Monday, December 30

Laut Mabuk Sampah


31 Maret 2022


Manakala WHO menetapkan C19 sebagai pandemi dua tahun silam itu, ada begitu banyak ‘keraguan’, utamanya terkait aktivitas masyarakat mencari sesuap rezeki sebab ketika itu pemerintah menerapkan lockdown di ibukota negara dan di sejumlah lokasi di dunia. Penggunaan masker massif, demikian juga sampah masker terserak di mana-mana, di jalan, mengalir di selokan, di sungai, di hutan, di pantai, dan seterusnya…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Jejak sampah di Kampongpasar.


LAUT selalu misteri, kecipak asinnya ratusan zaman masih sama menampar hamparan butir hitam, semak, rawa, bakau, dan tepian di Kampongpasar. Nun jauh di selatan: Bonelowe, Baruja, Benteng, Padang, Balindongan, Barangbarang, Pekangkang, Boneogeh, Reok, Kampoeng Mborong, Watoenbong, Waingapu, gugus pulau antara Flores dengan Banda, samudera mahaluas. Bila lanjut ke selatan bersua Ardyloon, Dampier Peninsula, Broome, Eighty Mile Beach.

Tualang seakan sulit dan terhalang, apalagi untuk terbang keluar daerah, walau ternyata masih ada kelonggaran melintas udara, samudera, darat, asalkan patuh aturan. Begitu posisinya manakala C-19 dideklarasikan.

Nelayan masih melaut, meski anjuran ‘tinggal dalam rumah’ (bukan tinggal dalam bahtera) sudah dikumandangkan. Bagaimana mungkin ‘di rumah saja’, ikan-ikan dan kebutuhan kita tidak loncat begitu saja ke dalam rumah melewati protokol yang membuat ‘soal makan kita dihubungkan dengan isu laut dan ekonomi rakyat’ seakan terdesak di sudut terpojok? Masyarakat ribuan pulau memenuhi konsumsinya dengan menu dari laut, seafood, itulah mengapa laut menjadi strategis diomongkan kapan saja. Zaman C19 kita disarankan sehat dan makan sehat, protein dari laut selasatu pilihannya, sebab tangkapan dari laut, dalam hal ini ikan mengandung imunostimulan, senyawa yang menstimulus sistem imun dalam tubuh.

Kawan murka karena aturan, “Beta duduk di pojok sendiri, tetiba security hotel datang mendekat, kemudian memerintah saya pakai masker,” beber Lomboan. “Logika masker ini kadang bikin kita naik darah,” sambung lelaki yang pernah dikurung di penjara Mola kepulauan Alor sebab diduga menista agama, 30 Juli 2018.

Punya kegemaran isu laut dan kemanusiaan, itu Lomboan. Saya mengenal dia sejak November 2019, bersua di M Regency Hotel, Jl. Daeng Tompo Nomor 08, Maloku, Makassar, saat dia baru bebas dari tahanan. Maka dari perkenalan itu kami berdiskusi banyak hal. Ketika pandemi baru mulai, berdua kami bertualang, menyusur kota, kampung, dermaga, rimba, pesisir, berdua mengumpul data dan mewawancarai orang-orang, termasuk obrolan tentang masker dan ‘jaga jarak’.

Masih ingat manakala WHO menetapkan C19 sebagai pandemi dua tahun silam itu, ada begitu banyak ‘keraguan’, utamanya terkait aktivitas masyarakat sebab ketika itu pemerintah menerapkan lockdown di ibukota negara dan di sejumlah kota. Antrean padat mencari kebutuhan untuk ‘bertahan di rumah saja’, justeru masih tidak terkontrol. Sebab barisan itu ‘tidak patuh protokol’. Orang-orang kebanyakan lebih takut stok habis, ketimbang ngeri terjangkit virus.

Apa mau dikata, situasi kedaruratan kesehatan masyarakat sudah ditetapkan untuk mengindikasi kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah, atau lintas negara.

Lebih tujuh bulan pascaC-19 dideklarasikan sebagai pandemi oleh WHO, 09 Maret 2020, sebagaimana diinformasikan infeksiemerging.kemkes.go.id, bahwa, total kasus konfirmasi C19 global per 18 Oktober 2020 adalah 39.606.786 kasus dengan 1.107.442 kematian (CFR 2,8%) di 216 Negara Terjangkit dan 179 Negara Transmisi lokal. “Daftar negara terjangkit C19 dapat bertambah setiap harinya mengikuti perkembangan data dan informasi yang didapatkan di Situation Report WHO. Sejak deklarasi, isu massif disebar media ke segala pelosok.” Begitu penyampaian di media informasi resmi terkini penyakit infeksi emerging.

Lalu bagaimana dengan limbah sampah karena protokol, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, dst, apakah informasinya diketahui masyarakat? Saya membaca sejumlah informasi, berbicara dengan banyak orang tentang sampah, memulai obrolan dari hal-hal sederhana yang kurang diminati khalayak. Mungkin juga, artikel ini nanti akan dianggap sampah. No problem.

Sejauh ini media – pemerintah dan berbagai pihak sudah me-warning perilaku publik di mana-mana, sampah masker tetap terlihat, dan nyata. “Masker sekali pakai membutuhkan waktu hingga 450 tahun untuk terurai. Limbah masker yang masih utuh di lingkungan karena tidak ditangani dengan baik dapat terbawa ke sungai dan laut serta menyebabkan pencemaran air,” tulis Monavia Ayu Rizaty dalam tajuk ‘Dampak Lingkungan Covid-19: Sampah Masker Sekali Pakai Meningkat, Butuh 450 Tahun untuk Terurai,’ di katadata. Dalam artikel itu Monavia Ayu Rizaty mengurai data ‘Woods Hole Oceanographic Institution’ terkait lama sampah terurai berdasarkan jenisnya: masker sekali pakai, popok, botol plastik, botol aluminium, baterai, gelas styrofoam, kantong plastik, dan puntung rokok.

Disebutkan Nur Tri Aries Suestiningtyas, Sekretaris Utama LIPI, yang mana timbulan limbah medis termasuk masker dan Alat Pelindung Diri (APD) di Indonesia tercatat telah mencapai 1.662 ,75 ton pada rentang bulan Maret sampai September 2020. Di situs LIPI, Nur Tri Aries Suestiningtyas menegaskan hal itu agar menjadi perhatian kita bersama baik peneliti, penggiat dan juga sektor lingkungan hidup atas dampak buruk yang ditimbulkan oleh limbah medis terhadap lingkungan.

Dari situs yang sama – lipi.co.idAgus Haryono, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI,  menyebut bahwa limbah medis terutama masker yang mengandung plastik membutuhkan waktu hingga ratusan tahun untuk bisa terurai sehingga berpotensi menjadi masalah bagi lingkungan, karena plastik sulit terurai. “Strategi sinergi multi pihak untuk mengatasi limbah masker dapat dilakukan dengan pengamatan, diskusi, serta kolaborasi.”

Pengamatan terhadap kondisi di sekitar lingkungan, menurut Agus Haryono, perlu dilakukan untuk menentukan langkah penanganan limbah APD. Limbah medis disumbang pembuangan limbah APD oleh beberapa pihak secara sembarangan.

Menjaring sampah di selokan Jl. Domba

JALANAN kota sudah sepi pukul 20.00PM. “Ada pengetatan, di sini biasa ramai sekarang jadi seperti kota mati,” tutur Christ di kelok jalan Ranggong, usai dia dan saya berbelanja sejumlah kebutuhan di Baji Pamai. Malam itu, kami berbelanja untuk kebutuhan perjalanan ke luar kota, termasuk membeli masker dan kantong sampah. Christ, Branch Manager ABC berkedudukan di Makassar. Dia patuh soal protokol, terlebih soal penggunaan masker.

Tualang berdimensi gunung, lereng, dataran rendah, pesisir, dan laut lepas pada koordinat antara 5°20” sampai 5°40” Lintang Selatan dan 119°50” sampai 120°28” Bujur Timur. Di sana koffie sajak, menunggu raja siang diterkam Laut Flores.

Dari awal tahun hingga Oktober 2020 itu saya berkunjung ke banyak tempat, selasatu di Kampongpasar. Di sana, rata-rata orang memaknai terminologi ‘C19’ itu sebagai larangan kumpul bersosialisasi yang dikibarkan kampanye dengan taglinephysical distancing’. Sepanjang pesisir saya menanyai orang-orang: penjaga warung, tukang bangunan, tukang perahu, pengantar tamu, nelayan, pemancing ikan, pengumpul kerang, dlsb.

Penduduk nan bingung menatap pelancong menutup separuh wajah hingga pangkal tenggorokan. Namun, di antara mereka ada juga yang bermasker, kebanyakan menutup dagu saja, atau digantung di leher depan dada dengan berbagai tali berbentuk kalung. Nyaris persis perlakuan orang-orang di berbagai tempat, demikian pelancong dan pendatang yang ‘agak nakal’, masker hanya menutup dagu atau menggantung di depan dadanya. Walau memang banyak orang juga patuh bermasker. Namun, sampah masker sudah ada di mana-mana: di tanah, di hutan-hutan, di pesisir, di pasir, di air asin, di sungai, di sepanjang sempadan, bahkan di badan saya.

Saya foto, seraya mengingat kampanye ‘bersinergi mempercepat hilirisasi inovasi teknologi tangani sampah dan limbah’, dan mencatat situasi terkini saat itu: bahwa, sudah jauh bergeser, beribu zaman bumi dirusak. Manusia berdebat untuk cari ‘kambing hitam’ saja, saling tuduh, namun gagal memperbaiki alam. Foto-foto dalam artikel ini, sebagian saya petik di Kampongpasar, dua tahun silam.

Tidak menghitung berapa jumlah sampah dan masker yang sudah jadi sampah di Kampongpasar. Saya hanya foto sampah ada di mana-mana, dalam sejumlah kesempatan saya juga mengumpul dan memilah sampah, menyapu di sekitar rumah dan jalan agar lingkungan sekitar di mana saya tinggal bisa bersih. Pada petakan sampah di Kawasan Strategis Nasional – Maros, Sungguminasa, Makassar, dan Takalar – menurut data Walhi Sulawesi Selatan, ada 0,817 ton sampah per tahun, dihitung dari 2.882.340 penduduk, dengan asumsi tiap penduduk memproduksi sampah 0,51 kg per hari.

Catatan lainnya: ‘Saya dapat berita dari kawan-kawan di banyak negara: pusat-pusat keramaian sunyi sebab COVID-19: Dalam diam, bumi membebat luka-lukanya. Belantara menyambut musim. Spesies jadi misteri, siklus dibantai peradaban. Salju meleleh melemah albedo-nya terpantau dari Scott Island. Lumba-lumba — yang ratusan tahun tidak pernah muncul — kini mulai bermain di sekitar laut Venesia. Udara kembali sejuk. Langit biru berawan. Burung-burung yang dulu hilang, kini beterbangan di atas cakrawala kota.’

Ketika itu, lebih lima bulan sejak C19 ditetapkan sebagai pandemi, dan alam memaksa manusia kembali ke rumah masing-masing, merenung: sang agung itu omnipresent. Ternyata tidak seperti yang diklaim segelintir kaum, bahwa tuhan hanya ada dalam gedung. Hanya renung sambil mengancung tangan, memetik sejumlah gambar.

KEMBALI ke kota. Di sini juga sampah masih jadi soal, termasuk masker sekali pakai itu. Padahal sudah ada Peraturan Walikota Makassar Nomor 70 Tahun 2019 tentang Pengendalian Penggunaan Kantong Plastik, dan seterusnya. Sampah plastik masih jadi soal.

Sebulan menjelang akhir 2020, Yayasan Konservasi laut dan bersama Yayasan EcoNusa serta komunitas, lembaga, dan organisasi kampus-kampus di kota Makassar, menampilkan ‘monster plastik’ berbentuk virus C19 di anjungan vis a vis pantai.

Sama-sama kita menghitung sampah, mengalkulasi berapa banyak bekas masker yang tercecer di sekitar kita. Himbauan terus mengalir. Lalu, masker-masker dibagikan. “Biar aman,” katanya. Kami berdiskusi kapan saja, kemarin, 30 Maret 2022, Lomboan menghubungi saya by phone, masih kritis menyorot regulasi.

 Masker JKS

Dua tahun silam, saya diberi selembar masker oleh Johan Sebastian, kawan di Jakarta, di masker itu terbordir nama perkumpulan kami yang paling masyur di seluruh dunia, ‘Jemaat Kopi Smirnoff’. Masker itu masih saya simpan, sebagai kenangan. Berkawan, saling berbagi itu kekal. (*)