23 September 2024
Timor, timur nan jauh. Di sana, di Timor cahaya bermula. Orang-orang lupa dekolonisasi bumi Lorosae, sajak pujasastra Kakawin Nagarakretagama menera nama Timor sebagai anak sungai, entah alir itu membawa serta cahaya hingga hari ini – ingat pernah mampir di sana, di dekat Lifau di mulut Tono River…
Oleh: Dera Liar Alam
CAHAYA jatuh di langit-langit, di pipi, di dinding gulita.
Dom cerita, menyeberang dia dengan kapal laut serta sepuluh orang kerabatnya, sandar di Dili, di pesisir laut Banda. “Kami tiba sore, rencana mau langsung ke Lospalos, namun bis kami ditahan — orang-orang di sana bilang — tidak boleh berkendara di malam hari, katanya sering ada tembakan dari Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente. Jadi, kami menginap – meringkuk dalam kendaraan, paginya baru berangkat, lalui ratusan kilometer ke tempat saudara kami yang mau berpesta.”
Dom, kawan bercerita saya berhari-hari dengan tema sama, tak bosan dia tutur kampungnya yang jauh, sebab kini dia di rantau. Berapa hari silam dia lewat berkendara motor, dan memberi salam. “Shalom bapa,” ujarnya dengan senyum lebar secercah cahaya.
Berpuluh tahun silam. Menerawang Dom, “Waktu itu sudah terlalu lama, lama sekali, saya masih SMP saat ke pesta keluarga di seberang pulau. Bapa kecil kami menikah. Ah, saya rindu sekali bapa itu, tapi kami hilang kontak sampai sekarang, sudah puluhan tahun,” kata Dom. Matanya menatap mendung di timur di bawah rindang samanea-saman.
Semalam saya ajak Dom ke pesta, sambil tertawa dia bilang bahwa dia tidak minum anggur. Saya bilang, “Kita minum air hujan saja.” Dan kami sama-sama ngakak. Angin berhenti, kemudian curah dari cakrawala deras, seakan terkurung di Vaalbara, sekitar kita lampu-lampu diberisiki air. Di atas gelap, ada suara menderu-deru, menidurkan kenangan. (*)