03 Februari 2022
Luka muncrat anggaran. Mabuk dogma, dan pembiaran.
Kita berbalik di tataran fakta yang tak lagi faktual…
Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah penulis dan jurnalis
Editor: Parangsula
SEGALA mimpi sontak terbangun, lalu linglung. Bangun dalam bingung. Kalang-kabut bencana petaka masih menghias cakrawala berita: banjir, longsor, abrasi, tabrakan, virus, dan dana-dana untuk rakyat yang terpangkas.
Ada sejumlah pengamat mengatakan bahwa indikator fundamental ekonomi di negara kita menunjukkan kinerja yang membaik. Benarkah demikian? Coba simak. Harga minyak, cabe, telur, sayur, beras di beberapa lokasi sering melonjak tajam, dan tidak mampu dikontrol penyelenggara negara. Gula dan garam impor masih berlabuh di pasar-pasar, kalahkan produk lokal. Coba tanya deretan para miskin di berbagai daerah dan di ibu kota negeri ini, berapa banyak yang mesti tetap mengonsumsi produk tak standar, yang penting boleh kenyang, lanjut hidup dengan kepuasan dalam cerita gemuk makmur bertabur puji-pujian.
Daya serap pengeluaran melalui anggaran pendapatan yang sudah ditetapkan negara untuk belanja barang dan modal juga masih terbatas. Sejumlah proyek dibiayai dari pinjaman luar negeri. Begitu adanya. Pejabat bersekutu dogma meracuni cara tindak rakyat, beradu dengan peran mereka – dalam hal ini penyelenggara kuasa – dalam mengurusi regulasi. Pembiaran sementara berlangsung, dan dianggap biasa.
Harap pada penjelasan pemerintah, seluruh rakyat akan beroleh gambaran utuh, ‘dan dipaksa-sebut sebagai tindak-tanduk obyektif’ tentang masalah-masalah mendasar yang dihadapi republik ini. Umbar penjelasan, katanya juga disertai fakta, data, agar rakyat lebih memahami ragam kompleksitas permasalahan yang dihadapi negeri ini. Ada penjelasan upaya apa saja dikerjakan untuk atasi perkara terkini. Dengan demikian, diharapkan rakyat dapat mendudukkan masalah secara proporsional, dan semua orang di negeri ini dapat terbebas dari berbagai kabar berita sesat tak akurat.
Berapa banyak orang yang paham penjelasan segala soal kebijakan? Pengumuman, atau sosialisasi penyelenggara kuasa ditafsir peran menyimpang. Lalu, berapa banyak orang yang terus mengalir di arus hidup berkalang ambigu: keraguan jawaban soal-soal, isi jawaban peran dari soal-soal itu juga masih menumpuk perkara yang tak pernah tuntas, tak kelar dijawab, atau bahkan menyimpang dari sasaran.
Sengaja Dimiskinkan
Selalu disampaikan regulator, pemegang kuasa, dikuatteriakkan pembantu-pembantu penyelenggara kuasa itu, bahwa permasalahan mendasar yang dihadapi negara dan menjadi tugas besar kita ke depan adalah memerangi kemiskinan dan pengangguran: “Permasalahan kemiskinan dan pengangguran bukanlah permasalahan statistik atau angka, melainkan persoalan nyata mengenai sulitnya kondisi kehidupan rakyat kita.” Pertanyaannya, mengapa tetap miskin dan nganggur? Salah siapa? Bagaimana dengan soal ‘kesempatan’? seperti apa jawaban dari pertanyaan soal-soal rakyat, entah siapa orangnya, ‘yang sengaja dimiskinkan’ secara terstruktur? Miskin harta, miskin pandangan, miskin literasi, miskin solusi.
Luka psikososial dibalut ketulian penyelenggara negara. Tembok-tembok merancang pembangunan beton, aspal, tiang-tiang logam menancap dalam di program yang enggan dikritisi dipantau diukur manfaatnya oleh rakyat pasrah. Berbukti, laporan memang tidak jitu. Bersoal, laporan menyobek fakta-fakta dengan ‘celah hukum’. Loopholes, aturan yang isinya masih belum sepenuhnya dapat mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya tindakan untuk menghindari maksud dari ketentuan tersebut tanpa melanggar materi ketentuannya. Isu ini berhari-hari dibahas seminar: Tentang rakyat tergusur dan jadi bencana. Tentang regulasi memiskinkan, tentang rawan virus yang setengah hati dijawab dihalau. Seolah luka petaka memang sudah resiko yang harus ditempu sepanjang hayat.
Mari meninjau definisi soal-soal yang ditera bernuansa luka psikologis itu: Myers, 2012, menjelaskan, psikososial berarti pengaruh faktor sosial terhadap pikiran ataupun tingkah laku individu, kaitan antara pikiran dengan rakyat pada perkembangan manusia. Definisi ini menekankan pada pengaruh faktor sosial terhadap pikiran dan tingkah laku, demikian juga sebaliknya, pengaruh pikiran dan tingkah laku dalam dunia sosial.
Peran rakyat, apa? Menyembuhkan diri sendiri. Peran penyelenggara kuasa, jelas ada, memperkaya diri, memberi contoh penyelewengan yang mereka sendiri atur dalam regulasi. Uang maha raja, maha berkuasa. Rakyat, sehari-hari makan dogma.
Laste
Berapa banyak yang kau buat hari ini untuk mengabarkan bahwa kau ada, dan kau boleh mengaku bahwa peranmu tak sekedar bijaksana-bijaksini. Bukti sudah rampung di tulisanmu terbingkai kata yang itu-itu saja. Fakta sudah berbicara terhadap ketololanmu membentuk kebenaran yang seolah-olah oleh berapa banyak yang masuk ke dompetmu sebagai persembahan syukur sebab pembodohan berkepanjangan ada di jari-jarimu yang lincah dan ‘manis’ gesit mengetik sosialisasi.
Luka muncrat anggaran. Mabuk dogma, dan pembiaran. Kita berbalik di tataran fakta yang tak lagi faktual: obrolan di layar kaca mengutuk pengacau-pengacau negeri, suara mengincar mangsa, letup mesin perang, bunuh diri, kegilaan, saksi-saksi ingkar, loby, tim ekonomi yang lebih memaksakan teori palsu masa depan.
Siapa mampu menyingkap tabir misteri hari ini, jika tertawa kita adalah tangis mereka, dan dukacita hanya semboyan yang masih diulang-ulang oleh mereka yang berjejal memenuhi jalan, menghentar kotak sumbangan bagi korupsi berdasi berjubah misteri dan sakit pikiran. Fakta dan bukti ini harus dilawan sebagai aksi yang menghendak benar dikata benar, salah dikata salah.
Argumen menderas dari resesi global, virus, penyimpangan, sekaligus ucapan suka cita. Kegilaan peran, kurang pertimbangan, rusuh dan saling menyalahkan.
Anak panah berseliweran dari busur kebimbangan, membunuh rasa, mematikan kreativitas banyak peserta sistem kaku yang murtad dan terus bergumul pada propaganda kebenaran tunggal. Sebaris kenangan mengingat mati kreativitas. Di negeri kita ada kurungan manusia, perkara kemanusiaan, terkorupsi, ceritanya sudah terbayar.
Di medan inilah sekarang kita berperang. Lakon mendramatisir panggung. Siapa-siapa tertangkap, itulah yang dieksplorasi media dalam membibirkan kegalauan hari kemarin. Kabar berita berulang, tanpa malu mencontek moral terjual dengan murah di pasar-pasar berselubung kata demi keamanan dan demi ketertiban. Darah mereka yang terluka dan terbantai, tangis mereka ditinggal duka, dari sana kabar merupakan peduli dan air mata.
Jawaban dari ‘peran luka’ itu singkat padat jelas. Baliho poster calon-colon dan penyelenggara yang lebih ramai lebih lebar di segala pesta suka duka.
Di ruang lain, ada senyum kabar karena menurut perhitungan dari sisi fiskal, pemerintah dan wakil rakyat telah melakukan pemangkasan belanja dan memperbesar defisit anggaran. Dikata besaran defisit seberapa besar pendapatan domestik bruto yang melebar dari sekian persen diketok terlebih dulu sebelum pembahasan belanja usai.
Kisah yang terus menjadi ulangan di saat krisis datang menggilas dan segala sesuatu boleh dinaikkan semau hati. Di mana kepedulian para elite? Gaji mereka boleh naik seiring kenaikan harga, namun, rakyat miskin hanya boleh mendengus resah. Pasrah saja. Tunggu jawaban dari langit.
Gejalah yang menurut Bellot-Arcis, 2013, ‘setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik’. Ulangi: Peran kita apa dalam soal-soal kebijakan? Dengar, dan melongoh. Tunggu jawab yang dianggap solusi dari penyelenggara kuasa. Sesuatu yang tak biasa dari kebiasaan pembahasan anggaran tahun-tahun silam, kendati pemerintah beralasan ingin mempertahankan besaran defisit. Padahal, defisit yang melebar juga identik dengan perluasan pembiayaan.
Pernahkah ini menjadi perhatian kita di sini? Mungkinkah kita meramu kabar tentang rakyat yang sudah semestinya dibuka akses informasinya supaya mereka punya pegangan apa yang harus dibuat menjelang hari-hari yang kian berisi tantangan? Cuma diri sendiri yang dipikir, karena kecintaan pada materi itu sudah di ujung hati yang terjangkit penyakit iri.
Luka, tidak menempel sendiri di atas banyak alasan kemalasan, dan jadi benar sendiri di euphoria mapanisme. Maka, mari kita sembuhkan diri. (*)