saya setuju Jokowi memang bagus. Saya memilih dia dari semenjak dia mencalonkan diri untuk jadi gubernur di DKI Jakarta dan berikutnya dua kali ‘nyapres’. Tapi kita usul ubah UUD 1945 karena presidennya bagus, lah kalau ternyata presidennya nggak bagus lah piye? Masa iya ubah lagi UUD 1945 hanya karena kondisi ‘tafsir suka-suka’?

Di sini saya melihat ada pemahaman kenegaraan yang begitu parah. Kita sudah terlalu terbiasa dengan pola pikir pragmatis dan instan. Semua terlalu result oriented dan menghiraukan proses. Padahal hasil yang baik bisa didapat bila prosesnya juga ‘mesti’ benar. Anda boleh memberi catatannya, yang benar itu rupanya bagaimana.

SBY pada masanya juga adalah presiden yang baik, karena pembandingnya adalah presiden sebelumnya, Megawati. Approval rate saat itu juga sekitar 60 persen, tapi tidak sekalipun muncul ide untuk mengubah UUD 1945 agar presiden boleh berkuasa tiga periode.

Seandainya SBY mau, dengan kekuatan koalisi 70 persen di DPR, bukan tak mungkin presiden tiga periode itu lolos. Dan, bila itu terjadi jangan berharap kita pernah punya presiden bernama Joko Widodo!

Joko Widodo muncul karena sebuah proses berdasarkan rambu-rambu konstitusi UUD 1945. Jadi bila kita mensyukuri negara ini dipimpin oleh Pak Jokowi, hargai dan lindungi juga konstitusi, yakni UUD 1945 yang memungkinkan seorang Jokowi bisa jadi presiden pada zamannya. (*)