08 Agustus 2024
“Moral dan sumberdaya penegak hukum di negeri ini berbahaya bagi rakyat kecil.” Begitu dicetus Andi mengomentaari kasus ini. Teringat adagium hukum:‘lebih baik membebaskan seribu orang bersalah, daripada menghukum satu orang tidak bersalah’. Di balik kontrovrsi tontonan yang meraup cuan mahadasyat, ada juga semacam kekuatan jutaan suara mendorong keadilan ditegakkan. Ramai-ramai orang menuntut kasus Cirebon 2016 yang lagi hot disemburkan di muntah propaganda media, dan berbagai soal terkait supaya ada legal annotation, eksaminasi ke titik hulu. Uji, periksa ulang dengan kaidah scientific.
Oleh: Dera Liar Alam
NERAKA PERKARA jadi karun bertahun-tahun digelut berhari-hari, lalu tiba di momen sidang lanjutan peninjauan kembali Saka Tatal, 31 Juli 2024, sepotong saya tera di status media sosial: “Reza, salute, berkibarlah sang saka.” Saya menyaksikan di layar datar ditayang live oleh channel televise Indonesia, dalam ruang tegang, Aldi berseru, “Saya ditangkap bareng si Saka, yang nangkap Pak Rudiana sama teman-temannya, ada tiga orang. Mereka naik mobil. Sampai ke gerbang Polres Cirebon Kota disuruh jalan bebek. Di kantor polisi langsung dipukuli. Terus kami disiksa, diinjak, ditendang, udah kayak binatang,” tutur terisak adik dari Eka Sandi, selasatu terpidana kasus Vina-Eky Cirebon.
Orang-orang yang dituduh dan disangka terlibat sudah dipukuli, disiksa, sejak mereka ditangkap dengan dalih ‘diamankan’. Demikian juga yang diteeriakkan oleh ‘korban salah tangkap kasus Cirebon 2016’. Terminologi ‘diamankan’ memang kerap dipakai untuk pembenaran bahwa rakyat mesti tunduk di bawah todongan senjata dendam penguasa. Padahal, Indonesia telah meratifikasi Convention Against Torture (CAT), walau ternyata – berdasarkan temuan – praktik penyiksaan dan penghukuman kejam tetap terjadi di berbagai pengungkapan kasus di negara ini. Sebagaimana diketahui, CAT telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang mengatur pelarangan penyiksaan fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Perkara ini telah lebih sehari-dua dibincang ramai oleh media, Kemudian mencermati soal manakala terlibat webinar bedah film ‘Vina: Sebelum 7 Hari’ yang diselenggarakan IAKN Manado, IAKN Palangkaraya, bekerjasama dengan BPD PERUATI Minahasa, 24 Mei 2024. Dalam acara itu berdiskusi dengan sejumlah narasumber: Sonya Hellen Sinombor, jurnalis harian Kompas, Deni Pinontoan, Kepala Pusat Kajian Agama & Budaya LP2M IAKN Manado, dan Deri Susanto, Koordinator Prodi Sosiologi IAKN Palangkaraya. Tujuan diskusi ini untuk mendialogkan tanggapan publik tentang peran film sebagai media pembelajaran, kemudian mengidentifikasi pokok-pokok pembelajaran atau gagasan konstruktif yang dapat digali dari film tersebut.
Tanggapan saya atas diskusi bedah film itu — Panggung distorsif: ada ketika membaca menanya menonton skeptis – pemirsa yang dikuasai dogma belaka akan terus dipelintir sistem dan science. “Pakar pseudoscience diberi panggung.” Begitu komentar Andrew Nainggolan, kawan saya di Jakarta. Nanton sambil ikutan kesurupan. Film dibubuhi pseudoscience, kesurupan. Dan itu yang ditimba penonton usai menyaksikan tayangan yang dikira memukau.
Saya membandingkannya dengan ‘Vina: Sebelum 7 Hari’ dengan ‘To Hell and Back’, yang sama-sama dilebel ‘diangkat dari kisah nyata’. ‘Vina: Sebelum 7 Hari’, asmara, kerasukan, geng motor, perkosaan, kekerasan, dan seterusnya. Saya membaca media, 26 Mei 2024, dikabarkan RRI, lebih dari lima juta orang telah menonton ‘Vina: Sebelum 7 Hari’. Dasyat! Cuan mahakuasa, di balik ‘kisah nyata’ ada juga ‘nyata’ kasus hukum dan soal keadilan yang sementara ini ramai diperbincangkan masyarakat dan dibahas berbagai media.
‘To Hell and Back’, biographical motion picture dari Audie Murphy, anak petani miskin Texas Timur Laut yang jadi serdadu dan terlibat perang. ‘To Hell and Back’ pernah diputar berhari-hari di tanah Minahasa manakala pergolakan sementara menyala, era 1950-an. Papa HNK, penyintas zaman pergolakan, berkisah tentang para belia yang memanggul senapan dan terlibat perang karena terpengaruh nonton To Hell and Back, “Latihan sehari dua kemudian belajar pegang senjata, jadi serdadu. Memutar pistol di jari dan gengamannya — bergaya bak cowboy mengejar pemangsa gembalaannya — berdiri sambil menembak di gencar deru desingan mesin perang. Banyak yang mati konyol, terbunuh tanpa ilmu.” Seperti itu saya catat di Kesurupan Nonton Propaganda Neraka, 27 Mei 2024.
Sebagai ulangan untuk tontonan: Film dengan genre sama terdapat di Call Me Anna diperankan Patty Duke – The Bob Mathias Story diperankan Bob Mathias – Alice’s Restaurant diperankan Arlo Guthrie – Private Parts diperankan Howard Stern, etc. Anda juga boleh telisik The Sky is Pink, film biografi berbahasa Hindi India yang disutradarai Shonali Bose, 2019.Fakta, bahwa nyata film ditonton jutaan orang. Di balik kontrovrsi tontonan yang meraup cuan mahadasyat, ada juga semacam kekuatan jutaan suara mendorong keadilan ditegakkan. Ramai-ramai orang menuntut kasus Cirebon yang lagi hot disemburkan muntah media, dan berbagai soal terkait supaya ada legal annotation, eksaminasi ke titik hulu. Uji, periksa ulang dengan kaidah scientific.
Di Fristian Griec Media Official disebut, “Reza Indragiri yakin 99,9% penyidik kasus Vina dan Eky sengaja hanya menggunakan barang bukti yang memberatkan para terpidana. Sementara, bukti lainnya seperti rekaman percakapan elektronik tidak dibuka seutuhnya. Padahal, bukti percakapan melalui pesan singkat melalui gawai para terpidana termasuk Vina dan Eky bisa membuka kemungkinan fakta yang sebenarnya terungkap.” Begitu dicatat dalam tayangan ‘Reza Indragiri: 99,9% Yakin Ada Bukti Kasus Vina Cirebon Sengaja Disimpan’, 07 Agustus 2024.
Tentu menarik tayangan Fristian Griec Media Official, ada banyak komen di sana. “Moral dan sumberdaya penegakan hukum di negeri ini menakutkan untuk rakyat kecil,” tulis @andisupardi4014. Kutipan ini saya bubuhkan di pembuka artikel, menegaskan yang mana saya setuju dengan pernyataan itu. Berkali disebut Reza dalam berbagai tayangan agar pihak aparat penegak hukum terkait kasus Vina-Eky Cirebon kiranya dapat mengoreksi kemungkinan salah pemidanaan terhadap warga negara dalam peristiwa tersebut.
Nasib Rakyat
Terkait kasus Cirebon, Pegi Setiawan dituduh Pegi alias Perong, dituduh mastermind, dalang pembunuhan. Walau kemudian Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Pegi Setiawan. Amar putusan dibacakan hakim tunggal Eman Sulaiman, 08 Juli 2024: Mengabulkan permohonan praperadian termohon untuk seluruhnya. Menyatakan proses penangkapan Pegi Setiawan beserta semua yang berkaitan lainnya dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. Menyatakan tindakan pemohon menetapkan termohon sebagai tersangka pembunuhan Vina dan Eky dinyatakan tidak sah. Menyatakan surat penetapan tersangka Pegi Setiawan batal demi hukum. Menyatakan tidak sah segala keputusan dan penetapan yang dilakukan lebih lanjut oleh termohon yang dikenakan dengan penetapan tersangka atas diri termohon pada pemohon. Memerintahkan termohon menghentikan penyidikan terhadap termohon. Memerintahkan pada termohon untuk melepaskan pemohon dari tahanan. Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya seperti sedia kala. Membebankan biaya perkara pada negara.
Belum kering ingatan salah tangkap. Subur-Titin, penjual kripik di Cileungsi, Bogor. Subur-Titin dianggap pencuri, terlibat rampok. AKBP Rio Wahyu Anggoro, Kapolres Bogor, meminta maaf kepada masyarakat. Februari 2024. Ingat Sengkon dan Karta, petani Bojongsari, Bekasi, Jawa Barat. Suatu hari di 1974, keduanya ditangkap karena tuduhan perampokan pembunuhan Sulaiman-Siti Haya.
Konferensi pers laporan Bhayangkara 2024 di kantor Kontras, Kwitang, Jakarta Pusat, 01 Juli 2024, Dimas Bagus Arya, Koordinator Kontras, menyebutkan bahwa, “Sepanjang Juli 2023 — Juni 2024 tercatat ada lima belas peristiwa salah tangkap. Dari peristiwa tersebut terjadi kekerasan yang menyebabkan para korban mengalami luka-luka.”
Mencermati debat para pembela, saya pernah menera catatan ringkasnya, bahwa: hukum bimbang telah mengganti regulasi dengan tagihan yang disodorkan menyumbat jalan pikiran.
Laste
Saya, menonton kerasukan fiksi: negara mestinya bertanggung gugat pada korban pengadilan sesat yang dikerangkeng pemuja ‘hornbook law’. Cak Sudarsono, kawan diskusi saya sebut, bahwa, “Bukti fakta masih banyak yang terbelenggu dogma oleh para kapitalis rohani. Visi surgawi alat jualan halusinasi pada para idiot.”
Negara bertanggung gugat, sudahkah?
Pasal 9 PP 92/2015: Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit lima ratus ribu rupiah dan paling banyak seratus juta rupiah. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit dua puluh lima juta rupiah dan paling banyak tiga ratus juta rupiah.
Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah.
Bahwa, tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Begitu diatur dalam Pasal 95 ayat satu KUHAP. Rakyat tak bersalah yang sudah ditangkap lalu dibebaskan banyak tuntutannya — pokoknya bebas, contohnya Pegi yang diperongkan di kasus Cirebon. Atau mungkin karena ketidaktahuan mereka tidak sempat menuntut aparat yang sudah merugikan mereka itu.
Data-data fakta sementara dibuka, sidang akan terus berlanjut. Ada kebutuhan hukum yang hidup, dan mestinya mengacu pada kebaruan terhadap tuntutan atas kebutuhan terhadap hukum itu untuk mengatur hubungan penyelenggara kuasa dan rakyat.
Cerdaskan rakyat. Tentang berbagai kasus yang belum ada jalan keluar: Uji, periksa ulang dengan kaidah scientific. Aparat penegak hukum berilah pencerahan, selalu penting evaluasi, selalu penting untuk eksaminasi ke titik hulu supaya menjadi jelas perkara itu seperti apa kejadiannya. Demikian. (*)