05 Mei 2022
Kampanye seperti gelombang, berulang-ulang. Gunung, hutan, kebun, sawah, sungai, danau, lautan, katanya milik sang pencipta, dan milik semua orang. Suara-suara milik yang berkuasa membelinya, hak-hak tidur nyanyak sebab alun arus pembangunan – pada tataran implementasi – adalah madat, siap dihisap. Lalu judul jadul hilang, tenggelam oleh waktu dan ruang…
Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Nelayan di sekitar Alila mengulang cerita silam tentang leluhur mereka datang dari negeri seberang.
HEI, ‘wisa wanua-nu’, tanya santai sambil senyum nan biasa di kampung bila bertemu seseorang. Di negeri seberang pertanyaan yang sama dilantunkan kenalan baru, “Dari mana? Namamu siapa? Salam hormat mereka dengan raut berseri.” Mempertegas identitas, posisi, air, tanah, dogma dan teori yang menyertainya.
Dari sekian perjumpaan kita dapat menemu ‘persinggungan panjang’ kampanye kemakmuran laten dalam benak jelata. Saya pada posisi itu juga, rakyat. Judul kaya ada dalam mindset, direkam sistem, ditularkan dalam pelajaran di semua tingkatan pendidikan pembelajaran negeri ini.
Katanya, darat, laut, udara kita kaya, mengapa energi penerang ruang sering padam dan lumpuh? Mengapa anak-anak nelayan tidak sekolah? Mengapa miskin? Pentingkah pertanyaan itu? Tentu! Energi dari laut seakan percuma bila ditanya lebih jauh. Hanya gelombang tanpa judul.
Fakta beban berlipat berkali-kali lipat itu adalah suara yang tak dapat disuarakan – voice of voiceless – rentan. Gelombang menghantam, debur pembangunan, rapat-rapat, sosialisasi, markup, korup, khayal budget lima-tahunan, pelicin, dan sebagainya: Perkara itu yang terus diperkuat landasannya dalam ‘sistem keras tengkuk’ dan – mungkin – obat penawarnya akan punah. Zaman instan, semua hanyut di arus bebas. Padahal, rakyat instan itu memang riskan mempersoalkan hak-haknya sebab memang mereka dikondisikan sepeti itu.
Tahun lalu membaca rencana strategis bidang kelautan: ada rencana revitalisasi tambak di kawasan sentra produksi udang dan bandeng, kemudian integrasi pelabuhan perikanan dan fish market bertaraf internasional, penguatan jaminan usaha serta 350 korporasi petani dan nelayan, meningkatkan produksi perikanan budidaya ikan menjadi 10,32 juta ton, dan pertumbuhan ekspor udang 8% per tahun, meningkatkan produksi perikanan tangkap menjadi 10,10 juta ton, dan nilai ekspor hasil perikanan menjadi USD 8 miliar pada 2024 mendatang, dan meningkatkan pendapatan petani dan nelayan rata-rata 5% dan 10% per tahun – sebagaimana target SDGs – serta meningkatkan produktivitas komoditas 5% per tahun.
Lebih sepuluh tahun silam menulis sajak ‘rimba tanya’, entah di mana ‘hutannya’ – menikmat alir arus badai. Pulau asing dengan rumah jaga berlampu, telah padam dari kemarin. Deru gelombang dianggap salah dan subversive. Anda mungkin ingat, lalu kita sama-sama menceritakannya kembali. Saya hanya dapat mengungkapnya sebagai kenang menyibak latar sekarang dari hempas sajak. Ini dia:
No Title 2011
Langit gemerlap
Awan menari
Belantara gulita senyapRimbaku,
Gerimis mengiris
Belukar
Kembang liar
Tebing
Laut
Semenanjung dan telukKusapa kelam nan lebam
Bagaimana kabar laut hari ini? Ceritanya masih sama, gelombang menghantam tebing, hanyutkan lumpur pasir asin dan sisa-sisa. Political legitimacy terbit seperti sajak gelombang, tumpah ruah di pasir pantai di tebing, di lumpur perkara membaur kabur denting kabar.
Katanya kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal untuk tahun tahun ini telah dirancang. Begitu kabar berita tahun silam. Tema: Pemulihan Ekonomi dan Reformasi. Anda dapat menyocokkan dengan apa yang diharap sistem, yaitu, mampu mendorong reformasi struktural sehingga dapat mengembalikan pertumbuhan ekonomi pascapandemi. Fakta, beban silam sementara menindih sistem. Sejarah, pembiaran, penelantaran.
Bertanya pada anak-anak sekolah lanjutan, dengan bangga mereka bilang, “Blue economy.” Peningkatan sumberdaya manusia di bidang kelautan, peningkatan kerjasama internasional di bidang kelautan, penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah darat, pesisir, dan laut secara terpadu. Sayangnya, anak-anak nelayan, entah mereka paham soal itu.
Kampanye janji makmur dan adil datang, berulang-ulang, jelata berharap, dan pasrah. Nurdin, nelayan di sekitar Alila, leluhurnya perantau dari negeri seberang, datang di Alila, dan menetap. Dia bilang, “Calon-calon pemimpin dan calon-calon wakil rakyat itu bilang mau membangun, membantu kami. Namun, sampai sekarang begitu-begitu saja,” urai dia perlahan dengan tatapan kosong.
Saya bersua Nurdin di Batu Putih, 16 Juli 2020, manakala berkeliling sejumlah kampung di Nusa Tenggara: di Aimoli, Alaang, Alila, Ampera, Bampalola, Dulolong, Dulolong Barat, Hulnani, Lefokisu, Lewalu, O A Mate, Otvai, dan pantai-pantai sekitar Pulau Buaya. Nurdin adalah nelayan, dia trampil membuat perahu, bubu, dan alat tangkap tradisional.
Sejak pagi kami duduk di tepi laut memandang gelombang, menggulung tembakau dan bertukar cerita, hingga matahari bertengger di atas kepala.
Kita boleh mengganti judul kampanye kapan saja, dapat menafsir dan menganalisa gerak pembangunan bagi rakyat itu seperti apa sebenarnya. Kampanye memang seperti itu, lahir dan hadir lebih banyak karena ada kepentingan.
Ada tujuan yang hendak dicapai dalam review rencana strategis pembangunan kelautan negara kita, yakni, optimalnya pengelolaan ruang laut, pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, budidaya, yang terintegrasi dan berkelanjutan, meningkatnya daya saing, pengendalian mutu hasil kemeterian perikanan, keamanan hayati ikan dan meningkatnya pengawasan pengelolaan sumberdaya, optimalnya pengelolaan kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan, berikutnya soal tata kelola.
Dengan Nurdin di Alila, saya tidak bicara tentang review rencana strategis pembangunan kelautan negara. Saya bertanya cara membuat perahu. Nurdin bercerita bagaimana membuat alat tangkap dan harga ikan satu tali yang isinya sekitar lima hingga sepuluh ekor ikan. “Di kampung saya, Nurdin itu nama jenis beras,” kata saya sambil bergurau. Nurdin terkekeh, entah malu, entah bangga.
Bagi nelayan kecil di kampung, bacaan ‘boleh jadi’ tidak penting, sebab sekolah tiap kelas untung-untungan isinya satu dua murid. Anak-anak belajar dari alam. Membaca pokok-pokok yang sudah digariskan sistem, yang ‘katanya’ untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh pelaku usaha, rasanya percuma. Membibirkan teori kelestarian lingkungan dan sumberdaya kelautan, untuk apa? Dogma ‘menjadikan laut sebagai pemersatu – tegaknya kedaulatan bangsa – mencipta ekonomi tinggi secara berkelanjutan,’ apakah perlu dalam judul terkait rakyat? Sementara, ‘wilayah rakyat’ terus disorong ke arus gelombang modal dengan segala judul kampanye.
Mungkin pengalaman Nurdin dan kawan-kawan nelayan di Alilia berbeda dengan nelayan di tempat lain soal wakil-wakil. Saya punya kawan yang – sedari kami berkenalan, kemudian mencalonkan diri – hingga duduk sebagai anggota perwakilan rakyat – masih terus berbagi dengan rakyat. Terus begitu, konsisten hingga saat ini, namanya Rio, tinggal di wanua di Minahasa.
Kemakmuran sudah tercapai? Sementara berproses. Mungkin itu jawabannya. Saya, merasa makmur berkeliling tebing jurang lurah. Kemelaratan seperti luruh oleh decak ombak dan badai.
Dalam tualang melintas pulau, saya mencatat resume di tepi barat laut: Ada tiga nelayan, duduk di tepi, menanti tumpangan. Mereka membawa galon air, ubi dalam karung, tas anyaman, dayung, sirih, pinang, tembakau. Hari siang, terang-benderang. Kami membincang La P’tite. Laut tiada judul, langit gemerlap.
Sehari sebelum ke Alila, saya mengambil gambar di Tanjung Tilewewutung. Lokasi itu berada sekitar 25 kilometer dari pusat pemerintahan kabupatennya. Semakin jauh mengitar tepi samudera, seperti itu pula jejak-jejak suara kampenye laksana dihapus tamparan ombak. Jalan bergelombang, lubang sambung menyambung.
Diam, diamlah gelombang. Diam damai. (*)