Tuesday, November 19

Kopi dan Dongeng Ular


16 Januari 2022


Orang-orang di Wanua menyebut ular sebagai loloi, orang-orang Aborigin mengenal ular hitam dengan sebutan ooyu-bu-lui. Orang-orang Aborigin berkeyakinan ular hitam sangat berbisa. Orang-orang di Wanua mengeja ular hitam sebagai Setang atau Setan.

Orang-orang di Wanua, minum kopi, berdiskusi, menepis ketakutan pada ular.


Oleh: Daniel Kaligis
Editor: Parangsula


Gambar: Minum Kopi di sabua – di Kimuwu.
Foto: Dera Liar Alam


DIKIRA, ular makan tanah, makan abu.

Mel memeriksa tanah gembur, tangannya memburu avertebrata merah ungu menyusup ke dalam liang seukuran tubuhnya. Hewan itu, walau badannya sudah kena pacul dan putus, tubuh tak berdarah.

Oleng, papanya Mel, mengayun cangkul beberapa depa di depan Mel.

Tangan Mel cekatan, bongkah tanah berikut dibongkarnya, terus mencari, jari telunjuk dan jempolnya menjepit ekor avertebrata, ditahan lalu ditarik, seksama. Mel menjepit ekor dengan tangan kiri, membongkar gundukan dengan lengan lainnya. Hewan itu menarik badannya ke dalam liang lebih sempit, ekornya putus dalam genggam Mel. Aroma tanah basah anyir menerobos hidung, dihirup. Gundukan terus dibongkar, Mel memainkan jemari, membongkar-bongkar gundukan, menemu  beberapa ekor jenis itu, utuh. “Dapa ngana, dapa ngana, dapa lagi, aaaa,” dia bersorak, raut gembira tanpa senyum. Bocah perempuan delapan tahun itu menaruh temuannya dalam tempurung-kelapa, lalu beringsut mendekati sabua, pondok di kebun terbuat dari bambu beratap alang-alang.

Di sana, alang-alang disebut orang kampung sebagai kusu-kusu.

Penghuni sabua, Oleng, Tina, Mel, dan bungsu Oping. Dekat hunian mereka ada berapa sabua. Sebelah timur dihuni Keke dan anaknya Kristina yang juga dipanggil Keke, tersiar kabar mereka tidak takut ular.

Penggarap kebun di sana selalu waspada pada ular. Bila malam, ada nyala api di tungku. Obor dibuat dari bambu diisi minyak tanah kadang menyala manakala ada orang mau mengambil air, atau ada keperluan lain. Selebihnya tanpa penerangan hingga pagi.

Hutan Samberong jadi saksi, tahun 1985. Tumbuhan cabe hijau merah-menyala kuning, subur meninggi dekat pokok pisang. Rumpun bambu berdamping sirsak, alpukat. Robusta, manggustang, popo’opo ada dekat batas-batas lahan yang disebut sebagai susupuan. Cengkih zanzibar sementara uji-coba di pegunungan sekitar kampung. Hutan-hutan adat banyak yang diratakan jadi kebun.

Jauh di selatan, hamparan padi berbatas petak-petak dan hutan rumbia. Di sana Te’ep, Rano Oki, Na’akir, Seseperan. Arus deras sungai kecil tuju mata-air Kulo, perkampungan Parepei, Pulutan, berbatas ufuk Weren ni Pepengkouw. Gunung Weren ni Pepengkouw ini oleh orang-orang disebut Mata Tumbak.

Kemarau belum mulai, masih menunggu lebih kurang dua kali bulan mati. Lonceng Immanuel berdentang dua kali untuk peringatan Duminggu. Hari meninggi dua hitungan dari pegunungan Lembean, cahayanya memantul di telaga ribuan tahun. Oleng bergegas di pancuran, melangkah cepat keluar dari sabua. Ngana kalu ba pontar jangan talalu jaoh ka Welong, jangan sampe mo bakudapa Setang.” Demikian lelaki empat puluhan itu memperingatkan Mel supaya tidak bermain di area Welong. Lakasi Welong diduga bersemayam ular hitam penjaga, juga ular pendek yang bila menggigit — ular itu harus dihalau supaya tidak duluan tiba di sumber air-panas alamiah di situ. Ular dipercaya sebagai Setan, disebut sebagai Setang.

Dentang lonceng berulang.

Hening dalam ruang, tembang, lalu doa. Lonceng berdentang lagi, gaung keras satu-satu. Oleng ada di sana. Orang-orang berdatangan. Tua-tua membaca kitab. “Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular berkata kepada perempuan itu: Tentulah Allah berfirman bahwa semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?” Kejadian pasal tiga. Pundi-pundi dijalankan, menjangkau sudut-sudut sidang. Lalu isi pundi dikalkulasi di ruang belakang. Orang-orang pulang, menyeduh kopi, berbincang hingga petang.

Siang jelang sore di sabua. Keke dan Keke duduk di para-para bambu, saling cari kutu. Ketika ketemu kutu, kuku-kuku jempol Keke beradu menjepit sang kutu. Tetiba ular hitam melintas halaman sabua. Keke menjerit, “Ambe peda, ambe peda, ambe peda capat,” Keke memerintah Keke supaya mengambil golok yang terselip di dinding sabua.

Ular hitam berhenti, kepala diangkat siap mematuk, menjulur-julur lidah bercabangnya. Keke dan Keke mengepung. Si ular diburu, mendesis-desis cari celah untuk lari menghindar pukulan batang kayu dan golok yang diayunkan dua Keke.

Batas halaman dijaga Keke, kakinya terentang memasang kuda-kuda. Sementara Keke, sang anak, masih mengejar ular yang lincah menghindari tiap pukulan. Kepala kadang diangkat menjulur maju mundur, sangat cepat. Keke memburu, ular menghindar dari sabua menerobos di bawah rok Keke. Keke menjerit-jerit. “Huuuu, setang, setaaaang, setang lei kwa.” Terengah-engah Keke. Ular sudah menerobos semak. Hilang di kusu-kusu.

Kedatangan ular hitam di sabua Keke seperti lama semusim tanam jagung. Padahal peristiwa itu tidak sampai lima menit.

Keke dan Keke saling tatap. Sang anak, Keke kecil, berkeringat tubuhnya. Marah masih tersisa di rautnya. Keke, sang ibu, juga masih tampak marah pada ular, senyum kaku dan pucat.

Masuk ruang dalam sabua, Keke dan Keke menenggak kopi, meredahkan detak jantung. Berdua mereka mengingat kejadian Boy dipatuk ular hitam waktu kerja bhakti massal di Wanua. Waktu itu, orang-orang kampung diperintahkan Kepala Jaga untuk bersihkan jalan dan selokan. Semua tenaga produktif di Wanua dikerahkan. Perempuan-perempuan membantu menyiapkan penganan, kopi dan sopi. Menjelang hari siang, orang-orang sementara ramai kerja, terhenti. Boy mengerang, bagian atas tumitnya digigit ular.

Saling pandang bercerita. “Dia pe kaki yang bekas ular dapa gigi, jadi itang.” Begitu Keke berdua anaknya mengobrolkan peristiwa Boy dipagut ular hitam. Kakinya Boy membengkak dan menghitam karena racun bisa ular hitam. Namun, Boy dapat ditolong. Beberapa sayatan dekat bekas pagutan gigi ular di kaki Boy, lalu diberi ramuan dan minyak yang biasa dipakai tua-tua. Boy sembuh.

Manakala Boy dipagut, ular diburu. Namun orang-orang hanya menemu kulit ular yang sudah mengering di bawah jembatan kayu. “Torang dapa, torang cincang. Sedangkan Setang torang makang.” Padahal, turun-temurun ular hitam tidak dimakan. Menurut tetua kampung, ular hitam, dagingnya juga hitam dan beracun.

Dekat sabua, ada pohon turi. Ular hijau sering mangkal di situ, berjemur, berpindah ke robusta, turun ke semak, lalu menghilang di rimbun padi sawah. Ular hijau tidak diburu, walau kadang ada bangkainya di pematang, atau di setapak kebun. Tubuhnya yang sudah dipenggal berapa bagian masih dihindari, atau dibuang ke rawa supaya jauh dari jangkauan orang. Ular hijau hidupnya di sawah dan di rawa, di tempat basah dan memangsa katak, jenis hewan melata ini disebut rere. Namun kadang rere ada di pohon, mengagetkan pemanjat.

Tentang robusta, dan kopi lainnya, sebagaimana dicatat di redo-coffee, yang mana tanaman itu sudah ada ratusan tahun silam di Wanua. “Di tanah Minahasa yang subur dimanfaatkan untuk perkebunan kopi. Bibitnya didatangkan dari Amerika Selatan. Tahun 1541, Nicolas Desliens, seorang kartografer dunia, mencatat Sulawesi Utara telah menjadikan kopi sebagai komoditi ekspor ke daratan Cina. Sulawesi Utara memang termasuk pelabuhan strategis dalam jalur rempah dari perairan Maluku menuju Asia Timur. Spanyol menjadikan Manado sebagai sentra niaga kopi bagi pedagang-pedagang Tiongkok.”

***

Jumat, pelajaran ketrampilan di sekolah dasar, diganti dengan berkebun. Mel datang jalan kaki dari Samberong menyusur Kinaris, tangannya menjinjing buku dan parang yang disarungkan dalam lipatan surat kabar bekas. Dia, Keke, Pingkan, duduk sebangku, mereka karib dan tinggal bertetangga.

Di bangku deretan belakang, ada Cia, Ober, Uttu. Enci Meske guru mereka di kelas dua, mengajak mereka ke bagian belakang gedung sekolah yang berfungsi sebagai kebun. Di situ mereka menanam kunyit, jahe, kemangi dan sereh.

Ober memacul, membongkar tanah. Pingkan memindah anakan sereh di beberapa titik kebun sekolah. Mel membongkar-bangkir tanah, mengumpul avertebrata, lalu melemparkan hewan berlendir itu pada Cia dan Pingkan. “Ular, ular, ulaaar,” jerit Pingkan lari menjauhi kerumunan. Cia marah-marah. “Kita mo bage pa ngana, heee Mel,” ujar Cia dengan raut cemberut. Keke, Ober, Uttu, terpingkal-pingkal terkekeh memandangi Pingkan yang lari kesetanan. Kerumunan tujuh orang itu jadi ramai dan gaduh. Enci Meske melerai, lalu menerangkan bahwa avertebrata itu bukan ular. “Itu gai kwa, cacing itu. Nyanda ba gigi dia.” Padahal, Enci Meske juga tidak berani sentuh cacing. “Maar, deng kita lei geli kwa noh,” kata enci sambil terpingkal. Pingkan masih bersungut-sungut karena ‘ular’.

Nanti, di sekolah lanjutan, lima tahun kemudian, Mel belajar lebih jauh tentang avertebrata dan kopi yang ada di batas-batas kebunnya.

Membaca dua bait di literatur yang ada kemudian, masih dalam catatan redo-coffee, bahwa: “Masa produktif perkebunan kopi Sulawesi Utara kembali terulang tahun 1853-1859, di bawah kekuasaan Residen Albert Jacques Frederic Jansen. Hasil produksi kopi di sana mencapai puncaknya pada era ini. Tahun 1879-1881 perkebunan kopi di Sulawesi Utara kembali berangsur-angsur mengalami kemunduran. Penyakit karat daun yang mulai berjangkit, memusnahkan perkebunan kopi di sana. Pemerintah kolonial sempat mendatangkan spesies kopi liberika, yang diharapkan dapat lebih kuat dan tahan terhadap serangan hama karat daun, tapi ternyata spesies liberika ini bernasib sama dengan pendahulunya, musnah akibat karat daun.”

Berikutnya. “Tahun 1907, pemerintah Belanda kembali mendatangkan bibit tanaman kopi. Kali ini jenis robusta untuk ditanam di perkebunan-perkebunan kopi di Indonesia, termasuk di Sulawesi Utara. Jenis ini lebih tahan terhadap penyakit karat daun, dan bertahan hingga saat ini. Di Sulawesi Utara, sentra perkebunan kopi robusta terbesar ada di daerah kaki gunung Ambang, tepatnya di kecamatan Modayag. Penduduk desa-desa di kecamatan ini sebagian besar adalah keturunan petani kopi yang didatangkan dari pulau Jawa pada masa pemerintahan kolonial Belanda.” Begitu dicatat di redo-coffee.

Buku-buku dibuka Mel. Tentang avertebrata dalam hal ini cacing, umumnya ditemukan hidup di tanah, memakan bahan organik hidup dan mati. Sistem pencernaan berjalan melalui panjang tubuhnya. Cacing tanah melakukan respirasi melalui kulitnya. Cacing tanah memiliki sistem transportasi ganda terdiri dari cairan selom yang bergerak dalam selom yang berisi cairan dan sistem peredaran darah tertutup sederhana.

Dijelaskan bahwa cacing tanah memiliki sistem saraf pusat dan perifer. Sistem saraf pusat terdiri dari dua ganglia atas mulut, satu di kedua sisi, terhubung ke tali saraf berlari kembali sepanjang panjangnya ke neuron motor dan sel-sel sensorik di setiap segmen. Sejumlah besar kemoreseptor terkonsentrasi di dekat mulutnya. Otot melingkar dan longitudinal di pinggiran setiap segmen memungkinkan cacing untuk bergerak. Set yang sama otot garis usus, dan tindakan mereka memindahkan makanan mencerna menuju anus cacing. Demikian ditulis Cleveland P. Hickman Jr., Larry S. Roberts, Frances M. Hickman (1984) di Integrated Principles of Zoology.

Di sekolah menengah, Mel masih belajar ketrampilan berkebun. Di ladang milik sekolahnya, ketika memacul membongkar tanah, membuat gundukan bedeng-bedeng, Mel bersua avertebrata yang sangat agresif, ujung ekor hingga kepala lancip, berlendir, dan lebih lincah menggeliat ke sana ke mari bila dijepit jari. Ada jenis lainnya yang lebih besar dalam gundukan tanah. Jenis itu warnanya hitam, panjangnya sekitar dua jengkal anak-anak, namun hewan itu kurang gesit, diam saja. Tidak merontah bila dipegang.

Di sekolah itu, Mel tinggal di asrama. Di sana mereka tidak minum kopi karena publikasi buku-buku yang melarang konsumsi kopi.

Lebih dalam membaca, Mel dapatkan di Encyclopedia Britannica, ‘Animal reproductive system – Mechanisms that aid in the union of gametes’, menyebut bahwa reproduksi cacing tanah dilakukan dengan cara hermafrodit. Walau tak pernah terjadi pembuahan sendiri. Ada bagian luar tubuh cacing tanah yang disebut klitelum di dekat kepala yang tidak bersegmen dan mengandung kelenjar yang menebal, serta menghasilkan kantung viscid, tempat telur disimpan. Bagian ini terletak di dekat ujung anterior – bagian depan tubuh.

Klitelum berupa cincin tebal seperti sadel yang ditemukan di epidermis cacing, biasanya mengandung pigmen berwarna terang. Untuk membentuk kepompong bagi telur-telurnya, klitelum mengeluarkan cairan kental. Organ ini digunakan dalam reproduksi seksual beberapa Annelida.

Pada cacing tanah, klitelum hanya dapat dilihat saat cacing sudah mengalami kematangan seksual. Klitelum mungkin berwarna putih, oranye-merah atau coklat kemerahan. Cacing tanah siap kawin ketika klitelumnya berwarna oranye.

***

Pulang kampung, Mel bersua Cia, Keke, Pingkan. Mereka bercerita pengalaman masing-masing dari kota-kota yang dikunjungi. Namun, masih terpingkal-pingkal prihal ular dan cacing.

Pingkan mengoreksi, cacing tanah itu bukan ular. Raut wajah Pingkan berkerut, mengingat pengalamannya di sekolah dasar. Tertawa dalam hati.

Keke cerita tentang ular makan daging binatang yang lebih kecil bahkan lebih besar dari si ular itu sendiri. Cia masih galak, membenci cacing dan ular, terutama takut pada ulat bulu. “Kita so pernah dapa pegang ulat bulu. Gatal dorang,” tutur Cia, disambut cekikik. Keke dan Mel terbahak-bahak. “Ngana so coba dang?

Tatapan empat perempuan muda itu tertuju ke utara, di mana mendung bertahta. Belantara Samberong, gunung Kesa’, pepohon, pancuran, sarang ular panjaga ada dalam benak mereka.

Terus ke utara, tegak berabad-abad, Lokon, Mahawu, Tatawiran, Empung. Kabut, terang, hujan menghanyutkan, diserap belukar, dihisap sungai, ngarai dan danau. Rimba diam, ular dinjak dewa-dewi manakala mereka turun membawa benih-benih, termasuk biji kopi.

Sekali waktu, api membakar semak, menghanguskan kusu-kusu, merembet ke kebun cengkih. Api terlihat dari Samberong. Titiknya di sekitar lereng Mapuneng. Asap membumbung di awan-awan, bara memercik, rumpun bambu meletus, gemanya membelah siang terik dan sepanjang sore.

Pagi tiba. Hutan, belantara kusukusu dan kebun cengkih terlihat hitam. Orang yang diduga membakar kebun cengkih, menghilang ke luar daerah.

Hutan hilang, ular yang disebut Setang sudah terbakar.

***

Di Rhode Island Avenue NE, di meja Mel: Gadget, buku-buku, segelas zeke kopi. Anaknya Mel diberi nama Cia. Lebih empat puluh almanak dirobek masa, selalu gelisah depan layar kaca menunggu tontonan ular hitam jadi naga. Pertarungan yang lalu dengan dogma, ular ternyata memangsa uang. Lalu, science membunuh keyakinan itu.

Pesan singkat dari Wanua di layar gadget Mel. Dibacanya, “Oma Boki masih ba jual kopi deng kukis biapong.” Dari Keke. Mel merenung.

Gambar: Black Mamba – amazon.com

Ular hitam pernah mengasah pedang, mengasah sangkur, berkelahi tanah, bertikai sumberdaya di Wanua. Perang antar kampung disebut orang-orang karena didesak Setan. Sudah sudahi, mari ngopi dan berdamai.

Kawan di negeri seberang mengirim salam: “Saya di Darlinghurst, menikmat Edition Coffee Roasters.” Mengenang perjuangan di zaman silam. Pernah menyimak kisah, Resimen Ular Hitam. Cerita lampau dengan tagline ‘pergolakan’.

Di bawah pondok beratap alang-alang, membaca menu: kopi hitam, kopi hitam es, kopi susu, kopi susu es, kopi jahe. Berlima ngopi, membincang dongeng ular: Reinard, Rikson, Josua, Eden, Tonaas, dan saya. Berdamai dalam beda, beda kelamin, beda tafsir, beda keyakinan. (*)