15 Agustus 2022
Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Parangsula
Gambar: Main kelereng dan pembasmi.
LET, letusan itu menggema, jauh, jauh sekali…
Malam sementara beranjak, anak-anak mengenang main kelereng sore tadi. Kaba, kadu, kati, bola kaca hampir sebesar mata kucing itu dilempar dari belakang garis mula ke arah kotak taruhan yang digelar di halaman lapang, bidak kelereng siapa paling dekat kotak taruhan, dia main duluan. Ibu jari ketemu jari tengah untuk bidik sasaran, dijentik, kelereng melesat menyasar membentur membunuh kelereng lawan mainnya.
Di halaman sebelah, lubang kecil digali sedalam jangkauan jari. Ulang lagi: kaba, kadu, kati, seperti aba-aba siapa menembak belakangan untuk beroleh tempat paling awal memainkan bola kaca itu. Anak-anak berdesak di garis mula, ada yang nonton sebab miskin kelereng. Lalu bola-bola kaca itu beradu, benturan keras membuat permukaan kelereng rusak, retak, pecah. Pemenang beroleh banyak kelereng, yang pecah, dianggap rusak dibuang.
Let, letusan itu menggema, jauh, jauh sekali…
Bung Buang duduk di warung captikus. Malam seperempat bagiannya ditelan kelam. Sersan masuk warung entah apa dibicarakan, lalu cekcok terjadi. Dua sosok keluar warung berhadapan, letusan menggema. Orang-orang berhamburan, orang-orang mengerumuni, “Buang ditembak, Buang ditembak, Buang ditembak,” seru mereka.
Anak-anak meringis menggigil mengenang takut. Menangis tiada guna. Perempuan mengikat kain duka di kepalanya, hitam, gelaplah kenangan.
Orang-orang terpukau berkeringat dingin. Kampung sepi diisi desas-desus, “Tengkoraknya retak, luka di pelipis, menembus bagian belakang kepala dengan luka lebar,” urai para saksi.
Wanua, tahun depalan puluhan. Anak-anak bermain kelereng, bermain karet gelang, bermain gambar potong bandar-bandar. Mereka bercerita dendam, perang. Mereka tertawa, airmatanya tertahan, tertanam di masa silam.
Let, letusan itu menggema, jauh, jauh sekali…
Sersan itu pernah kembali, dia telah naik pangkat. Kelereng pecah dibuang. (*)