Friday, July 26

Mbappé, Beking Apa di Taratara


14 Januari 2023


War ne Waraney, suatu visi dicanangkan tiga tahun silam, 2020. Berproses, kawan-kawan menyebut wanua sebagai pusat kegiatan apa saja, termasuk pendokumentasian sumberdaya dan pembuatan sinema oleh rakyat, yakni orang-orang di kampung.


NYORA bukan nama samaran, dia ujaran, panggilan, tercetus dari diskusi. Dia berbisik di kuping tuli, “Nyanda war-war ngoni.” Kenang tiga tahun silam di Wale Papendangan Sonder, di tanah Minahasa: persiapan film, “Perang Para Petarung, semoga semesta merestui dan Opo Empung memberkati.” Begitu dicatat Candra Dengah Rooroh. Di status sosial media, Bode Grey Talumewo memberi komentar pada pertemuan itu, “Next movie. Talikuran Sonder. 20200105. Colek Mel Gibson.”


Oleh: Daniel Kaligis


Gambar: Panggung pertunjukan sebelum film wanua tayang.


Sabtu bertahun kemudian, 10 Desember 2022: Festival dimulai di Tomohon, di wanua Taratara. Mbappé berbaju biru kelam, membelakangi kamera, difoto Greenhill. Pertanyaan bagi Mbappé, “Beking apa ngana?” Kata dalam dialek Melayu Menado, atau dialek Minahasa, Manado, beking artinya ‘bikin’. Beking apa, ngapain di situ – apa kau lakukan di situ, di Taratara.

Dari pagi tim dari Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) sudah tiba di Taratara. Mengantar sejumlah peralatan, kemudian membuka pintu gedung yang disiapkan untuk festival. Sound, laptop, kabel-kabel dibawa masuk ruangan. Director Smartphone Movement, Kalfein Wuisan, dan Ketua PUKKAT, Denni Pinontoan, memanjat gedung memasang poster bertuliskan ‘Festival Film Wanua’.

Pajangan poster mencolok mata itu berhadapan jalan raya, menarik perhatian setiap warga yang melintas di sana. Anak-anak di wanua itu lebih dulu terkumpul, mereka ramai, sambil bermain, masuk dan memperhatikan apa yang sementara berlangsung di Balai Kelurahannya. Gambar film di pasang depan pintu masuk, orang-orang datang dan mengisi buku tamu, disambut senyum tim penyelenggara. Di markas PUKKAT ada Edsar dan Erny memperisapkan ‘sajian senja’. Di lokasi festifal Ruth Ketsia dan Riane mengambil gambar tiap sudut ruang, mengatur kursi-kursi, meja, siapkan daftar hadir bagi peserta dan berkoordinasi dengan semua tim. Yonatan menyusun sambutan acara, Steven membaca doa.

Saya bercerita dengan Mbappé, begitu saya menyebut bocah lelaki usia sekitar sepuluh atau sebelas tahun yang berkaos biru kelam di punggungnya tertera nama Mbappé. “Mbappé mo ba-nonton ngana? Sapa ngana pe nama so?” Si Mbappé menyahut, “Kita pe nama Presley.” Tersenyum si Mbappé, seraya terus bermain latto-latto dan bersembunyi di balik mobil yang terparkir di sisi jalan di depan gedung.

Tembang ‘makatana’ menyeruak dari jendela dan pintu, mengalun di angin Taratara nan sejuk. Padahal siang terik berawan. Di bagian belakang gedung ada genangan air, rerumputan, pepohon nyiur dan enau, bayangan rumah di seberang dan dahan-dahan elok memantul di kolam bening dari genangan itu.

Sound telah dinyaringkan, sorak membahana dalam gedung. Mbappé ada dalam ruang, tangannya terancung di antara gegap-gempita anak-anak di barisan depan sisi kiri panggung manakala klip Zealous tayang di layar film. Zealous Band, group bergenre glam rock, berasal dari wanua Taratara. Anak-anak memujanya. Sambutan-sambutan sudah diucap. Apresiasi mengalir dari sineas dan penggerak komunitas film di Tanah Minahasa. Hadir Kepala Dinas Pariwisata Daerah Kota Tomohon, Yudhistira Siwu, S.E., M.Si., dia antusias mendukung dan memberi sambutan positif. Berikutnya tampil memberi arahan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Tomohon, Sonny Saruan, M.Pd. Lurah Taratara Dua, John Lonta, S.Hut., M.A.P., duduk di barisan depan bersama Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Michelin Salata, pada kesempatan itu turut berbicara sumbang saran bagi festival yang sudah berlangsung di sana.

Tentang anak-anak, Mbappé, dan tayangan yang dipilih, hadirin yang lebih banyak pengalaman melihat dunia, mengritisi tontonan layak bagi generasi penerus itu: “Anak-anak belajar dari tontonan, dan dapat meniru apa saja yang ada di lingkungannya.” Begitu mereka berdiskusi. Studi yang dilakukan Anderson, 2012, menyebut bahwa anak-anak yang menonton film kekerasan lebih cenderung memandang dunia sebagai tempat yang kurang simpatik, berbahaya, dan menakutkan. Anggapan negatif terhadap dunia luar ini lama-kelamaan dapat menumbuhkan sikap dan kepribadian agresif pada anak. Memang, sebagaimana sejumlah penelitian dikatakan yang mana anak yang telalu banyak nonton film dan tayangan visual berciri kekerasan dapat tumbuh menjadi sosok anak yang sulit berkonsentrasi dan kurang perhatian pada lingkungan sekitar.

Film karya warga wanua sudah mulai tayang. Di papan promosi terpampang gambar terkait judul: Tou Akel, Seho, Upus, Cakram, Hikmat dari Boss, Rhythm of Soul, Semilir Angin Marintek, Pisang Goreng Professor, Wale, dan seterusnya.

Kegiatan ini didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia lewat Program Sinema Mikro dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Di situs PUKKAT, Rikson Karundeng menulis sambutan Ketua PUKKAT terhadap ‘Festival Film Wanua’.

Dia bilang bahwa, ‘wanua’ dalam pengertian tradisi orang-orang Minahasa menunjuk pada kampung atau desa, sebagai suatu kesatuan adat yang dialami secara spiritual dan sosial. “Pada komunitas wanua, tou atau manusia, dan sumber daya alam yang berfungsi secara praktis untuk kehidupan, yaitu dalam bentuk wale atau papan, kaan’ atau pangan dan karai atau sandang, membentuk suatu praktik dan etik. Secara teknis, tema ini menunjuk pada ruang lingkup dan materi film.”

Lebih dalam disebut Karundeng bahwa ‘Festival Film Wanua’ sudah didahului dengan berbagai publikasi, sosialisasi, dan workshop film, di sejumlah wanua atau roong di Minahasa. Setelah di Taratara, Tomohon, kegiatan nanti akan berlanjut di SMA Negeri 3 Tondano di Kembuan, Malola Kumelembuay, Wuwuk – Tareran, di Minanga – Pusomaen, dan di Laikit – Dimembe. Puncak festival, ruang apresiasi dan launching buku akan dilaksanakan medio April 2023, di Benteng Moraya Tondano.

Di Taratara ingatkan saya pada Mbappé, dia datang di sana, hadir, menonton, bercengkrama — sama dengan orang-orang di wanua lainnya — dia dan kawan-kawannya bersorak, menandai wanua sebagai tempat dia meramu hidup, bertumbuh menjadi tou, lalu mengritisi realitas wanua dihantam mainan politik dan modernism. Demikian. (*)