10 Oktober 2022
…Maka kesepian yang warnanya buram itu pun merayakan kemenangannya dengan gelak tawa yang sunyi…
Oleh: Dini Usman
Penulis adalah pelukis dan penulis
Gambar: Pemotret mencari sudut – Foto Dera Liar Alam
KESEPIAN ini adalah warna bayangan dari cermin diri yang kelabu. Ibarat pisau ia berkarat dan tumpul. Bagaimana menghadapi perjalanan hidup yang tiap detik, menit, hari, minggu dan bulan hingga tahun berganti dengan perasaan yang terasa begitu sepi?
Sebab ia karatan dan tumpul, pisau itu mesti diasah dengan perjumpaan pada siapa saja, pada entah apa saja. Barangkali di sana atau di sini, ada ruang kemungkinan akan terjadi. Kusamnya perasaan itu perlahan memudar. Begitulah harapan ini mesti disemai, jika tidak kesepian akan membunuhmu.
Sebab hidup adalah pilihan, dan waktu yang entah kapan selesai bagi tiap orang, maka kesepian seperti kotak yang dingin dan hampa, sejatinya adalah lorong kematian pertama dalam kehidupan yang sesungguhnya. Lalu di manakah pikiran sehat itu? Di manakah kewarasan itu? Di manakah kebahagiaan yang menjadi impian orang-orang waras itu?
Lalu, bukankah kemampuan berpikirlah yang menjadi tumpuannya? Yang bila barangkali Anda atau saya jenius, sebuah kata hanya untuk tidak mengatai diri goblok saja ini–akan mampu memisahkan jarak antara apa yang sejujurnya dibutuhkan dan sejujurnya pula tak dapat diwujudkan, karena ketidakjujuran terhadap diri kita sendiri.
Semerana inikah aku dan kamu ketika membiarkan kesepian yang begitu menyedihkan itu menguasai perasaan yang luas dan kedalamannya bagai lautan? Bayangkan, apa pun itu akan ditelannya, seolah menelan segalanya. Seolah tak ada kesenangan yang pernah menempel di kotak kenanganmu, seolah tak ada kegetiran yang berhasil dilumpuhkan karena perjuangan hidup, seolah tak ada kegembiraan yang pantas diingat-ingat sebagai kenangan indah. Ya, segala-galanya seolah lenyap dibantai perasaan kesepian yang memelas-melas mengharukan itu.
Bukankah kita masih sanggup berpikir dengan jernih? Menyelesaikan misi kedirian kita yang rapuh namun juga begitu kuat dan gagah menghadapi apa saja karena kita memiliki banyak tuntutan dan sekaligus kekecewaan? Lantas mengapa kita biarkan sakit di hati menguasai diri yang hebat ini? Lalu dengan enteng pula kita memutuskan bahwa tidak ada orang yang benar-benar bisa mengerti dengan diri kita. Karenanya kita pun membuat jarak psikologis dan menyatakan “berpisah” dengan manusia lain justru di alam nyata ini.
Maka kesepian yang warnanya buram itu pun merayakan kemenangannya dengan gelak tawa yang sunyi. Pertanyaannya, siapa rupanya di dunia ini yang benar-benar bisa diandalkan untuk mengerti akan diri kita, kalau bukan diri sendirilah yang memulainya? Karena dengan belajar keras mengerti diri sendiri, barulah kita akan mengerti bagaimana berdampingan dengan diri orang lain.
Dengan begitu kesepian akan tidak punya tempat dalam pikiran kita. Bukankah itu berarti kita bisa menyelesaikan misi hidup dengan sebaik-baiknya, semampu-mampunya, seindah-indahnya dengan aneka perasaan manusia yang pernah ada? Mengapa memberi satu perasaan sedih, hampa, sakit hati, benci secara dominan lalu menenggelamkan perasaan yang lain yang juga sama hebatnya?
Mengertilah, kemungkinan besar, ketersesatan itu karena ada yang keliru dengan cara kita berpikir dan meletakkan pelbagai persoalan itu dengan benar. Selamat melepaskan kesepian dan merayakan hidup dalam kesyukuran yang penuh kontradiksi ini. (*)
Selamat Memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia