Thursday, December 5

Mengonstruksi Regulasi Bertanggunggugat


13 Oktober 2023


Harap, regulasi memberi arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi berkualitas…


Oleh: Daniel Kaligis


GERTAK regulasi membatasi. Kebijakan julurkan dua lengan – petunjuk – dua arah berlawanan: satunya mempersilahkan, satu lainnya mengingatkan. Harap pada sistem yang membingkai tubuh negeri dalam geliat sebuah cita-cita negeri sejahtera, rakyat dan semua pemangku kepentingan di dalamnya. Namun, menggema di ruang-ruang tanya adalah palang melintang menghambat gerak pembangunan.

Sementara untuk menelorkan sebuah kebijakan ada value yang harus dibayar di sana. Ramai suara menderas, interupsi sebab kebijakan pembangunan yang selama ini didengungkan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, dan belum memberikan prioritas dan arah strategis perubahan mindset dan sistem. Sehingga kebijakan justru menelorkan potensi kemiskinan struktural. Karena di sana sudah terjadi perampasan kemampuan atau capability deprivation terhadap sumberdaya dasar, seperti pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan.

Kemiskinan struktural merupakan suatu kondisi di mana masyarakat dijauhkan dari sumberdaya yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki kehidupannya. Akar kemiskinan terkait regulasi yang diciptakan negara tanpa melihat skala prioritas kebutuhan stakeholder, dalamnya termasuk masyarakat.

Uraian merdu menyebut yang mana bidang ini mempunyai peranan strategis dalam pembangunan nasional. Tapi, apakah amanat ini sudah diimplementasikan secara betul? Sementara di sektor jasa konstruksi, menilik bidang yang kita gumuli saat ini, berdasarkan data tahun ini ada 8,3 juta pekerja yang bergelut di bidang jasa konstruksi, dengan persentase sekian persen dari jumlah tenaga produktif di negara kita yang berkegiatan di berbagai bidang kerja.

Bila memang kita menyebut jasa konstruksi sebagai bidang startegis, apakah langkah pemberdayaan sudah dikerjakan? Pemberdayaan kebijakan, meliputi pengembangan sumberdaya manusia di bidang jasa konstruksi; berikutnya pengembangan usaha termasuk upaya mendorong kemitraan fungsional yang sinergis; kemudian dukungan lembaga keuangan untuk memberikan prioritas, pelayanan, kemudahan, dan akses dalam memperoleh pendanaan; selanjutnya ada dukungan lembaga pertanggungan untuk memberikan prioritas, pelayanan, kemudahan, dan akses dalam memperoleh jaminan pertanggungan risiko; serta peningkatan kemampuan teknologi, sistem informasi serta penelitian dan pengembangan teknologi.

Kerja masih diramu sistem dalam bingkai kepentingan. Pendelegasian masih setengah hati. Skala prioritas pembangunan miring pada kepentingan politik elite. Sehingga kebijakan jadi tertindas capability deprivation. Harapan kita yang mana regulasi dapat memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas, akan semakin terasa jauh bila tak sesegera mungkin dilakukan pembenahan, di mana kebijakan itu berpusat pada manusia-manusia (people centered development) yang bertanggunggugat terhadap apa yang ia kerjakan.

Bahwa kebijakan pembangunan yang berpusat pada manusia bertujuan memperbaiki kualitas hidup seluruh rakyat dengan aspirasi-aspirasi serta harapan individu dan kolektif. Dan dalam konsep tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan hal ini juga patut berlaku. Tujuan objektif dalam strategi pembangunan berpusat pada manusia pada intinya adalah untuk memberantas kemiskinan absolut, realisasi keadilan distributif atau distributive of justice, dan peningkatan partisipasi masyarakat secara nyata.

Inilah yang kita kritisi bersama, manakala disebutkan bahwa persentase tenaga kerja konstruksi dan di berbagai sektor terus meningkat. Untuk jumlah yang segelintir itu saja, regulasi bagi meningkatnya kualitas sumberdaya seringkali terbeban kepentingan dan saling tumpang tindih. Padahal prioritas bagi people centered development harus diperuntukkan bagi daerah yang tidak menguntungkan dan kelompok-kelompok sosial yang rawan terpengaruh, termasuk perempuan dan anak-anak, termasuk di dalamnya para generasi muda yang tidak mampu, lanjut usia, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Kita sepakat menyebut bahwa, dalam mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi tak hanya sebuah angka peningkatan kualitas hasil pekerjaan konstruksi saja, namun, dalam kerja ini, sistem dan regulasi mestinya mendukung terciptanya idea konstruktif yang dapat diimplementasi. Ayo, kerja bertanggunggugat mengonstruksi Indonesia lebih baik di hari ini dan masa mendatang. (*)