02 Juni 2022
Salam-salaman. Di lain waktu, kawan menyapa – sebagai tanda salam bagi penghuni dunia maya, “Happy ‘sinday’, – ‘We’re Not Gonna Take It’,” ujar dia dengan goyang kepala angguk-angguk, entah setuju, entah riang, entah penegasan dari apa yang diyakini terus berdenyut dalam perubahan.
Salam diam. Musik berhenti. Saya menandainya di 2019: tanda, jejak, even, berulang kapan saja, seperti perayaan dan semua yang diritualkan dalam acara-acara, keyakinan-keyakinan…
Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Edit DLA dari halaman Je
ANTI El Niño menyambar-nyambar, kota berangin, deras hujan dari sore hingga pagi – dua hari berturut-turut. Pertengahan Mei tak terprediksi, musim memang sementara berganti. Desau semilir sejuk terasa di teras warung kopi yang hendak bubar, nama warung kopinya terkenal di sejumlah kota dunia, berada pada nama jalan seorang pahlawan nasional. Di sudut ruang dominan coklat pekat, berdiri lima kelamin menanti tumpangan, suaranya ramai. Pesanan pick–up datang, suara ramai pindah, menerobos ke dalam tumpangannya, nomor mobilnya yang datang menjemput seperti tahun kemerdekaan negeri ini, 1945.
Mobil tumpangan itu pergi, melaju di jalan lurus, lalu pelan di titik-titik aspal berlubang, ada galian jaraknya sekitar setengah kilometer dari warung kopi itu. Saya di tepi, menikmati gerimis. Cahaya lampu kendaraan memantul seperti kilau kaca di mana ‘roda modern pemindah lokasi’ menjejak berkeriap tuju sasaran.
Masih terngiang obrolan di warung kopi. Echa, kawan ngopi diskusi saya, suka sekali meniru dialek orang-orang Sorong sambil nyerocos, bercanda, melawak. Dia memang pernah menetap di sana, negeri di ‘Timur Matahari’. “Google, google, coba kau tunjukan di mana kelamin saya,” cetus dia sambil menunjuk kolong meja, mata dia tertuju ke Linda yang terkekeh-kekeh memandangi bibir Echa dimonyongkan.
Isu perempuan dikontrol, dipinggirkan kekuasaan negara, budaya, adat, agama dan seterusnya. Semua kelamin dikontrol di kaki takhta. Kami membaca berita kelamin-kelamin jadi persoalan. Padahal, dalam kelamin-kelamin itu sendiri bergolak perseteruan, semisal antara ‘bisexual’ dengan ‘lgbtq’, dan seterusnya. Pelarangan bukan kabar baru di sejumlah lokasi, even ‘International Day Against Homophobia, Biphobia, Intersexism and Transphobia’ ditolak di berapa kota.
Tak ada ‘tabu’ di kamus Echa. Dia bebas merdeka nyerocos. Rombongan orang ngobrol di seberang meja justeru bikin naik tensi. “Bunaken, bubur, bibir,” ujar mereka sambil terbahak-bahak. Lima lelaki, dua jenis berkerudung, serombongan mereka. Echa di sekitar meja bulat saya sahuti, “Ngana so minum kopi.” Ada dua beranjak, lalu lima di seberang meja menyusul, ujung mata mereka menyorot ujung laptop saya. “Sa pingin pukul saja yang bicara perempuan begitu, pandang enteng,” umbar Echa. “Bikin naik tensi sa, aaahk.” Wajahnya datar, lalu bernyanyi.
Tabu bukan yang ini: “Angin, bisikkanlah bahwa rasa ini tak mau kompromi | Satu triliun pilihan hatiku tetap tertuju padamu | Ada yang tabu dari cinta kita dan tak mungkin aku abaikan ini sebab ini penting | Ingin kuberlari menjauh tapi wajahmu menghalangi | Langkahku pun terhenti untuk padamu | Tabu tak mungkin kita lawan namun kutetap mau kamu | Cinta dan keyakinan, bisakah searah? Ho-ho, oh-oh | Satu triliun pilihan hatiku tetap tertuju padamu|Ada yang tabu dari cinta kita dan tak mungkin aku abaikan ini sebab ini penting | Ingin ku berlari menjauh tapi wajahmu menghalangi | Langkahku pun terhenti untuk padamu | hu-oh-oh | Ingin ku berlari menjauh tapi wajahmu menghalangi | Langkahku pun terhenti untuk padamu | Wo-ho-oh | Tabu tak mungkin kita lawan namun kutetap mau kamu | Cinta dan keyakinan (bisakah), bisakah searah? (Searah) | Oh-uh-oh-oh | Cinta kita tabu.” Bukan, bukan tabu yang itu. Bukan ‘Tabu’ yang ditembangkan Brisia Jodie – Original Soundtrack Merindu Cahaya de Amstel. Bukan, bukan itu.
Salam diam, namun anti El Niño masih mengamuk di bibir Echa. “Linda jangan garuk-garuk. Jangan mau kau disodomi. Kami ada dalam kendaraan, saya duduk di samping sopir. Dia, si sopir tertawanya diterkam, sesekali tangan kirinya membekap bibirnya sendiri. Kota nyaris sunyi, 01.12 dini hari.
Tafsir saya beber: Sodom-Gomorrah itu cerita tanpa saksi, boleh jadi memang pernah berlangsung di zaman silam, berapa ribu tahun lalu: babad kota Pentapolis: Sodom, Gomora, Adma, Zeboim, dan Bela yang disebut Zoar — nabi-nabi di zaman lampau — termasuk Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Amos, dan Zefanya, mengamarkan kebinasaan dengan api untuk memperingatkan rakyatnya dan menubuatkan malapetaka bagi mereka yang memusuhi Allah. Kebinasaan — ancamannya: air, api!
Kitab paternal memang hanya membahas surga untuk kelamin yang dipandang dominan pada zamannya. Lalu, apakah pengetahuan di zaman silam itu dapat menjadi rujukan kebenaran zaman ini? Artikel ini juga bukan kesimpulan, anda dapat membantahnya.
Berapa orang yang bertanya, dapatkah seseorang memilih kelamin dan orientasi seksnya dari dalam rahim? Hal ini tidak pernah diteliti nabi-nabi zaman lampau itu.
Keyakinan akan selalu mengatakan ‘kami paling benar’. Keras tengkuk menguatkannya. Airman Sinaga dalam diskusi di group terbatas menegaskan keyakinannya. “Ex lgbtq diterima. (Namun) jika terus memilih dalam dosanya terus sama saja menaruh nila ke dalam susu. Terang tidak bisa bersatu dengan gelap. Tuhan sudah menciptakan pria dan wanita sejak awal, seperti hewan dan tumbuhan.
Dan orientasi seksual itu adalah keputusan atas dirinya dan akan dipertanggungjawabkan diri sendiri kepada Tuhan,” kata dia sambil ngutip ayat-ayat.
Tahun silam berulang kali saya sebut, bahwa, tak ada manusia yang dapat memilih orientasi seksnya atau pun kelaminnya dari dalam kandungan. Semua terjadi alamiah. Jadi terminologi ‘ex-lgbtq’ serta segala ex terkait kelamin itu keliru. “Berbicara tentang lgbtq bukan kitab suci agama-agama jawabannya. Walau kitab suci bisa saja ditulis jauh sebelum sejumlah penemuan ilmu pengetahuan tentang manusia dan alam semesta. Namun, ‘susastra suci’ dalam ‘tafsir saya’ mengajarkan ‘kasihilah sesamamu manusia’. Petiklah ajaran kemanusiaan. Membenci dan membunuh – menurut saya – sudah pasti sesat dan jahat.” Begitu saya selalu coba ‘melangkah’ memaknai pandangan saya sekarang.
Bertahun-tahun seminar, diskusi, tukar pikir, curah pendapat berlangsung, dan tak selesai. Al Falah, teman saya yang tinggal dekat ibu kota negara, bilang, “Soal orientasi seksual itu hal yang teramat rumit. Kaum bigot akan cepat-cepat menyimpulkan dengan standar ayat kitab suci mereka. Karena modal mereka hanya ‘percaya saja’ — tidak memperdalam pengetahuaannya. Tetapi kaum intelektual, pemikir, filsuf dan scientist tidak segampang itu menyimpulkan sesuatu hal terkait ‘orientasi kelamin-kelamin’ itu. Mereka akan menyelidiki, mempelajari, meneliti, dan membuktikan, lalu dari proses yang panjang itu, mereka membuat ‘kesimpulan’.” Kawan-kawan dan saya menambah dan mendebat soal yang kami mulai Juni 2021 itu.
Keyakinan disorot, sebab pandangan tanggapan ambigu selalu menyertainya. Warnapun jadi ada ‘agamanya’, begitu ditutur Je Sebastian – kawan diskusi di JKS – dan tuturnya itu disertai sederet argumentasi terhubung pengalaman dia terkini. “Ketika sedang mendengarkan lagu ‘We’re Not Gonna Take It’ pakai earphone, gue sempat mencuri dengar perbincangan di antara para pemimpin umat di tempat peribadatan. Sebagai bocah tua yang selalu berusaha tersesat ke jalan benar kaget juga ketika mendengar kalimat seperti ini, ‘Warna keyakinan kami jadi begitu kuat terasa dalam alunan lagu itu. Gue jadi bertanya dalam hati: Sejak kapan warna dibaptis jadi serupa nama agama saya ya?”
Kelamin-kelamin: dianggap, dipandang, ditanggap ambigu dalam praksis di masyarakat — di ruang publik, dalam ruang seminar diskusi, dalam kelompok-kelompok apa saja. Kelamin-kelamin ada pula warnanya. Malah ada sepatunya, ada bajunya, ada celananya, dan seterusnya didandani sedemikian rupa oleh peradaban.
Je Sebastian selalu menyuarakan keperihatinannya pada soal-soal yang dianggapnya ambigu di ruang publik. “Tidakkah semestinya pula kita membuka diri — dan dengan tangan terbuka — mau menerima saudara-saudara kita dari kaum ‘lgbtq’ bila hendak bergabung menjadi anggota di gereja kita tanpa mesti memaksa mereka untuk merubah orientasi seksual mereka? Dan perlu juga diketahui bahwa WHO telah menetapkan bahwa ‘lgbtq’ bukanlah penyakit, bukan gangguan kejiwaan. WHO menetapkan ‘lgbtq’ adalah orientasi seksual, sama serupa dengan kelamin lainnya, perempuan dan lelaki.”
Pendapat Je Sebastian didukung Fransiska Elisabeth Naibaho, “Ya benar. Ini pernyataan WHO yang tertulis dalam kitab sucinya kedokteran, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) – Jilid 3, menyatakan bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan atau penyakit (disorder). Kebetulan saya punya bukunya,” kata Naibaho.
Panjang lebar Naibaho uraikan, yang mana penyandang ‘lgbtq’ adalah manusia seperti para penyandang orientasi seksual hetero lainnya. “Secara alami kita memiliki dorongan seks yang sama dan harus dipenuhi. Jika memang orang beragama menganggapnya sebagai penyimpangan atau penyakit apakah ada solusi yang dapat diberikan pada mereka? Sebab ini bukan masalah psikis ini masalah dalam tingkat DNA, genetik, dan kromosom.”
Naibaho menambahkan bahwa satu-satunya cara yang memungkinkan untuk merubah orientasi seksual adalah dengan teknologi editing DNA. “Tapi teknologi ini belum sempurna. Sejauh pengetahuan saya editing DNA baru berhasil dilakukan pada organisme mamalia, seperti babi yang ukurun tubuhnya diperkecil secara signifikan. Tentu jika belum sempurna banyak resiko yang akan dihadapi. Itulah satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan keagamaan.”
Artikel ini masih ada sambungannya. Tunggu saja!
Saya, seperti biasa, menunggu di warung kopi modern. Mengintai hujan, atau kembali masuk meminta cangkir diisi cairan. Anti El Niño masih berhembus. Echa, Linda, Pink, kawan diskusi memperkaya artikel ini, dan saya tuturkan teks-teks ini pada mereka. Kami, ada yang gemuk, ada yang gemuk banget, dan ada yang kurus. Gampang menemu kami di foto-foto berwarna dan tak berwarna di media sosial kami masing-masing. O iya, Pink yang disebut pada bait ini adalah nama teman, bukan jenis warna. Gitu. (*)