Tuesday, November 19

Dan Embun Esok Hari Tak kan Hilang

Medio 2012


Refleksi Kamis Malam
Dunia Maya, 20 April 2012


Sajak-Sajak:
Neng Lilis Supriatin
El Cacuk
Kaka Tewel


Kaka Tewel
tahukah kau di mana sang embun,
bila dia disapa oleh keringat mentari?
seperti nyanyian bintang saat senja sentuh ufuk baratmu…

Neng Lilis Supriatin
jemari mengelus tetes keringat,
embun menguusap peluh,
selalu bernyanyi walau tanpa bintang
karena ufuk barat bukanlah seutas batas, hela napas…

El Cacuk
pada pesonamu di sudut ini,
selalu ada embun, kenang indah kala bersamamu
jauh di lubuk hatiku — sejuk sentuh malam…

Kaka Tewel
menarilah wahai rembulan malam…
tajukmu kilau bunga buaian sang fajar…
embun kan sirna dalam pesona angan…

El Cacuk
batas malam, beralih gaduh sebab suaramu
tanya, ‘mengapa tunggu’
kubilang, ‘entah, cukup bagiku, aku sayang kamu’.

Neng Lilis Supriatin
menyentuh indah kehangatan,
pesona kala bersama,
tiba malam, embun tak sirna…

Kaka Tewel
aku di sini wahai sorga yang terbuang…
terpekur di balik bukit tangisan,
tak satu bintang beri senyum,
meski teriak, lantang bedil-bedil, senapan…

El Cacuk
lalu, kita berdua hirup sunyi
di antara gumammu, miris:
‘dinding-dinding ini terlalu sempit tuk menampung mimpi-mimpi malam ini’

Kaka Tewel
padahal bunga sorgawi telah kau genggam,
cahaya bulan kau biar redup,
tanyamu kujawab:
‘tak kan kubalut tunggumu sia-sia…
terbenam di dinding-dinding sunyi

Neng Lilis Supriatin
tertatih di titian, di tepi semestamu,
di antara cahaya bulan, langit bertabur bintang
tak bergeming mimpi, lalu hasrat,
tanya: di mana kubalut sepi…

El Cacuk
kisah kita di tiap kelok waktu
seribu jawab ‘tuk endapkan sepiku…
sebab ambang mimpi kita tiada ujung…
aku di sini, tunggu dirimu…

Kaka Tewel
sepimu, tangis kamboja,
ujar bersahutan…
sepi di lorong waktu
tak biarkan kita berbagi…

dari atap ini aku melirikmu,
meniup seluruh wangi bumi
untuk senyum yang mungkin telah musnah…

Neng Lilis Supriatin
penantian malam tak terhitung rindu
wangi di antara hujan gemuruh guruh
terus tunggu…

Kaka Tewel
kemarin,dari balik jendela ini,
kutanya mimpi melintas
kubisik embun…
kita, bagai cawan cawan retak
aku, tak sanggup dalam bisu
tak cukup satu dua pagi melupamu…

El Cacuk
di hembus nafas kusimpan, ribu suka telah merekah,
sayangmu telah gugah rasa,
kau buat semua nyala, membara..

Kaka Tewel
satu tanya tak sempat dijawabmu, malam,
adakah redup kurasuki jiwamu?
atau, sepenggal pesona mimpi
bagi nafas sisa membara dalam cerobong harap…

El Cacuk
jawabanmu masih nyala
di bentang malam demi malam hening…
kita bermimpi bahwa ‘kita-lah mimpi
ingatlah aku, mengeja namamu di buku tebal itu…

Kaka Tewel
kuingat kau, wahai pemuja keindahan,
berlari di derai gelombang laut mimpi,
senja tiba, memaksa aku lingkari bahumu…
dan terus mengenangmu wahai pemuja hening malam

lembar demi lembar tertulis di sejarahmu,
buku tebal hadiah dari kesunyian…
lalu kita sepakat sudahi mimpi, dan pergi
entah kenang padam di sini…

El Cacuk
pada waktu…
para ribu saat berlalu…
dalam diam kutunggumu tinggalkan duka, hampiri diriku…
sebab pada sajak ini terpecik binar matamu…
berhari-hari tersesat pada kembara jiwaku

Kaka Tewel
kau kembali dari balik hembus itu,
ganti duka bumi dengan tawa,
lalu menghampiriku…
aku merajut kelam di ceriamu,
dalam cawan asmara yang hampir penuh…
dan embun esok hari tak kan pernah hilang.

(*)


Editor: D.L.A.