28 September 2022
Ode bagi teturunan yang tanah leluhurnya telah dirampas sistem…
Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
KITA sajak malam didekap kabut, diterkam gelombang – tenggelam berkali-kali, jauh terdampar dalam hilang: di sana, di relung tragedi.
Kita kata, kata kita, kata dikita, kita dikata-katai…
Kata, anak-anak tak mengenal lilin mengotori lubang hidung, sehari-hari memulung sisa dijual. Kata, kita tak ada hendak digandar, selain lengan memeluk pikulan, kaki-kaki gemetar kering rapuh, asa untuk malam bersajak lapar, terbaring di doa-doa kusam, mendengkur di atas kertas-kertas ajaran lapuk. Kata, kita mimpi dalam terjaga, mengunyah derai jatuh di sudut pipi agar kenyang, supaya puas memeras linangan keringat ditertawai haus derita. Kata, kita ditepikan di pinggir-pinggir warisan petaka.
Kita sajak malam: badan-badan diskenariokan upacara dengan pembagi pajak berdiri memegang pentungan. “Diam,” kata regulasi demokrasi. Denting memanggil, mati. Ruang gaduh, pelayat membawa nasi bungkus, mujair goreng pedas, sayur acar, daging cincang dibumbui kecap, asam, jahe, kemiri, kunyit, lengkuas, merica, garam, kemangi, dan tangisan dalam pesta.
Kata, kita sajak. Bertanda tangan, sunyi. (*)
⚫
Sajak Malam, 26 September 2022