Sunday, December 22

Mengawal Sandiwara


18 Oktober 2022


Hubungan Brigadir J dan Putri Malu ada dalam struktur relasi kuasa dan cukup baik. Sebagaimana ia mematuhi perintah Pecatan Jenderal, begitu pula ia mematuhi perintah istri Pecatan Jenderal. Disuruh apa pun, harus mau…


Oleh: Linda Christanty
Penulis adalah sastrawan dan pegiat budaya


Gambar: Kawal Sandiwara – DLA/ bangun-indonesia


Teman-teman tercinta,

Selamat pagi. Saya sengaja menulis kepada kalian di pagi hari tentang perkara yang membutuhkan pengawalan ketat kita dan seluruh rakyat Indonesia.

PERKARA pembunuhan berencana Brigadir J mulai disidangkan di Jakarta. Para tersangka mulai melakoni sandiwara tahap berikutnya. Ketika seseorang sah ditetapkan sebagai tersangka, dalam hukum negara mana pun ia berhak berbohong sebanyak-banyaknya kepada hakim di ruang sidang pengadilan. Berbohong sebanyak-banyaknya sah dilakukan tersangka untuk lolos dari hukuman. Sementara itu, para hakim bertugas memeriksa dan menguji dengan teliti bukti-bukti sah yang dihadapkan di muka sidang pengadilan (baik manusia maupun benda) untuk menghukum tersangka seadil-adilnya sesuai perbuatan yang bersangkutan.

Sejumlah orang masih penasaran ingin mengetahui motif tunggal pembunuhan berencana yang dilakukan para tersangka terhadap Brigadir J, meskipun motif tunggal tidak terlalu penting mengingat pembunuhan berencana bisa didasarkan atas beberapa motif sekaligus. Sebuah perkara pembunuhan dapat dinyatakan sebagai pembunuhan berencana cukup dengan membuktikan adanya persiapan. Dalam sejumlah perkara, psikopat bahkan membunuh korban dengan motif yang tidak bisa dipastikan.

Untuk mengingatkan kita kembali tentang apa saja isu yang beredar berdasarkan sejumlah pembicaraan informal masyarakat, baik daring maupun luring, tentang kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J ini, saya mengulangi lagi apa yang saya sempat ingat:

Konon Brigadir J ditugaskan Pecatan Jenderal datang ke suatu tempat dan menemui seseorang di wilayah Mangga Besar. Ia mendatangi tempat itu dan kaget bukan kepalang melihat keadaan di sana. Belum pernah rupanya ia ditugaskan pergi ke tempat semacam itu. Ini untuk pertama kalinya. Ia berada di pusat perdagangan manusia/perempuan berbagai bangsa, narkoba, dan judi dalam Konsorsium 303, yang terhubung dengan jaringan mafia serupa di Indochina, Filipina, Thailand, Eurasia, Asia Tengah, dan Asia Timur.

Sebagian besar dari kita hanya pernah melihat tempat itu dalam film-film tentang kejahatan mafia. Pemandangan tersebut membuat Brigadir J benar-benar syok dan sedih. Dari salah satu bos tempat itu, Brigadir J menerima uang setoran untuk Pecatan Jenderal, berupa dolar. Jika dihitung jumlahnya dalam rupiah, hmm…, belasan milyar. Tunai.

Mengapa berupa dolar? Kalau berbentuk rupiah, tentu harus dimasukkan dalam sejumlah karung goni dan dipikul. Tidak praktis dan memalukan. Kalau berupa dolar, cukup ditenteng dalam tas.

Mengapa tidak ditransfer saja? Agar tidak terlacak PPATK dan dilaporkan ke Presiden Joko Widodo.

Ini bukan uang transferan dari orangtua atau mamak-bapak kita untuk anaknya di perantauan, melainkan uang hasil kejahatan. Brigadir J pun membawa uang itu untuk diserahkan kepada Pecatan Jenderal. Kepada istri Pecatan Jenderal, yaitu Putri Malu, Brigadir J bercerita tentang apa yang dilihatnya di tempat tersebut. Putri Malu adalah juga bosnya seperti halnya sang Pecatan Jenderal. Hubungan Brigadir J dan Putri Malu ada dalam struktur relasi kuasa dan cukup baik. Sebagaimana ia mematuhi perintah Pecatan Jenderal, begitu pula ia mematuhi perintah istri Pecatan Jenderal. Disuruh apa pun, harus mau.

Brigadir J lalu menyatakan ingin keluar dari kedinasan kepada Putri Malu.  Ia juga ingin menikahi sang pacar yang amat dicintainya dan setia menunggu di Jambi bertahun-tahun. Putri Malu terkejut bukan kepalang. Ia menganggap Brigadir J bukan hanya tidak patuh lagi kepada suaminya, tetapi juga bakal mengkhianati keluarganya.

Belum lama ia mengetahui suaminya menikah lagi dengan seorang perempuan bawahan di kedinasan yang sama dan selama ini menjadi duri dalam rumah tangganya, kini Brigadir J yang dulu setia pun dianggapnya bakal ikut berkhianat. Putri Malu khawatir Brigadir J akan melapor “ke atas” (pemimpin tertinggi Polri) tentang perbuatan suaminya, yang terkait mafia Konsorsium 303. Arti “ke atas” bukan naik ke lantai atas sebuah rumah, tetapi melapor “ke atas” (atasan).

Kalau ini terjadi, Pecatan Jenderal akan dapat sanksi. Walaupun belum tentu juga akan diberi sanksi. Iyaaa ‘kan? Namun, Pecatan Jenderal seorang petinggi dengan jabatan sangat strategis. Mutasi atau sanksi akan mengubah kewenangan Pecatan Jenderal yang berdampak kepada turunnya gengsi, gaya, dan jumlah uang setoran. Oh, oh sungguh berbahaya Brigadir J ini. Jiwa raga Putri Malu menjadi sakit, karena membayangkan akibat perbuatan Brigadir J yang belum terjadi. Ia kemudian melaporkan percakapannya dengan Brigadir J kepada suaminya. Intinya, Brigadir J harus dilenyapkan.

Brigadir J bukan lagi ajudan terpercaya, melainkan duri hiu dalam rumah tangga dan karier Pecatan Jenderal. Momentum ini juga merupakan kesempatan emas bagi Putri Malu untuk memperoleh lagi cinta suaminya dari Si Cantik Gemes yang dianggapnya cuma bisa menadah uang dari Pecatan Jenderal dan menikmati masa senang saja.

Setelah itu pembunuhan berencana pun dirancang. Ancaman mulai dilancarkan terhadap Brigadir J oleh “squad lama”. “Squad lama” adalah para ajudan lain Pecatan Jenderal, dari kalangan aparat maupun sipil.

Pembunuhan berencana ini melibatkan peran hampir 500 orang dalam jaringan Pecatan Jenderal. Yang diperiksa 97 orang. Yang dijatuhi sanksi dan menjadi tersangka lebih sedikit lagi. Yang diputuskan untuk tidak diutak-atik, jumlahnya ratusan orang.

Jarang sekali ada kejahatan yang sempurna. Ketidaksempurnaan itu membuat kita semua mengetahui bahwa Brigadir J dibunuh secara berencana.

Tak berapa lama setelah terungkap bahwa ia dibunuh secara berencana, para pelaku dan jejaring pendukung pelaku, baik individu maupun lembaga, mulai menyebarkan motif rekayasa pembunuhan berencana itu. Namun, berdasarkan penyidikan polisi, motif pelecehan terhadap Putri Malu yang diajukan para tersangka sebagai alasan mereka bersekongkol melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J tidak pernah terjadi.

Teman-teman dan rakyat Indonesia, kawal ketat sidang-sidang kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Bersiaplah mendengarkan kebohongan-kebohongan yang menyakitkan hati dan telinga kalian. Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J membuat citra institusi Polri hancur  sehancur-hancurnya di mata rakyat Indonesia dan tidak akan pernah pulih dalam 100 tahun ke depan. Tiap melihat polisi, rakyat melihatnya sebagai Pecatan Jenderal.

Nama sang Pecatan Jenderal akan menjadi salah satu kosa kata dalam Tesaurus Indonesia, yang artinya “polisi jahat dan mafia”. Perbuatan jahatnya akan mengilhami pembuatan film, penulisan buku, pagelaran sendratari, pertunjukan teater, dan penciptaan sastra  lisan beserta salinannya dari masa ke masa tentang jejaring kejahatan mafia Indonesia. Singkatan nama istri Pecatan Jenderal tidak lagi berarti “komputer pribadi”, melainkan “pribadi sadis-melankolis” dalam kamus urban.

Polisi kini diawasi ketat oleh rakyat dan dicurigai setiap gerak-geriknya. Rakyat menghendaki hukuman mati untuk Pecatan Jenderal dan istrinya, juga para tersangka lain. Namun, hukuman mati melanggar HAM. Silakan pikirkan hukuman apa yang sah secara hukum dan bisa membuat mereka tidak pernah bebas lagi sebagai manusia selama-lamanya. Sebab hukuman seumur hidup ternyata tidak sama dengan seumur hidup dalam penjara.

Ketika perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J belum selesai disidangkan, terjadi serangan brutal terhadap penonton sepak bola di Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Sebanyak 154 orang tewas. Lagi-lagi, polisi terlibat. Doa mamak almarhum Brigadir J kepada Tuhan, “Bangkitlah rohmu nak untuk membantu kami,” terkabul. Brigadir J benar-benar bangkit untuk menunjukkan kepada manusia di muka bumi ini bahwa mafia yang bersarang dalam tubuh Polri dan merusak negara Indonesia benar-benar ada. (*)