29 Maret 2022
Tenetang tenang, tedu redup senggang gelombang, air sejernih kolam. Anak-anak mencari kerang, melempar sunyi di derap waktu, pergi, pergi, pulanglah zaman silam…
Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Pilips Marx
Gambar: Manakala badai gelombang reda, laut surut di tepi Bara.
SIAPA sangka, dari koordinat ini para penantang gelombang seberangi Flores, ditampar kabut samudera Hindia, bertualang di dermaga-dermaga asing enggan pulang.
Hantu atol Cocos bersua badai Port Louis, hanyut sampan, tenggelam dayung, pecah sajak Madagascar. Kecipak tutur Cannon Rocks.
Jauh berlayar. Di sana, sekelilingmu aroma Mocha tumpah trichodesmium erythraeum. Angin dogma pernah berpusar menyelinap senyap belantara dan padang, di asap commiphora, kemenyan, emas, dan tukang sihir.
Para pemberani sudah pergi mengembara, mengecap perjumpaan pada jamuan senja. Matahari jauh di ufuk, mereka kembali, menemu kolam tenang masih bening.
Sajak seperti gemeratak, hutan kering ladang-ladang sawah-sawah dijarah. Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers tiba di Tanete, 1824, bawa pasukan, bawa meriam. Menyusul Josephus Jacobus baron van Geen, 1825 – 1835, bawa perahu meriam, bawa kapal perang dan ribu pasukan.
Perang merongrong hendak memperbudak, rakyat tindak melawan tak mau tunduk. Lalu Johannes van Swieten sandar di dermaga, membaptis tanah air kolam tenang nan jernih dengan agresi, 1859, 1860. Johannes van Swieten, lahir di Mainz, Jerman, 28 Mei 1807. Pada usia 14 tahun dia mendaftar sukarelawan Infanteri XVII di Biro Pasukan Belanda. Manakala agresi ke Bone, Swieten menduduki posisi Commander Royal Netherlands East Indies Army.
Nama-nama mengingat perang, trichodesmium erythraeum, laut memerah, darah. Karang, erang, sangkur sudah di telapak, kemudian pertengkaran. Serdadu-serdadu berlatih di belantara, guerilla warfare, peramu hutan dalam diam, angin badai deras musim berganti.
Di sini, membaca sajak, rindu anak-anak negeri pada gemintang di atas gulita. Derik pintu belakang dikuak, nelayan pulang membawa tangkapan. Api menyala, lalu bara merambati kayu di tungku ditunggu, ramai sepanjang malam hingga subuh membangunkan mimpi.
Teks, di depan laut saya membaca Manusia Bugis yang ditulis Christian Pelras, membuka lembar-lembar ‘Meniti Siri dan Harga Diri’ karya Andi Mattalata, bersua nama-nama semisal La Pawawoi, penguasa yang menolak pajak ekspor – impor ditentukan para imperialist.
Ah, aroma kalosi arabica berkarakter floral, rempah-rempah, lada hitam, kacang-kacangan, kayu manis, cardamom, dst, dari dataran ini terhirup jauh di seberang laut. Saya terjerat dogma, kopi secangkir, dan malam berkawan suara ombak. Di sini, di depan Kapongkolang.
Dulu, tempat ini namanya Pau’Janggo. Laut jernih nan damai. (*)
Kapongkolang, 24 Januari 2021